Kamis, 12 Mei 2016

dirasah

LGBT dalam Perspektif JIL

oleh: Nay binta Iman




LGBT, menurut adat masyarakat Indonesia adalah hal tabu untuk dilakukan secara bebas. Artinya disana ada norma-norma tak tertulis yang berlaku dikalangan masyarakat. Jika hal ini dilanggar, minimal orang akan menganggapnya sebagai orang yang tidak beradab. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam agama Islam. Sebab, syariat Islam itu sesuai dengan fitrah manusia.
Berbeda halnya jika bahasan tentang homoseksual dan lesbi ini keluar dari mulut orang Liberal. Aturan Islam yang semestinya dipatuhi bukan hal yang wajib ditepati lagi.
LGBT dalam Perspektif JIL
Profesor Liberal Dosen UIN Jakarta Musdah Mulia, seperti pakem Liberal lainnya Dosen UI dan pimpinan redaksi online majalah Madina, Ade Armando, mendukung habis-habisan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) di Indonesia.
Harian The Jakarta Post, edisi Jumat (28/3/2008) pada halaman mukanya menerbitkan sebuah berita berjudul Islam ‘recognizes homosexuality’ (Islam mengakui homoseksualitas). Mengutip pendapat dari Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, Guru Besar di UIN Jakarta, koran berbahasa Inggris itu menulis bahwa homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam. (Homosexuals and homosexuality are natural and created by God, thus permissible within Islam). Segala yang diciptakan oleh Alloh juga mengandung hikmah.
 Musdah juga mengutip QS 49 ayat 3, ia menyatakan, salah satu berkah Tuhan adalah bahwasanya semua manusia, baik laki-laki atau wanita, adalah sederajat, tanpa memandang etnis, kekayaan, posisi sosial atau pun orientasi seksual. Karena itu, aktivis Liberal dan kebebasan beragama dari ICRP (Indonesia Conference of Religions and Peace) ini, “Tidak ada perbedaan antara lesbian dengan non-lesbian. Dalam pandangan Tuhan, manusia dihargai hanya berdasarkan ketaatannya.”  
Dalam kesempatan lain, Ade menuliskan dalam majalah onlinenya beberapa poin penting yang diutarakan Musdah, yaitu tidak ada satupun ayat Al-Qur’an yang mengharamkan LGBT. Ayat-ayat yang digunakan sebagai rujukan pengharaman adalah ayat yang bercerita tentang adzab Alloh terhadap umat nabi Luth (An-Naml: 54-58, Hud: 77-83, Al-A’raf: 80-81 dan Asy-Syuara: 160-175). Kaum tersebut digambarkan sebagai kaum yang melakukan kedurhakaan, termasuk perilaku seks yang diluar batas dan keji. Memang ada ayat yang yang mengesankan bahwa salah satu perilaku seks yang dihujat oleh nabi Luth adalah perilaku seks gay..Namun, dalam tafsiran Musdah, sangat mungkin yang sebenarnya dihujat adalah bukan perilaku seks sesama jenis tapi perilaku sodomi yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai al-fakhisyah (Qs. Al-A’raf: 80)
Pelacakan terhadap kepustakaan lain nampaknya bisa memperkuat argumen Musdah. Hadits-hadits Nabi misalnya mengalami pola serupa. Berulangkali nabi Muhammad SAW., dikutip menghujat mereka yang mengikuti gaya hidup umat Nabi Luth. Namun, tak sekalipun menghujat kaum LGBT. Hadits tersebut memerintahkan hukuman keras bagi pelaku hubungan seks sesama jenis. Namun, ada kesan yang diancam hukuman itu adalah hubungan sodomi. Selain itu, adapula hadits Nabi yang berbunyi, “ Alloh tidak akan melihat pada laki-laki yang menyetubuhi laki-laki atau wanita yang menyetubuhi wanita pada duburnya.” Dari hadits ini dapat ditarik kesimpulan serupa dengan argumen Musdah. Sebab, yang dilarang adalah penetrasi seks melalui dubur bukan LGBT. Sedang penetrasi bukanlah satu-satunya cara untuk mendapat kepuasan seksual.  
 Islam Membantah
Dalam Islam, soal homoseksual ini sudah jelas hukumnya. Meskipun sudah sejak dulu ada orang-orang yang orientasi seksualnya homoseks, ajaran Islam tetap tidak berubah, dan tidak mengikuti hawa nafsu kaum homo atau pendukungnya.
Mengenai pendapat beliau bahwa homo, lesbi adalah suatu fitrah, maka fitrah yang dimaksud adalah fitroh dalam perspektif siapa? Fitrah dalam Al-Qur’an tepatnya pada surat Asy-Syams ayat 8 terdapat 2 macam, yaitu fitrah kefasikan (keburukan) dan fitrah ketaqwaan (baik). Kemudian pada ayat selanjutnya Alloh SWT., menyatakan beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwa itu dengan kebaikan. Sedang fitrah yang mereka maksud adalah fitrah kefasikan karena bertentangan dengan kodrat yang ada. Selanjutnya, jika mereka mengatakan bahwa semua ciptaan ada hikmahnya maka hal itu dibenarkan. Gay, lesbi dan yang lainya memiliki hikmah yaitu, karena anak gay adalah ujian apakah kita mau merubah karakter tersebut atau justru kita mengikuti hawa nafsu setan? Maka, sungguh Alloh SWT., mengangkat derajat seseorang dengan bentuk ujian. Dan itulah hikmahnya.
