Spiritual Journey To Infrastructure Journey
oleh. Dr. Kapitra Ampera
“Dan serulah
kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu
dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap
penjuru yang jauh” (Al-Hajj : 27)
Indonesia merupakan Negara dengan
populasi penduduk beragama Muslim terbesar di dunia. Kesadaran umat Islam untuk
menjalankan rukun Islam kelima, untuk menunaikan Ibadah haji membuat niat dan
keinginan tersebut belum terbendung dalam kuota pengiriman jamaah haji yang di
Izinkan. Sehingga umat Islam Indonesia harus menunggu bertahun-tahun bahkan
setelah bertahun-tahun pula mengumpulkan uang untuk dapat memenuhi syarat
mendaftarkan diri sebagai peserta haji.
Tahun ini sejumlah 221.000 orang
jamaah asal Indonesia berangkat menuju tanah suci untuk melaksanakan Ibadah
Haji. Sebuah pengharapan bagi umat Islam lainnya, menunggu dengan doa dan harap
agar kelak diberikan kesempatan untuk menjalankankan spritual journey, menyempurnakan rukun Islam. Harapan untuk
penambahan kuota jamaah, harapan untuk fasilitas dan kenyamanan dalam
beribadah, serta perlindungan dari pemerintah. Harapan itu tumbuh melalui
semangat mencari receh demi receh, rupiah demi rupiah yang tertatih-tatih
dikumpulkan umat Islam.
Akhur-akhir ini, timbul wacana
pemerintah untuk memanfaatkan dana haji yang telah dikumpulkan rakyat untuk
diInvestasikan kepada Infrastruktur yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan
Haji (BPKH). Secara yuridis Pasal 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan Keuangan Haji telah memberikan batasan pengelolaan keuangan haji
yaitu untuk meningkatkan:
a.
Kualitas
Penyelenggaraan Ibadah Haji
b.
Rasionalitas
dan Efisiensi Penggunaan BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji)
c.
Manfaat
bagi Kemaslahatan Umat.
Tegas
sekali bahwa pengelolaan keuangan haji hanya dapat digunakan untuk 3 hal
diatas. Dana haji boleh digunakan untuk Infrastruktur, namun yang bermanfaat
bagi penyelenggaraan haji. Contohnya peningkatan fasilitas pusat pelatihan dan
wisma haji atau Asrama haji (Akomodasi) selama penyelenggaraan Ibadah Haji. Hal
itu akan lebih terasa manfaatnya bagi “pemilik dana”. Kemaslahatan umat yang
dimaksud adalah seperti kegiatan pelayanan sebelum keberangkatan jamaah haji,
ekonomi umat, pendidikan dan dakwah, serta pembangunan sarana dan prasarana
ibadah.
Badan
Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dibentuk bertujuan untuk mengeloala dana haji
Jamaah (rakyat), oleh karenanya BPKH dalam pengelolaannya harus pro terhadap
Jamaah, bukan Pro terhadap Pemerintah. BPKH harus selalu mempertimbangkan
prinsip syariah, kehati-hatian, nilai manfaat, nirlaba, transparan, dan
akuntable dalam mengelola dana jamah haji sebagaimana yang disebutkan dalam
pasal 2 Undang-undang Pengelolaan Keuangan Haji. Sementara investasi Infrastruktur
dirasa tidak sesuai dengan azas serta prinsip dalam pengelolaan keuangan haji
sebagaimana yang ditentukan undnag-undang.
Bahwa,
Niat pemerintah untuk menggunakan dana haji untuk kepentingan Infrastruktur
sangat melenceng dengan Undang-Undang. Pengabaian Undang-Undang oleh Pemerintah
merupakan State Crime (Kejahatan
Negara), apalagi ini menyangkut dana rakyat, umat Islam yang tidak diperoleh
dengan mudah.
Investasi dalam bentuk Infrastruktur
merupakan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah. Jangan lagi libatkan uang
rakyat untuk dengan penggunaan yang tidak semestinya. Pembangunan Infrastruktur
merupakan Investasi yang beresiko, tidak jelas nilai manfaatnya bagi calon
Jamaah haji, apalagi dengan fenomena korupsi yang membudaya. Bahkan, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) pun menyatakan lemahnya pengendalian Internal sejumlah
kementerian dan lembaga negara mamicu ketidakpatuhan terhadap
perundang-undangan. Sangat besar peluang keuangan haji mengalami hal serupa, karena
pengelolaan keuangan haji rentan dengan penyimpangan, terbukti dengan kasus
korupsi yang juga melibatkan Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali. Keuangan
Haji bukanlah kewajiban seperti Pajak, tapi merupakan tabungan umat. Siapa yang
akan bertanggungjawab jika proyek rugi dan tabungan umat tidak bisa
dikembalikan?. Sehingga sangat wajar bila rakyat (umat Islam) khawatir hal ini
akan menghambat dan/atau mengurangi fasilitas pelayanan jamaah haji di kemudian
hari.
Bahwa, yang
terpenting penggunaan dana haji oleh pemerintah tentu harus ada persetujuan
dari pemilik dana. Dalam pengelolaan dana haji ada dua akad yaitu akad muqayyadah yang penggunaan
dananya harus atas persetujuan pemilik dana. Dan akad mutlaqah yang pengelolaannya
diserahkan ke pengelola. Namun, keduanya harus memiliki persetujuan dari
pemilik dana. Sehingga dalam pengelolaan dana/keuangan haji, Pemerintah melalui
BPKH haruslah mengelola keuangan haji secara transparan dan dikeloa sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dengan tidak bertentangan dengan keinginan
rakyat (pemilik dana haji),