Madkhol
Muqaddimah
Ilmu
fiqh merupakan salah satu ilmu yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan
seorang muslim. Fiqh merupakan ilmu yang sudah ada sejak dulu, bahkan sejak
awal munculnya Islam ilmu fiqh sudah ada.
Sejak zaman Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam ilmu fiqh sudah berkembang, akan tetapi ilmu fiqh belum
menjadi sebuah disiplin ilmu yang banyak dipelajari oleh para shahabat. Karena
pada saat shahabat mempunyai suatu permasalahan, mereka langsung merujuk pada
Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Maka pada saat itu pula, semua masalah yang dihadapi oleh shahabat
langsung bisa terselesaikan. Pada saat shahabat bertanya suatu masalah
kepada Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi
wa Sallam, maka Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam pun merujuk kepada
Al-Qur’an.
Jika Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tidak mendapatkannya dalam Al-Qur’an, Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam langsung merujuk kepada As-Sunnah. Pada saat Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam meninggal, maka banyaklah timbul permasalahan-permasalahan. Ketika itu shahabat menggunakan jalur istinbat mereka
masing-masing, karena mereka tidak bisa merujuk langsung kepada Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang
sudah meninggal. Dan permasalahan ini tidak hanya berhenti pada masa shahabat
saja. Masalah ini masih berlanjut sampai pada zaman tabi’in, tabiut tabi’in, ulama’ sholihin, bahkan sampai zaman kita
sekarang ini. Periode ini dinamakan
dengan periode tasyri’.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam pembagian
tasyri’. Akan tetapi dari sekian banyak ikhtilaf, dapat disimpulkan bahwa
tasyri’ mempunyai lima fase, yaitu:
a.
Periode
Pertama.
Tasyri’ pada masa Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Ini berlangsung selama 22 tahun dan
beberapa bulan, terhitung sejak kebangkitan Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tahun ke-13 H atau 610 M
sampai wafatnya beliau tahun ke 11 H atau 632 M.
b.
Periode
Kedua.
Tasyri’ pada masa khulafaur rasyidin. Ini berlangsung sejak
wafatnya Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada tahun 11 H atau
632 M sampai dengan akhir abad pertama hijriah pada tahun 101 H atau 720 M.
c.
Periode
Ketiga.
Tasyri’ pada masa tabi’in dan imam mujtahid pada masa keemasan
dinasti abbasiyah. Ini berlangsung
selama 250 tahun, yaitu terhitung mulai tahun 101 H sampai tahun 350 H
(720 – 961 M).
d.
Periode
Keempat.
Tasyri’ pada masa kemunduran dan
taqlid atau kebekuan, jumud, dan statis. Ini dimulai sejak tahun 351 H.
e.
Periode
Kelima.
Tasyri’ pada masa pembangunan kembali, kebangkitan atau renaissance.
Ini bermula pada tahun 1786 M sampai sekarang
Pengertian Tasyri’.
Secara
bahasa tasyri’ berarti “ pembuatan undang-undang”.[1] Secara istilah syara’ adalah pembentukan atau
pembuatan undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan orang
dewasa, dan ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang yang terjadi
dikalangan mereka.[2]
Jika pembentukan undang-undang ini bersumber dari Allah Subhana
Wa Ta’ala dengan perantara Rasul dan kitab-Nya, maka ini dinamakan dengan perundang-undangan
Allah Subhana Wa Ta’ala (At-Tassyri’ul Ilahi). Sedangkan jika
perundang-undangan ini bersumber dari manusia, baik berkelompok atau pun
individual, maka ini dinamakan dengan perundang-undangan manusia (At-Tasyri’ul Wad’i ).[3]
Pengertian Fiqh.