Alloh hanya menilai seseorang dari kualitas ketaqwaan. Lalu, ketaqwaan seperti apa yang Musdah maksudkan! Taqwa dalam perspektif dirinya, bukan atas tolak ukur Alloh SWT.
Mengenai kisah Nabi Luth maka dia tidak melihat hadits lain yang jauh lebih jelas mencantumkan ketidakbolehan LGBT. Dalam hadits itu dicantumkan bahwa seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat lelaki lainya, begitu pula perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan lainya. Sedangkan LGBT sendiri kedua belah pihak dapat melihat aurat lainya dan hal ini amat melanggar Syariat. Kedua, jika memang LGBT tidak melakukan tindak sodomi dan melakukan penetrasi dengan cara lain, pak Ade sendiri mencantumkan jawaban atas kritik seorang akademisi diakun beliau bahwa untuk mencapai kenikmatan seksual seorang gay dapat melakukanya dengan tangan atau masturbasi. Sedangkan masturbasi dalam Islam sangat dilarang.
Para mufassir Al-Quran sekaliber Ibnu Katsir dan yang lainya yang memiliki keilmuan tinggi, ketaqwaan serta kewaraan saja selama ratusan tahun tidak ada yang berpendapat seperti Prof. Musdah Mulia yang berani menghalalkan homoseksual. Gerakan legalisasi homoseksual yang dilakukan oleh kaum Liberal di Indonesia sebenarnya sudah melampaui batas. Bagi umat Islam, hal seperti ini merupakan sesuatu yang tidak terpikirkan (“unthought”). Bagaimana mungkin, dari kampus berlabel Islam justru muncul dosen dan mahasiswa yang berani menghalalkan homoseksual.
Gerakan legalisasi homoseksual dari lingkungan kampus Islam tidak bisa dipandang sebelah mata. Tindakan ini merupakan kemungkaran yang jauh lebih bahaya dari gerakan legalisasi homoseks yang selama ini sudah gencar dilakukan kaum homoseksual sendiri. Alangkah baiknya, kita sebagai umat muslim berusaha mencegah penyebaran virus legalisasi LGBT dengan banyak mengejawantahkan  para akademisi khususnya dan masyarakat pada umumnya tentang kesesatan liberalisme LGBT.

dirasah tafsir


Tafsir Masa Tabi'in
            Al-Qur’an merupakan landasan utama bagi umat Islam yang ingin selamat dalam perjalanan menuju Rabb-nya. Allah menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa yang lugas dan ringkas, agar para hamba-Nya bisa menafakkuri keajaiban-keajaiban yang terkandung di setiap ayatnya. Oleh karenanya, ilmu akan tafsir Al-Qur’an tak akan pernah kering untuk dikaji selama manusia hidup di muka bumi ini.
Maka, sepeninggal Rasulullah dan para sahabat, para tabi’in kemudian tampil untuk melestarikan kajian tentang tafsir Al-Qur’an. Setelah para tabi’in, kajian akan tafsir terus berlanjut hingga kemudian berhasil dibukukan pada akhir abad pertama hijriyah.
A.    Tafsir pada masa Tabi’in
Tafsir pada masa ini tidak berbeda jauh dengan tafsir pada masa sahabat. Sebagaimana para sahabat, tabi’in juga merupakan orang-orang yang sangat berhati-hati dalam menafsirkan Al-Qur’an.  As-Sya’bi  berkata, “Demi Allah, tidak ada satu ayatpun dari Al-Qur’an kecuali aku telah menanyakan (tafsir)nya. Dan itu semua adalah riwayat dari Allah.” Sedangkan Sa’id bin Al-Musayyib, jika ditanya tentang tafsir dari Al-Qur’an maka beliau diam, seakan-akan tidak mendengar. 
Manhaj tabi’in dalam tafsir
            Para tabi’in mengikuti para sahabat dalam mengambil landasan rujukan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Seiring dengan semakin luasnya wilayah Islam dan semakin dalamnya kebutuhan manusia akan tafsir, maka para tabi’in pun merumuskan landasan-landasan baru dalam menafsirkan suatu ayat.
