Kamis, 12 Mei 2016

dirasah tafsir


                                                                        Tafsir Masa Sahabat




PENDAHULUAN

Allah tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dapat memberi penjelasan kepada mereka. Begitu juga dengan Rasulullah Muhammad SAW. Allah telah mengutus beliau kepada kaumnya  dengan Al-Qur’an yang berbahasa arab. Sehingga kaum arab dapat dengan mudah memahaminya.
 Allah SWT berfirman,
وما أرسلنا من رسول إلآ بلسا ن قومه ليبين لهم   (إبراهيم: 4)
“dan tidaklah kami mengutus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya agar memberi penjelasan kepada mereka” (Qs: Ibroohim: 4)                   
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa arab yang sangat tinggi. Sehingga mereka berbeda-beda    di dalam memahami lafadz suatu ayat di dalam Al-Qur’an. Sebagian dari mereka menafsirkan ayat yang masih samar dari makna yang lain. Dan ketika mereka menemukan kesulitan dalam menafsirkan ayat yang samar tersebut, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Dan rasul pun menjelaskannya. Oleh karena itu, berkembanglah ilmu tafsir pada masa itu. Perkembangan tafsir ini dibagi menjadi beberapa periode:
TAFSIR PADA MASA RASULULLAH SAW
Pada masa ini, para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW tentang ayat-ayat yang masih sulit untuk ditafsirkan. Dan rasul pun menjelaskannya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai sedikit banyaknya ayat-ayat yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW.
 Pendapat pertama mengatakan bahwa rasul menjelaskan semua makna dari ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana rasul menjelaskan semua lafadz-lafadznya.  Karena ketika beliau menjelaskan lafadz-lafadznya, otomatis beliau juga menjelaskan makna-maknanya. Dan ketika beliau mengajarkan kepada para sahabat 10 ayat, maka beliau tidak menambah dengan ayat yang lain sampai mereka benar-benar memahaminya dan mengamalkan apa yang telah disampaikan. Ini bermakna bahwa  Rasulullah sangat menekankan pemahaman tentang makna Al-Qur’an.
                                                                                                 