Secara bahasa fiqh dapat berarti faqaha yang berarti “memahami”
atau “mengerti”.[4]
Sedangkan
menurut ilmu syar’i fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat
amaliyah dari dalil-dalil yang terperinci.[5]
Sejarah Perkembangan Fiqih (Tarikh Tasyri’)
Tarikh
tasyri’ atau perkembangan fiqh bermula pada zaman Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan berkembang pada masa tersebut. Karena pada saat ini,
Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang punya wewenang dan hak
tentang penentuan hukum. Dan masa ini dinamakan dengan masa kenabian,
dikarenakan pasa saat itu Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi wa Sallam masih
hidup, dan pada saat itulah Allah Subhana Wa Ta’ala menurunkan wahyu
kepada Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai beliau wafat.
Alasan
juga kenapa dinamakan dengan masa kenabian yaitu karena pada masa ini merupakan
masa perkembangan dan pembangunan ilmu fiqh. Yaitu suatu masa yang diturunkan
syari’at fiqh dalam makna yang sebenarnya.
Pada
masa Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam permasalah dalam ilmu fiqh
itu sangat sedikit sekali. Semua itu karena adanya Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam diantara para shahabat, yang menjadi rujukan langsung
jika mereka mendapatkan suatu permasalahan. Para shahabat kembali kepada
Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika mendapatkan suatu
permasalah hukum yang belum mereka pahami. Dan secara langsung Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam akan menjelaskan secara detail tentang masalah tersebut.
Setelah
wafatnya Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam, disini barulah mulai
timbul permasalahan-permasalahan fiqh. Para shahabat bingung bagaimana cara
penetapan hukum, karena Rasulullah SAW telah wafat. Karena tidak ada Rasulullah
SAW sebagi rujukan bertanya, para sahabat akhirnya melakukan ijtihad dengan
menggunakan dasar hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Setelah
masa shahabat yaitu masa tabi’in. Pada masa ini juga sumber hukumnya masih sama
dengan masa shahabat. Dan para tabi’in masih mengikuti cara shahabat dalam
penetapan hukum.
Saat
penghabisan masa tabi’in, disinilah mulai banyak timbul
permasalahan-permasalahan baru. Hal ini karena tercampurnya orang-orang Arab
dengan orang non Arab dan tercampurnya pemahaman mereka, sehingga menimbulkan
ikhtilaf dalam hukum. Hal ini berlanjut hingga saat ini dan bahkan
hingga akhir zaman.
Disini
kita mengetahui bahwasanya para mujtahid bukanlah orang yang membuat hukum,
akan tetapi mereka hanya menyimpulkan hukum-hukum yang sudah ada. Para mujtahid
menyimpulkan hukum-hukum tersebut harus merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah
dengan menggunakan kesimpulan yang benar.
Oleh
karena itu, yang dimaksud dengan sejarah perkembangan fiqh Islam (tarikh
tasyri’) adalah ilmu yang membahas tentang keadaan fiqh pada masa Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan masa-masa sesudahnya, untuk menentukan masa
terjadinya hukum, serta mengetahui keadaan fuqaha’ dan mujtahid dalam penentuan
hukum.
Periodesasi Pada Masa Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Periode ini bermula saat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam
berada di gua Hira’ pada hari jumat 17 Ramadhan tahun ke 13 sebelum hijrah bertepatan
dengan tahun 610 M. Periode ini berlangsung hanya beberapa tahun saja, yaitu
tidak lebih dari 22 tahun dan beberapa bulan saja.[6]
Akan tetapi pada masa ini mempunyai banyak pengaruh penting. Sebab pada periode
ini telah meninggalkan sebagian dari ketetapan hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pada
masa ini juga, sudah meninggalkan berbagai pokok hukum tasyri’ dan menunjuk berbagai
sumber dan dalil hukum untuk mengetahui suatu persoalan yang belum ada
ketetapan hukumnya. Dengan begitu, pada
masa ini telah membentuk dasar undang-undang yang sempurna.
Poriode
ini memiliki dua fase, yang mana masing-masingnya mempunyai corak yang berbeda.
Fase-fase tersebut dapat dirincikan sebagai berikut:
a.
Fase Makkah.