Adapun landasan- landasan yang dijadikan rujukan oleh tabi’in dalam menafsirkan suatu ayat, yaitu :
a.       Al-Qur’an
b.      Sunnah
c.       Perkataan para sahabat
Para tabi’in mengambil tafsir dari kalangan sahabat dan mengutamakan perkataan  para sahabat daripada pendapat dari kalangan mereka sendiri. Hal itu dikarenakan tabi’in adalah golongan yang menimba ilmu langsung dari para sahabat, serta menyetorkan hafalan Al-Qur’an kepada mereka. Mujahid  berkata, “Aku menyetorkan mushaf dari Al-Fatihah sampai An-Nas kepada Ibnu Abbas sebanyak tiga kali. Disetiap ayat aku berhenti untuk menanyakan makna dari ayat tersebut.”
d.      Pemahaman dan Ijtihad
Jika para tabi’in tidak menemukan tafsir suatu ayat dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan perkataan para sahabat, maka mereka berijtihad mengenai hal tersebut. Para tabi’in adalah mujtahid yang ahli. Mereka mengetahui seluk beluk bahasa Al-Qur’an, dan mendengar langsung penuturan tafsir dari para sahabat.
e.       Perkataan Ahlu Kitab Yahudi dan Nashrani (yang telah masuk Islam)
      Banyak ayat-ayat Al-Qur’an berkisah tentang nabi-nabi dan umat-umat terdahulu, namun hal tersebut  hanya dikisahkan secara global oleh Al-Qur’an, sedangkan jiwa manusia cenderung menyukai kisah.
Seiring dengan meluasnya wilayah Islam, makin banyak pula orang-orang yang memeluk agama Islam. Diantara mereka adalah para Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani yang mengetahui detail kisah-kisah dari kitab-kitab mereka, yakni  Taurat dan Injil. Akhirnya, banyak dari umat Islam yang merujuk kepada mereka demi mendengarkan detail dari kisah-kisah yang telah disebutkan oleh Al-Qur’an. Maka, masuklah beberapa kisah-kisah tersebut dalam tafsir yang dikenal dengan Israiliyyat.
Adapun Ahlu Kitab yang banyak meriwayatkan kisah-kisah tersebut adalah ; Abdullah bin Salam, Ka’b Al-Ahbar, Wahb bin Munabbih, dan Abdul Malik bin Juraih.
Ciri khas tafsir pada masa tabi’in
a.       Masuknya tafsir Israiliyyat, yakni tafsir yang diriwayatkan oleh Ahlu Kitab, baik dari kalangan Yahudi maupun Nashrani
b.      Adanya penambahan dalam tafsir yang dilakukan oleh para tabi’in yang tidak dibahas oleh para sahabat terdahulu
Hal ini disebabkan karena para sahabat dahulu hanya menafsirkan ayat yang dibutuhkan dan yang sulit dipahami oleh orang-orang di masa mereka.
c.       Penjagaan tafsir dengan talaqqi dan riwayat.
Ahlu Makkah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ahlu Madinah mengambil riwayat dari Ubay bin Ka’b, Ahlu Iraq bertalaqqi pada Ibnu Mas’ud, dan Ahlu Mesir merujuk pada imam-imam mereka.
d.      Banyaknya perbedaan pendapat di kalangan para tabi’in dalam menafsirkan ayat
e.       Mulai muncul perbedaan antar madzhab, sehingga banyak ayat yang ditafsirkan menurut corak madzhab masing-masing
f.       Adanya penisbatan setiap perkataan (tafsir) kepada sumbernya, sehingga bisa diketahui dan dibedakan antara perkataan yang shohih dan dhoif
Mufassir tabi’in yang masyhur
a.       Mujahid bin Jabir
Beliau adalah murid Ibnu Abbas yang paling tsiqqoh. Tafsirnya digunakan oleh Imam Syafi’I sebagai rujukan. Mujahid pernah menyetorkan Al-Qur’an kepada Ibnu Abbas sebanyak tiga kali dan mendengarkan tafsir setiap ayatnya dari beliau.
b.      Sa’id bin Jubair
Beliau adalah pemuka dan imam para tabi’in. Beliau berasal dari Habasyah. Beliau berguru kepada Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas serta mengambir tafsir dari mereka. Beliau sangat berhati-hati dan menahan diri dari mengemukakan pendapatnya sendiri. Hal ini mendorong sebagian ulama’ untuk cenderung mengambil tafsir dari beliau dibanding tafsir dari Mujahid dan yang lainnya.
c.       ‘Atha’ bin Abi Robah
Beliau adalah pemuka tabi’in, seorang yang tsiqqoh, faqih, dan alim. Beliau pernah bertemu dengan sekitar dua ratus sahabat Rasulullah. Di Makkah, puncak fatwa kembali kepadanya. Beliau hidup hampir seratus tahun.
d.      Ikrimah
Beliau termasuk tabi’in pilihan dan pembesar mufassirin. Beliau meiwayatkan dari Ibnu Abbas, Ali, Abu Hurairah, dan sahabat yang lain. Imam Bukhori berkata, “Tidak seorangpun rekan kami yang tidak berhujjah dengan Ikrimah.”
e.       Hasan Al-Bashri
Beliau lahir setelah kekhalifahan Umar bin Khatthab. Beliau adalah tuan para tabi’in.  Seorang yang tsiqqoh ma’mun, ilmuwan yang agung, fasih, tampan, dan bersih hatinya. Beliau meriwayatkan dari Ibnu Umar, Ali, dan sejumlah sahabat dan tabi’in.