Pendapat kedua mengatakan bahwa rasul tidak menjelaskan makna Al-Qur’an kecuali hanya sedikit dari makna tersebut. Karena seandainya rasul menjelaskan secara keseluruhan, maka tidak ada gunanya rasul mendo’akan sahabat Ibnu Abbas dengan do’a,
 اللهم فقهه في الدين و علمه التأويل
 “Ya Allah jadikan ia seorang faqih di dalam urusan agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil”
Karena dengan do’a ini, para sahabat bisa bertanya kepada Ibnu Abbas tentang tafsir suatu ayat setelah rasul wafat. Dan beliau adalah sahabat yang paling paham tentang tafsir Al-Qur’an.
Pendapat yang paling rojih mengenai hal ini adalah rasul tidak menjelaskan seluruh makna ayat dalam Al-Qur’an karena sahabat telah mengetahui sebagian makna yang ada disebabkan Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa arab. Sehingga ada sebagian ayat yang tidak membutuhkan penjelasan. Begitu juga dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan perkara-perkara ghoib, atau perkara-perkara yang tidak ada gunanya ketika kita mengetahuinya, maka  rasul tidak menjelaskannya.
Adapun metode rasul dalam menafsirkan, beliau tidak berlebih-lebihan dalam menafsirkan. Tafsir beliau hanya menjelaskan yang masih global, menjelaskan ayat-ayat yang masih sulit untuk dipahami, mengkhususkan yang umum, mengikat yang mutlak dan menjelaskan makna lafadz yang lain.
TAFSIR PADA MASA SAHABAT
Telah kita ketahui bahwa para sahabat telah memahami sebagian makna dari lafadz-lafadz Al-Qur’an, karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Dan bahasa itu pasti mengandung banyak makna. Dengan adanya berbagai macam makna, maka para sahabat berbeda-beda dalam menafsirkannya. Ada sebagian makna mufrodat yang masih samar di sebagian sahabat dan ada yang sudah jelas di antara mereka. Perbedaan dikalangan sahabat ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
a.       Tingkat pemahaman tiap sahabat berbeda-beda  dalam memahami bahasa arab.
b.      Tingkat kebersamaan mereka bersama rasulullah dan seberapa sering mereka menghadiri majlis beliau SAW.
c.       Tingkat pemahaman mereka dalam memahami asbabun nuzul untuk memahami suatu ayat.
d.      Tingkat pamahaman mereka terhadap ilmu syar’i.
e.       Tingkat kecerdasan akal mereka dalam memahami sebuah ayat berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain.
Meskipun para sahabat berbeda-beda dalam memahami makna Al-Qur’an, tafsir sahabat ini memiliki keistimewaan yang luar biasa diantara tafsir yang lain. Karena pada saat itu, tafsir sahabat bersifat murni dari ajaran islam. Karena mereka tidak memasukkan kisah-kisah isroiliyyat kecuali hanya sedikit. Rasulullah sangat membatasi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an agar tafsir Al-Qur’an itu murni dari ajaran islam bukan dari ajaran-ajaran lain. Sehingga tafsir Al-Qur’an terbebas dari penyelewengan dan penyimpangan ajaran agama lain. Karena tidak semua kisah ada dalam kisah isroiliyyat itu benar.
Lafadz yang ada dalam al-Qur’an tidak ditafsirkann semua oleh para sahabat. Karena sebagian ayat sudah jelas maknanya menurut mereka dan tidak perlu lagi pembahasan yang panjang dan mendetail. Mereka hanya menafsirkan sebagian  ayat secara umum dan tidak terperinci. Maka ketika kita melihat tafsir sahabat, kita hanya akan menemukan tafsir ayat secara global saja.
Pada masa sahabat, tafsir Al-Qur’an itu lebih kepada periwayatan dan talaqqi ( belajar kepada seorang syaikh ) tidak dengan penyusunan tafsir (pembukuan). Hanya saja ada yang mengatakan saat itu ada penyusunan tafsir, tapi hanya sedikit dan jarang.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an para sahabat menggunakan tiga metode,
Pertama, mereka menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain. Terkadang ada ayat tentang hukum tertentu yang masih global, dan di ayat yang lain dijelaskan secara terperinci. Sehingga para sahabat menafsirkan ayat yang global dengan ayat yang terperinci. Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa ini adalah metode tafsir yang sangat bagus.
Kedua, mereka menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan hadits Rasulullah SAW. Ketika para sahabat tidak menemukan tafsir ayat dalam Al-Qur’an, mereka menafsirkan dengan sunnah Rasulullah SAW. Para sahabat rasul mendapatkan tafsir suatu ayat dengan mereka bertanya kepada rasulullah secara langsung atau terkadang rasulullah sendiri yang menjelaskan kepada mereka. Akan tetapi lebih banyak yang dijelaskan langsung oleh Rasulullah SAW.
Ketiga, mereka menafsirkan dengan ijtihad mereka. Ketika mereka tidak menemukan tafsir sebuah ayat dalam Al-Qur’an maupun di dalam As-Sunnah, mereka menafsirkan dengan ijtihad mereka.