Fase ini bermula sejak Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam
tinggal di Makkah selama 12 tahun beberapa bulan saja. Fase ini terhitung
semenjak Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam diutus sebagai seorang Rasul
hingga beliau hijjrah ke Madinah.[7]
Pada masa ini umat Islam masih sangat sedikit sekali, masih lemah,
dan belum bisa membentuk suatu kekuatan. Oleh karena itu, perhatian Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam masih difokuskan kepada pembentukan dan penanaman da’wah
untuk menyembah Allah Subhana Wa Ta’ala dan memalingkan mereka dari
sesembahan berhala dan patung.
Pada masa ini juga, Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam
membentengi dirinya dan umat Islam agar kuat terhadap tantangan orang-orang non
muslim yang mengejek umat Islam. Sehingga pada masa ini tidak ada hukum yang
membahas tentang pemerintahan, perdagangan dan hukum-hukum yang lainnya. Oleh
karena itu, surat-surat makkiyah yang ada didalam Al-Qur’an tidak membahas
tentang hukum ibadah dan muamalah, akan tetapi kebanyakan membahas tentang
keyakinan atau kepercayaan, budi pekarti, tauladan dan cerita dari perjalanan
hidup umat terdahulu.
b.
Fase Madinah.
Fase ini kurang lebih selama
10 tahun lamanya. Fase ini bermula ketika Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa
Sallam berhijrah ke Madinah sampai waktu wafatnya. Fase ini Islam sudah
berkembang pesat dan kuat, jumlahnya pun sudah semakin banyak dari pada fase di
Makkah. Ummat Islam pada masa ini juga sudah mempunyai suatu pemerintahan yang
berjalan dengan lancar dimedia da’wah.
Keadaan
ini merupakan penyebab utama yang mendorong para mujtahid untuk mengadakan
tasyri’ dan pembentukan perundangan-undangan. Dengan ini juga dapat mengatur
hubungan antara umat Islam dengan non muslim baik dalam keadaan damai ataupun
dalam keadaan perang. Oleh karenanya ayat-ayat makiyyah membahas tentang hukum
syari’at seperti nikah, perceraian, warisan, hutang piutang, pidana dan lain
sebagainya. Ayat Madaniyah selain membahas tentang hukum, ada juga yang
membahas tentang akhlak dan cerita tentang umat terdahulu.[8]
Sumber Hukum Pada Masa Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
a.
Al-Qur’an.
Pengertian
Al-Qur’an.
Kata Al-Qur’an dalam bahasa arab dapat diartikan “qara’a”
yang diartikan dengan “membaca”, “mengumpulkan” atau “menghimpun”.[9]
Dalam
istilah Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam, yang ditulis dalam lembaran-lembaran, sampai kepada kita
dengan jalan mutawatir, membacanya merupakan ibadah, diawali dengan surat
Al-Fatihah dan diakhri dengan surat An-Naas.[10]
Al-Qur’an Dalam Menetapkan Hukum.
Dalam
menetapkan hukum Al-Qur’an menggunakan prinsip. Diantara prinsip-prinsip
Al-Qur’an dalam menetapkan hukum adalah sebagi berikut:
a.
Memberi kemudahan dan tidak menyulitkan.
Ini sesuai dengan firman Allah Subhana Wa Ta’ala yang
artinya: “ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan apa yang
diberikan Allah kepadanya.” (At-Talaq: 7)
b.
Menyedikitkan
tuntutan.
Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman:
يآيُّها
الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لاَ تَسْئَلُوْاعَنْ أَشْيَآءَ اِنْ تُبْدَلَكُمْ تَسُؤْمُمْ
وَ اِنْ تَسْئَلُوْا عَنهَا حِيْنَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَلَكُمْ
عَفَا
اَللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُوْرُ حَلِيْمٌّ. قَدْ سَاَلَهَا قَوْمٌ مِّنْ قَبْلِكُمْ
ثُمَّ اَصْبَحُوْا بِهَا كَافِرِيْنَ. (المائدة:101-102 )
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada mu, (justru) menyusahkan kamu.