Termasuk juga Zaid bin Aslam, Qotadah bin Di’amah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodzi, Abul Aliyah Ar-Riyahi, Amir As-Sya’bi, dan para tabi’in lainnya.
Hukum Tafsir Tabi’in
Para ulama’ berbeda pendapat tentang hukum tafsir tabi’in, jika tidak ditemukan tafsir dari Rasulullah dan perkataan  para sahabat.
Beberapa ulama’ seperti Ibnu ‘Uqail, riwayat Imam Ahmad, dan Syu’bah berpendapat bahwa tidak wajib bagi seorang muslim mengambil tafsir dari para tabi’in. Hal ini dikarenakan :
§  Mereka tidak mendengar langsung dari Rasulullah sebagaimana para sahabat
§  Mereka tidak melihat secara langsug  keadaan dan kejadian ketika Al-Qur’an diturunkan, sehingga bisa jadi mereka salah dalam menafsirkan suatu ayat dan menjadikan yang bukan dalil sebagai dalil
§  Tidak ada nash yang menyebutkan tentang keadilan para tabi’in
Abu Hanifah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah adalah landasan utamaku, dan aku tidak pernah meninggalkan segala sesuatu yang datang dari sahabat, sedangkan apa yang datang dari tabi’in adalah ijtihad mereka, dan kami adalah orang-orang yang berijtihad.”
Adapun sebagian besar ulama’ berpendapat bahwa boleh bagi seorang muslim mengambil tafsir yang diriwayatkan oleh para tabi’in. Hal ini dikarenakan para tabi’in adalah orang-orang yang bertalaqqi kepada para sahabat, menghadiri majelis mereka, menimba ilmu langsung dari mereka, dan mendengarkan dari para sahabat apa yang tidak didengar oleh umat lain.
            Qotadah berkata, “Tidak ada satu ayatpun dari Al-Qur’an kecuali aku telah mendengar sesuatu (tafsir) tentangnya.” Adapun Sya’bi menuturkan, “Demi Allah, tidak ada satu ayatpun kecuali aku telah menanyakan perihal ayat tersebut.”
Pendapat yang paling rojih adalah, seperti yang telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah, beliau berkata :
“Jika mereka (para tabi’in) bersepakat atas tafsir dari suatu ayat, maka (kita) wajib mengambil tafsir tersebut dan tidak ragu untuk menjadikannya sebagai hujjah . Adapun jika  para tabi’in berbeda pendapat tentang  tafsir dari suatu ayat, maka jangan menjadikan pendapat dari seorang  tabi’in sebagai hujjah atas pendapat dari tabi’in yang lain ataupun orang setelah mereka. Namun hendaknya mereka merujuk kembali kepada bahasa Al-Qur’an, Sunnah, atau umumnya bahasa arab, atau perkataan para sahabat tentang hal tersebut.”
            Adapun jika seorang tabi’in mentafsirkan suatu ayat, sedang para tabi’in lain tidak menyelisihinya, maka hendaknya (kita) mengambil tafsir tersebut dan mengutamakannya karena keutamaan dan keistimewaan mereka di bidang ilmu dibanding orang-orang setelah mereka.
B.     Tafsir pada masa pembukuan
Sesungguhnya tafsir pada tiga masa sebelumnya (masa Rasul, sahabat, dan tabi’in) diajarkan dengan periwayatan dan talqin (dibacakan oleh guru kepada murid). Kalaupun ada pembukuan pada masa itu, maka itu hanya sedikit saja.
Adapun masa pembukuan tafsir dimulai pada akhir abad pertama dan awal abad kedua hijriyah, bersamaan dengan disusunnya kitab hadits berdasarkan bab-babnya. Dalam tahap ini, metode pembukuan tafsir melalui beberapa tahapan :
Periode awal
Pada periode ini, tafsir merupakan satu bab diantara sekian bab-bab dalam kitab hadits. Saat itu, belum ada kitab khusus yang berisi tentang  tafsir Al-Qur’an, baik surat demi surat maupun ayat demi ayat.
Para ulama’ hadits yang menyusun tafsir dan memasukkannya sebagai salah satu bab dari kitab hadits mereka adalah :
-          Yazid bin Harun As-Silmiy, wafat pada tahun 117 H
-          Syu’bah bin Hajjaj, wafat pada tahun 160 H
-          Waki’ bin Jaroh, wafat pada tahun 197  H
dan beberapa ulama’ lainnya.
v  Karakteristik tafsir pada periode ini, diantaranya :
a.       Memiliki perhatian khusus terhadap sanad (jalur periwayatan)
b.      Masih menjadi bagian dari kitab hadits
c.       Tidak terbatas pada tafsir dari Rasulullah, namun juga mengambil tafsir dari para sahabat dan tabi’in
Periode kedua
            Pada masa ini, tafsir telah menjadi ilmu tersendiri dan dibukukan secara terpisah. Tafsir telah disusun berdasar urutan mushaf (Al-Fatihah hingga An-Nas).
            Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khillikan menyebutkan bahwa orang yang pertama kali membukukan tafsir secara terpisah adalah Abdul Malik bin Juraih (80-140H). Adapun ulama’ yang menyusun kitab tafsir pada masa ini, diantaranya :
-          Ibnu Majah (wafat pada tahun 273 H)
-          Ibnu Jarir Ath-Thobari (wafat pada tahun 310 H)
-          Ibnu Hibban (wafat pada tahun 369 H)
-          Al-Hakim (wafat pada tahun 405 H)
 dan  beberapa ulama’ lainnya.
v  Diantara karakteristik tafsir pada masa ini, diantaranya :
a.       Tafsir yang disusun adalah tafsir bil ma’tsur  (tafsir yang bersumber dari Rasulullah, sahabat, dan tabi’in)
b.      Riwayat sanadnya bersambung terus kepada orang yang mengatakannya
c.       Belum ada perhatian khusus tentang keshahihan periwayatan suatu hadits. Walaupun ada sebagian mufassir yang menyebutkan sanad dari suatu hadits yang dinukil, seperti Ibnu Juraij.
d.      Banyak tercampuri dengan kisah-kisah Israiliyyat
Periode ketiga
            Masa ini adalah masa-masa rawan bagi sejarah tafsir. Banyak dari mufassirin yang meringkas sanad dan mengambil tafsir tanpa menyebutkan sumbernya. Maka tercampurlah antara riwayat yang shohih dan yang saqim, yang kuat dan yang lemah. Peluang inilah yang kemudian digunakan oleh musuh-musuh Islam untuk menggerogoti Islam, dengan memasukkan dalam tafsir hal-hal yang tidak semestinya. Namun, Allah menjamin kemuliaan Islam dengan menghadirkan ulama’-ulama’ yang menyingkap kepalsuan-kepalsuan tersebut dan membedakan antara yang shohih dan yang saqim.
            Pada masa ini muncul penafsiran-penafsiran yang hanya didasari dengan pendapat, yang dikenal dengan ra’yu mahmud dan ra’yu madzmum. Orang-orang mulai berani menafsirkan Al-Qur’an tanpa didasari ilmu dan berlomba-lomba menafsirkan suatu ayat dengan banyak penafsiran yang tidak jelas sumbernya.
            Pada masa ini, semakin banyak kisah-kisah dari riwayat Israiliyyat yang menyebar luas yang terkadang hal tersebut bukanlah hal yang penting untuk diketahui.
Periode keempat
            Seiring dengan berkembangnya zaman, semakin mudah orang-orang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bercampurlah antara yang baik dan yang keji, yang shohih dan yang saqim, yang kuat dan yang lemah. Pada masa ini, tafsir tidak hanya berlandas pada Rasulullah, sahabat, dan tabi’in, namun telah bercampur dengan tafsir-tafsir ra’yi. Hal ini merupakan akibat dari munculnya banyak  golongan dan madzhab dalam Islam.
            Pada masa ini terjadi spesialisasi dalam pembukuan tafsir. Para fuqoha’  menyusun tafsir ayat-ayat yang berkaitan dengan fiqh, seperti Al-Qurthubi dan Al-Jishosh. Para muarrikh menafsirkan ayat-ayat yang mengandung sejarah, seperti Ats-Tsa’labiy. Ahlu nahwu membahas seputar I’rob  Al-Qur’an, seperti Al-Wahidiy dan Abu Hayyan, dan bidang-bidang keilmuan lainnya.
Kitab-kitab  tafsir pada masa pembukuan
            Tidak mudah menyebutkan kitab-kitab tafsir yang terbentang sejak abad pertama hijriyah hingga saat ini, apalagi menjelaskannya. Berikut ini adalah beberapa kitab tafsir  yang masyhur.
1.      Kitab tafsir bil ma’tsur :
a.       Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an                     Ath-Thobari
b.      Bahrul Ulum                                                   Abu Laits As-Samarkandi
c.       Ma’alimut Tanzil                                             Al-Baghowiy
d.      Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim                             Ibnu Katsir
e.       Fathul Qodir                                                   Asy-Syaukani
2.      Kitab tafsir bi ra’yi :
a.       Al Kasysyaf                                                    Az-Zamakhsyari
b.      Mafatihul Ghoib                                             Ar-Roziy
c.       Al-Bahrul Muhith                                           Abu Hayyan
d.      Tafsirul Jalalain                                               As-Suyuthi
e.       Fie Zhilalil Qur’an                                           Sayyid Quthb
Demikian sedikit uraian tentang perkembangan ilmu tafsir. Semoga bisa menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Diambil dari Buhuts fie Ushulut Tafsir wa Manahijuhu. Dr. Fahros Abdurrahman bin Sulaiman Ar-Rumiy

dirasah tafsir


                                                                        Tafsir Masa Sahabat




PENDAHULUAN

Allah tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dapat memberi penjelasan kepada mereka. Begitu juga dengan Rasulullah Muhammad SAW. Allah telah mengutus beliau kepada kaumnya  dengan Al-Qur’an yang berbahasa arab. Sehingga kaum arab dapat dengan mudah memahaminya.