Jika kamu menanyakan ketika Al-Qur’an sedang diturunkan, (niscaya) akan
diterangkan kepadamu. Allah Subhana Wa Ta’ala telah memaafkan (kamu) tentang
hal itu. Dan Allah Subhana Wa Ta’ala Maha Pengampun, Maha Penyantun.
Sesungguhnya sebelum kamu telah ada segolongan manusia yang menanyakan hal-hal
serupa itu (kepada Nabi mereka), kemudian mereka menjadi kafir.” (Al-Maidah:101-102)
c.
Bertahan
dalam menetapkan hukum.
Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Mereka
menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar
dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari pada manfaatnya.” (
Al-Baqarah: 219)
d.
Al-Qur’an
memberikan hukum sejalan dengan kemaslahatan manusia.
B. Sunnah.
Pengertian
Sunnah.
Sunnah secara bahasa berarti “cara yang dibiasakan” atau “cara
yang terpuji”.
Sunnah secara istilah berarti,
ما صدر
عن النبى غير القرآن من قول أو فعل أو تقرير
“Sumber yang disandarkan
kepada Nabi selain Al-Qur’an dari perkataan, perbuatan atau persetujuan.”[11]
Sunnah dalam menetapkan hukum.
a.
Sebagai
penguat bagi Al-Qur’an.
Sebagai penguat hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Seperti
mendirikan shalat, membayar zakat, melarang untuk berbuat syirik, dan memakan harta
orang lain. Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لا يحل
امرئ مسلم إلا بطيب نفس منه
“Tidak halal harta seorang muslim itu, kecuali dengan
kebaikan darinya”.
Hadits diatas merupakan penguat dari firman Allah Subhana Wa
Ta’ala:
يَاأَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَأْكُلُوْا أَمْوَلَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ (النساء29 :)
“Wahai orang-orang yang
beriman janganlah kalian saling memakan harta diantaramu dengan jalan yang
batil”. (An-Nisa’:29)
b.
Sebagai penjelas bagi Al-Qur’an.
Sunnah sebagai penjelas bagi ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal
(umum). Seperti perintah zakat dalam Al-Qur’an yang masih umum, diperjelas
dalam sunnah dengan menyebutkan kadar nishabnya.
c.
Membatasi
kemutlakan.
Al-Qur’an memerintahkan untuk berwasiat, akan tetapi tidak ada
batasan dalam wasiat. Kemudian sunnah memberi batasan dalam berwasiat.
d.
Mentakhsiskan
keumuman.
Al-Qur’an mengharamkan bangkai, sunnah memberi pengkhususan dengan
pengeculian bangkai ikan dan belalang.
e.
Menciptakan
hukum baru.[12]
Periodesasi Pada Masa Khulafaur-Rasyidin.
Periode ini dimulai sejak wafatnya Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi
wa Sallam pada tahun 11 H, dan berakhir pada akhir abad 1 H. Periode ini
dipegang oleh para shahabat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Pada
masa ini perkembangan Islam semakin meluas sampai diluar semenanjung Arab
seperti Mesir, Syiria, Persi dan Iran.
Periode shahabat ini memiliki sumber hukum yang sangat sempurna,
yaitu berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kemudian dilengkapi dengan adanya Ijma’
dan Qiyas. Belum lagi ditambah dengan adat istiadat dan peraturan dari berbagai
daerah yang tidak menyelisihi undang-undang dan peraturan Islam.
Sumber Hukum Pada Masa Khulafaur-Rasyidin.
Pada masa
khulafaur rasyidin mempunyai tiga sumber hukum yaitu:
a.
Al-Qur’an.
b.
Sunnah.
c.
Ijtihad
sahabat.
Para shahabat mengunakan tiga sumber hukum diatas dalam menentukan
suatu hukum. Jika mendapatkan suatu permasalahan, mereka langsung merujuk
kepada Al-Qur’an. Jika para shahabat tidak mendapatkan ketentuan hukum dalam
Al-Qur’an, maka para shahabat akan mencari hukum tersebut di dalam As-Sunnah
kemudian mengamalkan dan melaksanakan hukum
dengan ketentuan hukum yang ada dalam As-Sunnah.