 Allah SWT berfirman,
وما أرسلنا من رسول إلآ بلسا ن قومه ليبين لهم   (إبراهيم: 4)
“dan tidaklah kami mengutus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya agar memberi penjelasan kepada mereka” (Qs: Ibroohim: 4)                   
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa arab yang sangat tinggi. Sehingga mereka berbeda-beda    di dalam memahami lafadz suatu ayat di dalam Al-Qur’an. Sebagian dari mereka menafsirkan ayat yang masih samar dari makna yang lain. Dan ketika mereka menemukan kesulitan dalam menafsirkan ayat yang samar tersebut, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Dan rasul pun menjelaskannya. Oleh karena itu, berkembanglah ilmu tafsir pada masa itu. Perkembangan tafsir ini dibagi menjadi beberapa periode:
TAFSIR PADA MASA RASULULLAH SAW
Pada masa ini, para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW tentang ayat-ayat yang masih sulit untuk ditafsirkan. Dan rasul pun menjelaskannya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai sedikit banyaknya ayat-ayat yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW.
 Pendapat pertama mengatakan bahwa rasul menjelaskan semua makna dari ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana rasul menjelaskan semua lafadz-lafadznya.  Karena ketika beliau menjelaskan lafadz-lafadznya, otomatis beliau juga menjelaskan makna-maknanya. Dan ketika beliau mengajarkan kepada para sahabat 10 ayat, maka beliau tidak menambah dengan ayat yang lain sampai mereka benar-benar memahaminya dan mengamalkan apa yang telah disampaikan. Ini bermakna bahwa  Rasulullah sangat menekankan pemahaman tentang makna Al-Qur’an.
                                                                                                 
Pendapat kedua mengatakan bahwa rasul tidak menjelaskan makna Al-Qur’an kecuali hanya sedikit dari makna tersebut. Karena seandainya rasul menjelaskan secara keseluruhan, maka tidak ada gunanya rasul mendo’akan sahabat Ibnu Abbas dengan do’a,
 اللهم فقهه في الدين و علمه التأويل
 “Ya Allah jadikan ia seorang faqih di dalam urusan agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil”
Karena dengan do’a ini, para sahabat bisa bertanya kepada Ibnu Abbas tentang tafsir suatu ayat setelah rasul wafat. Dan beliau adalah sahabat yang paling paham tentang tafsir Al-Qur’an.
Pendapat yang paling rojih mengenai hal ini adalah rasul tidak menjelaskan seluruh makna ayat dalam Al-Qur’an karena sahabat telah mengetahui sebagian makna yang ada disebabkan Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa arab. Sehingga ada sebagian ayat yang tidak membutuhkan penjelasan. Begitu juga dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan perkara-perkara ghoib, atau perkara-perkara yang tidak ada gunanya ketika kita mengetahuinya, maka  rasul tidak menjelaskannya.
Adapun metode rasul dalam menafsirkan, beliau tidak berlebih-lebihan dalam menafsirkan. Tafsir beliau hanya menjelaskan yang masih global, menjelaskan ayat-ayat yang masih sulit untuk dipahami, mengkhususkan yang umum, mengikat yang mutlak dan menjelaskan makna lafadz yang lain.
TAFSIR PADA MASA SAHABAT
Telah kita ketahui bahwa para sahabat telah memahami sebagian makna dari lafadz-lafadz Al-Qur’an, karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Dan bahasa itu pasti mengandung banyak makna. Dengan adanya berbagai macam makna, maka para sahabat berbeda-beda dalam menafsirkannya. Ada sebagian makna mufrodat yang masih samar di sebagian sahabat dan ada yang sudah jelas di antara mereka. Perbedaan dikalangan sahabat ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
a.       Tingkat pemahaman tiap sahabat berbeda-beda  dalam memahami bahasa arab.
b.      Tingkat kebersamaan mereka bersama rasulullah dan seberapa sering mereka menghadiri majlis beliau SAW.
c.       Tingkat pemahaman mereka dalam memahami asbabun nuzul untuk memahami suatu ayat.
d.      Tingkat pamahaman mereka terhadap ilmu syar’i.
e.       Tingkat kecerdasan akal mereka dalam memahami sebuah ayat berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain.
Meskipun para sahabat berbeda-beda dalam memahami makna Al-Qur’an, tafsir sahabat ini memiliki keistimewaan yang luar biasa diantara tafsir yang lain. Karena pada saat itu, tafsir sahabat bersifat murni dari ajaran islam. Karena mereka tidak memasukkan kisah-kisah isroiliyyat kecuali hanya sedikit. Rasulullah sangat membatasi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an agar tafsir Al-Qur’an itu murni dari ajaran islam bukan dari ajaran-ajaran lain. Sehingga tafsir Al-Qur’an terbebas dari penyelewengan dan penyimpangan ajaran agama lain. Karena tidak semua kisah ada dalam kisah isroiliyyat itu benar.
Lafadz yang ada dalam al-Qur’an tidak ditafsirkann semua oleh para sahabat. Karena sebagian ayat sudah jelas maknanya menurut mereka dan tidak perlu lagi pembahasan yang panjang dan mendetail. Mereka hanya menafsirkan sebagian  ayat secara umum dan tidak terperinci. Maka ketika kita melihat tafsir sahabat, kita hanya akan menemukan tafsir ayat secara global saja.
Pada masa sahabat, tafsir Al-Qur’an itu lebih kepada periwayatan dan talaqqi ( belajar kepada seorang syaikh ) tidak dengan penyusunan tafsir (pembukuan). Hanya saja ada yang mengatakan saat itu ada penyusunan tafsir, tapi hanya sedikit dan jarang.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an para sahabat menggunakan tiga metode,
Pertama, mereka menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain. Terkadang ada ayat tentang hukum tertentu yang masih global, dan di ayat yang lain dijelaskan secara terperinci. Sehingga para sahabat menafsirkan ayat yang global dengan ayat yang terperinci. Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa ini adalah metode tafsir yang sangat bagus.
Kedua, mereka menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan hadits Rasulullah SAW. Ketika para sahabat tidak menemukan tafsir ayat dalam Al-Qur’an, mereka menafsirkan dengan sunnah Rasulullah SAW. Para sahabat rasul mendapatkan tafsir suatu ayat dengan mereka bertanya kepada rasulullah secara langsung atau terkadang rasulullah sendiri yang menjelaskan kepada mereka. Akan tetapi lebih banyak yang dijelaskan langsung oleh Rasulullah SAW.
Ketiga, mereka menafsirkan dengan ijtihad mereka. Ketika mereka tidak menemukan tafsir sebuah ayat dalam Al-Qur’an maupun di dalam As-Sunnah, mereka menafsirkan dengan ijtihad mereka.
 Telah kita ketahui bahwa mereka adalah orang yang sangat paham akan makna Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an diturunkan di tengah-tengah mereka, dan mereka juga menyaksikan sebab-sebab ayat itu turun. Di samping itu mereka juga sering menghadiri majlis rasul. Sehingga ijtihad mereka pun bisa diterima.
Dalam berijtihad pun mereka tidak serta merta berijtihad sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Namun, mereka harus mendalami makna mufrodat bahasa arab yang dengan ini akan membantu mereka dalam memahami ayat yang tidak dipahami oleh orang-orang arab. Mereka juga harus mengetahui kebiasaan orang-orang arab dan akhlaq mereka yang akan membantu mereka dalam memperbaiki akhlaq dan kepribadian orang arab. Selain itu, mereka harus memahami keadaan orang-orang Yahudi dan Nashrani, paham tentang asbabun nuzul suatu ayat dan kuatnya pengetahuan tentang ilmu syar’i. Ketika mereka telah mengetahui ini semua, mereka akan berijtihad dengan ilmu mereka bukan dengan hawa nafsu mereka.
Allah telah menganugerahkan kepada mereka berupa akal yang dengan akal itu mereka gunakan untuk berijtihad. Akan tetapi sudah menjadi maklum bahwa tingkat atau kelas kecerdasan mereka berbeda-beda. Sehingga dalam memahami ayat Al-Qur’an pun mereka ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain.
Lantas, apa hukum dari tafsir sahabat tersebut?
Pertama, hukum tafsir sahabat marfu’ sampai kepada rasulullah SAW jika tafsir tersebut berisi tentang asbabun nuzul karena mereka menyaksikan bagaimana wahyu itu turun. Begitu juga apabila tafsir itu tidak ada ruang bagi mereka untuk berijtihad seperti tafsir tentang perkara-perkara yang ghoib, maka ini juga dihukumi marfu’.
Kedua, hukum tafsir sahabat mauquf apabila tafsir itu tidak disandarkan kepada Rasulullah SAW dan jika dalam tafsir tersebut ada ruang bagi mereka untuk berijtihad.
Bagaimana dengan kita mengambil tafsir dari mereka?
 Apabila tafsir sahabat tersebut marfu’, maka kita boleh mengambilnya. Namun, jika tafsir tersebut mauquf, sebagian para ulama’ berpendapat bahwa kita boleh mengambilnya, karena mereka yang paham akan turunnya wahyu dan mereka pun menyaksikannya. Sehingga tidak diragukan lagi jika kita mengambil tafsir dari mereka. Adapun ulama’ yang berpendapat kita tidak boleh mengambil tafsir sahabat yang mauquf adalah karena mereka berijtihad dengan pendapat mereka. Dan seseorang yang berijtihad itu terkadang salah dan terkadang benar. Dan sahabat dalam berijtihad itu seperti mujtahid yang lain.
Banyak dari para sahabat rasul yang masyhur dalam bidang tafsir. Akan tetapi yang paling masyhur dalam meriwayatkan tafsir adalah: Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubay bin Ka’ab.