Kalau para shahabat tetap tidak menemukan hukum yang mereka cari
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, barulah mereka menggunakan ijtihad mereka. Mereka
juga berijtihad berdasarkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.[13]
Periodesasi Pada Masa Tabi’in.
Periode
ini berlangsung selama 250 tahun, yaitu
terhitung mulai tahun 101 H sampai tahun 350 H (720 – 961 M).[14]
Pada masa ini kekuasaan Islam semakin meluas keberbagai kota, sampai ke kota-kota
yang dihuni oleh orang-orang non Arab. Pada saat ini juga telah banyak ulama’
yang bertebaran didaerah non Arab, sehingga tidak sedikit dari kalangan mereka
yang memeluk agama Islam.
Pada
periode tabi’in ini juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Penulisan dan pembukuan hukum Islam dilakukan
dengan sempurna, baik berupa penulisan hadits-hadits Nabi, fatwa-fatwa para shahabat
dan tabi’in, tafsir Al-Qur’an, kumpulan pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan
ushul fiqih. Sebab pada masa ini telah muncul perundang-undangan Islam yang
mengambil hukum terhadap apa yang sudah terjadi dan yang mungkin akan terjadi.[15]
Masa
tabi’in merupakan masa keemasan bagi perundang-undangan Islam. Karena pada masa
ini hukum Islam telah berkembang. Pemerintahan Islam pada masa tabi’in juga
kaya dengan hukum-hukum iIslam dari berbagai daerah yang mempunyai kepentingan
yang berbeda-beda.
Sumber Hukum Pada Masa Tabi’in.
Setelah masa khalifah yang empat berakhir, fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang
pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayyah. Pemerintahan ini di dirikan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan yang sebelumnya menjadi gubernur
Damaskus.
Pada zaman pemerintahan Banu Umayyah, sistem
kepemimpinan diganti dengan sistem kerajaan. Dan sumber hukum pada masa ini ada
empat:
a.
Al-Qur’an.
b.
As-Sunnah.
c.
Al-Ijma’.
d.
Ijtihad
dengan jalan Qiyas atau Ijtihad dengan satu jalan dari jalan-jalan istinbat
(pengambilan hukum).[16]
Jika seorang mufti telah menemukan nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
dalam menentukan suatu hukum, maka mereka akan cukup dengan hukum tersebut.
Kalau mereka tidak mendapatkannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka mereka
kembali pada ijma’ para ulama’ salaf dan mengamalkannya. Jik masih tidak
mendapatkan dari ijma’ para ulama’ salaf, barulah mereka beristinbat dengan
jalan yang sudah di tunjukkan oleh syar’i.
Periodesasi Pada Masa Kemunduran.
Periode ini adalah periode dimana para ulama’ sudah mengalami kelemahan,
kemunduran, dan kebekuan dalam semangat ijtihad. Hal ini dikarenakan mereka
telah biasa membiasakan diri mengikuti hukum-hukum yang sudah dikembangkan pada
masa imam-imam mujtahid.
Periode ini dimulai kira-kira pada pertengahan abad ke empat hijriyah. Hal ini bersamaan
dengan waktu dimana umat Islam ditimpa dengan berbagai permasalahan politik,
moral dan social, yang mendorong mereka menuju kepada titik kelemahan. Sehingga
dengan kelemahan tersebut berhentilah gerakan ijtihad pada masa ini dan matilah
semangat berfikir para ulama’ dalam menetapkan suatu hukum.
Periodesasi Pada Masa Kebangkitan Dan Masa Renaissance[17].
Fase ini di mulai sejak abad ke 13 H sampai sekarang. Fase ini
memiliki corak yang sangat berbeda dari fase-fase yang lain. Pada masa ini
dapat menghadirkan fiqh ke zaman yang baru seiring dengan perkembangan zaman.