Sejarah Berdirinya Madrasah Tafsir
Semakin banyak kemenangan yang diperoleh kaum muslimin dengaan menaklukkan negri-negri di sekitar Jazirah Arab, maka semakin bertambah pula wilayah kaum muslimin. Dengan meluasnya wilayah kaum muslimin, maka dibutuhkan pula seorang gubernur, qodhi, dan juga seorang ulama yang bisa mengajarkan ilmu di wilayah tersebut. Untuk itu, dibentuklah madrasah-madrasah ilmu di setiap daerah yang gurunya adalah para sahabat dan muridnya adalah para tabi’in. Dan yang dikenal pada masa ini adalah madrasah tafsir. Banyak dari para tabi’in yang berguru kepada para sahabat yang masyhur dalam bidang ilmu tafsir. Maka terbentuklah madrasah tafsir di Makkah, di Madinah, dan di Kufah. Tiga madrasah ini adalah madrasah yang paling terkenal pada masa itu.
Madrasah Tafsir Ibnu Mas’ud di Kufah
Guru pertama dalam madrasah ini adalah Ibnu Mas’ud ra. Beliau adalah orang keenam yang masuk ke dalam islam. Dan orang pertama yang membaca Al-Qur’an secara jahr di Makkah setelah Rasulullah SAW. Ia juga pembantu rasul
SAW. Dan ketika Umar bin Al-Khoththob  ra.mengutus Ammar bin Yasir ke Kufah sebagai gubernur di Kufah, maka Umar juga mengutus Ibnu Mas’ud untuk menjadi menteri di Kufah dan untuk mengajarkan ilmu kepada penduduk Kufah. Dan setelah itu, banyak para tabi’in di Kufah yang berguru kepada Ibnu Mas’ud.
Penduduk Kufah sangat masyhur dengan  ahli ro’yi. Dan ini tampak pada saat kita menemukan berbagai permasalahan mereka yang banyak perselisihan. Ulama’ mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud adalah yang pertama kali menjadikan ro’yi sebagai cara untuk mengambil sebuah dalil. Sehingga para ahli Kufah mewarisi beliau dalam hal ini.  Dan akhirnya banyak tafsir yang dihasilkan dari cara ro’yi dan ijtihad. Karena penyimpulan masalah-masalah syar’i yang banyak perselisihan itu merupakan hasil dari penggunaan logika mereka dalam memahaami nash-nash yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dan diantara murid-murid beliau adalah: Masruq bin Al-Ajda’, ‘Alqomah bin Qois, Qotaadah, dll.
Madrasah Tafsir Ibnu Abbas di Makkah
Madrasah tafsir di Makkah dipimpin oleh Ibnu Abbas ra. Beliau adalah orang yang pernah di do’akan oleh Rasulullah SAW dengan do’a,
اللهم فقهه في الدين و علمه التأويل
 “Ya allah, jadikan ia seorang yang faqih dalam masalah agama dan ajarkanlah ia ta’wil”
Banyak dari para tabi’in yang mengambil tafsir dari beliau. Diantara murid-murid beliau aadalah: Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, Thowus bin Kisan, ‘Atho’ bin Abi Robah, Ikrimah, dll.
Madrasah Tafsir Ubay bin Ka’ab di Madinah
Di Madinah masih banyak para sahabat. Mereka masih menetap di sana dan tidak berpindah ke negri kaum muslimin yang lain. Mereka bermajlis di Madinah dan mengajarkan kepada penduduk Madinah tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kemudian berdirilah madrasah tafsir di sana yang mana banyak para tabi’in yang berguru kepada para sahabat yang ahli dalam bidang tafsir.
Madrasah tafsir di Madinah ini dipimpin oleh sahabat Ubay bin Ka’ab ra. Diantara murid-murid Ubay bin Ka’ab adalah: Zaid bin Aslam, Abu Al-‘Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab. Ada dari mereka yang bertemu langsung dengan beliau dan ada juga yang melalui perantara sahabat yang lain.
Dengan adanya madrasah-madrasah tafsir seperti ini sangat memudahkan bagi para sahabat dan tabi’in dalam memahami kitabullah yang menjadi pedoman utama umat islam.
PENUTUP
Maha Besar Allah yang telah menjamin terjaganya Al-Qur’an melalui lisan para hamba-Nya. Semoga dengan pengetahuan ini, kita bisa memahami sejarah berkembangnya tafsir pada masa rasul dan para sahabatnya. Dan apa yang mereka lakukan dalam upaya menjaga tafsir Al-Qur’an ini sangat bermanfaat bagi kita. Oleh karena itu, kita bisa mengambil perkataan mereka dalam memahami Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup kita.
Demikian sedikit pengetahuan tentang perkembangan tafsir pada masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Semoga   bermanfaat!!!
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Kariim
bin Sulaiman Ar-Ruumi, DR. Fahd bin Abdurrahim. Buhuts fii ushuuli at-tafsir wa manaahijuhu. Maktabah At-Taubah
Imam Adz-Dzahabi. At-Tafsiir wa Al-Mufassiruun. Daarul Hadits, Kairo, 2005
 

Penakluk Senja! Published @ 2014 by Ipietoon

Blogger Templates