Periode ini juga dapat memberikan masukan dalam menentukan jawaban bagi setiap
permasalahan yang muncul pasa saat itu dan sampai hari ini dari sumbernya yang
asli, menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tertentu.
Periode ini ditandai dengan gerakan pembaharuan pemikiran yang
kembali pada Islam. Diantara tanda-tanda kemajuannya adalah:
a.
Di
bidang perundang-undangan.
Periode ini
dimulai sejak berlakunya majalah Al-Ahkam Al-Adliyah yaitu buku tentang
perundang-undangan hukum Islam pada masa pemerintahan Turki Utsmani pada tahun
1867 M.
b.
Di
bidang pendidikan.
Diperguruan tinggi yang ada di Mesir, Pakistan dan Indonesia dalam
mempelajari fiqh tidak hanya dipelajari begitu saja, akan tetapi ada sebuah
perbandingan. Bahkan hukum-hukum istiadat dari daerah tersebut. Dengan begitu
wawasan fiqh semakin berkembang bersamaan dengan perkembangan zaman.
Pada abad-14 telah muncul
mujtahid besar seperti, Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) dan muridnya Ibnu Qoyyim
al-Jauziah (1292-1356 M). Dan dilanjutkan pada abad-17 dengan Muhammad Ibnu
Abdul Wahab (1703-1787 M) yang terkenal dengan gerakan wahabi yang mempunyai
pengaruh besar terhadap gerakan padri di Minangkabau (Indonesia).
Zaman kebangkitan pemikiran hukum Islam ini dilanjutkan sekarang
dengan sistem baru dalam mempelajari dan menulis hukum Islam. Di samping sistem
pemberian materi kuliah khususnya di Fakultas Hukum yang telah berubah
tersebut, juga diadakan cara-cara baru dalam menuliskan (melukiskan) hukum
Islam. Selain kebangkitan pemikiran hukum Islam di kalangan orang-orang Islam
sendiri, terutama di masa akhir-akhir ini, perhatian dunia terhadap
perkembangan hukum Islam menjadi bertambah.
Kesimpulan.
Perkembangan
Islam memiliki beberapa fase perkembangan. Dari zaman Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam hingga zaman sekarang. Masing-masing zaman memiliki tahapan-tahapan.
Dengan adanya mekalah ini semoga membantu sedikit penerangan tentang fase-fase
tersebut. Dan dengan adanya makalah ini kita akan semangat dalam mengembangkan
Islam hingga Islam akan jaya pada titik akhirnya.
DAFTAR PUSTAKA
·
Al-Qaththan,
Manna’. 2011. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, cetakan 6.
·
Khalaf,
Abdul Wahab. Khulashoh Tarikh Tasyri’
al-Islami, Solo: CV. Ramadhani.
·
Munawwir,
Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir. Indonesia: Pustaka Progressif,
cetakan 14.
·
Zuhaili,
Wahbah. 1999. Al-Wajiz fii Ushul Fiqh. Pustaka Darul Fikr.
[1] Ahmad Warson
Munawwir, kamus Al-Munawwir ( Indonesia, pustaka progressif, cetakan
14 thn 1997 M) hal, 712.
[2] Abdul Wahab Khalaf, Khulashoh Tarikh
Tasyri’ al-Islami, (Solo, CV. Ramadhani) hal, 7.
[3] Ibid, hal, 7.
[4] Ahmad Warson
Munawwir, kamus Al-Munawwir , hal, 1067.
[5] Wahbah
zuhaili, Al-wajiz fii ushul fiqh (damaskus, darul fikr, thn 1999 M) hal,
14.
[9]
Manna’
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, cet
6, 2011) hal, 16.
[12]
Wahabah
Zuhaili, Al-Wajiz fii Ushul Fiqh (Darul Fikr, thn 1999) hal, 37.
[17]
Renaissance
adalah hidup kembali atau menyangkut hari kelahiran suatu kebudayaan.