 Telah kita ketahui bahwa mereka adalah orang yang sangat paham akan makna Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an diturunkan di tengah-tengah mereka, dan mereka juga menyaksikan sebab-sebab ayat itu turun. Di samping itu mereka juga sering menghadiri majlis rasul. Sehingga ijtihad mereka pun bisa diterima.
Dalam berijtihad pun mereka tidak serta merta berijtihad sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Namun, mereka harus mendalami makna mufrodat bahasa arab yang dengan ini akan membantu mereka dalam memahami ayat yang tidak dipahami oleh orang-orang arab. Mereka juga harus mengetahui kebiasaan orang-orang arab dan akhlaq mereka yang akan membantu mereka dalam memperbaiki akhlaq dan kepribadian orang arab. Selain itu, mereka harus memahami keadaan orang-orang Yahudi dan Nashrani, paham tentang asbabun nuzul suatu ayat dan kuatnya pengetahuan tentang ilmu syar’i. Ketika mereka telah mengetahui ini semua, mereka akan berijtihad dengan ilmu mereka bukan dengan hawa nafsu mereka.
Allah telah menganugerahkan kepada mereka berupa akal yang dengan akal itu mereka gunakan untuk berijtihad. Akan tetapi sudah menjadi maklum bahwa tingkat atau kelas kecerdasan mereka berbeda-beda. Sehingga dalam memahami ayat Al-Qur’an pun mereka ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain.
Lantas, apa hukum dari tafsir sahabat tersebut?
Pertama, hukum tafsir sahabat marfu’ sampai kepada rasulullah SAW jika tafsir tersebut berisi tentang asbabun nuzul karena mereka menyaksikan bagaimana wahyu itu turun. Begitu juga apabila tafsir itu tidak ada ruang bagi mereka untuk berijtihad seperti tafsir tentang perkara-perkara yang ghoib, maka ini juga dihukumi marfu’.
Kedua, hukum tafsir sahabat mauquf apabila tafsir itu tidak disandarkan kepada Rasulullah SAW dan jika dalam tafsir tersebut ada ruang bagi mereka untuk berijtihad.
Bagaimana dengan kita mengambil tafsir dari mereka?
 Apabila tafsir sahabat tersebut marfu’, maka kita boleh mengambilnya. Namun, jika tafsir tersebut mauquf, sebagian para ulama’ berpendapat bahwa kita boleh mengambilnya, karena mereka yang paham akan turunnya wahyu dan mereka pun menyaksikannya. Sehingga tidak diragukan lagi jika kita mengambil tafsir dari mereka. Adapun ulama’ yang berpendapat kita tidak boleh mengambil tafsir sahabat yang mauquf adalah karena mereka berijtihad dengan pendapat mereka. Dan seseorang yang berijtihad itu terkadang salah dan terkadang benar. Dan sahabat dalam berijtihad itu seperti mujtahid yang lain.
Banyak dari para sahabat rasul yang masyhur dalam bidang tafsir. Akan tetapi yang paling masyhur dalam meriwayatkan tafsir adalah: Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubay bin Ka’ab.
Sejarah Berdirinya Madrasah Tafsir
Semakin banyak kemenangan yang diperoleh kaum muslimin dengaan menaklukkan negri-negri di sekitar Jazirah Arab, maka semakin bertambah pula wilayah kaum muslimin. Dengan meluasnya wilayah kaum muslimin, maka dibutuhkan pula seorang gubernur, qodhi, dan juga seorang ulama yang bisa mengajarkan ilmu di wilayah tersebut. Untuk itu, dibentuklah madrasah-madrasah ilmu di setiap daerah yang gurunya adalah para sahabat dan muridnya adalah para tabi’in. Dan yang dikenal pada masa ini adalah madrasah tafsir. Banyak dari para tabi’in yang berguru kepada para sahabat yang masyhur dalam bidang ilmu tafsir. Maka terbentuklah madrasah tafsir di Makkah, di Madinah, dan di Kufah. Tiga madrasah ini adalah madrasah yang paling terkenal pada masa itu.
Madrasah Tafsir Ibnu Mas’ud di Kufah
Guru pertama dalam madrasah ini adalah Ibnu Mas’ud ra. Beliau adalah orang keenam yang masuk ke dalam islam. Dan orang pertama yang membaca Al-Qur’an secara jahr di Makkah setelah Rasulullah SAW. Ia juga pembantu rasul
SAW. Dan ketika Umar bin Al-Khoththob  ra.mengutus Ammar bin Yasir ke Kufah sebagai gubernur di Kufah, maka Umar juga mengutus Ibnu Mas’ud untuk menjadi menteri di Kufah dan untuk mengajarkan ilmu kepada penduduk Kufah. Dan setelah itu, banyak para tabi’in di Kufah yang berguru kepada Ibnu Mas’ud.
Penduduk Kufah sangat masyhur dengan  ahli ro’yi. Dan ini tampak pada saat kita menemukan berbagai permasalahan mereka yang banyak perselisihan. Ulama’ mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud adalah yang pertama kali menjadikan ro’yi sebagai cara untuk mengambil sebuah dalil. Sehingga para ahli Kufah mewarisi beliau dalam hal ini.  Dan akhirnya banyak tafsir yang dihasilkan dari cara ro’yi dan ijtihad. Karena penyimpulan masalah-masalah syar’i yang banyak perselisihan itu merupakan hasil dari penggunaan logika mereka dalam memahaami nash-nash yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dan diantara murid-murid beliau adalah: Masruq bin Al-Ajda’, ‘Alqomah bin Qois, Qotaadah, dll.
Madrasah Tafsir Ibnu Abbas di Makkah
Madrasah tafsir di Makkah dipimpin oleh Ibnu Abbas ra. Beliau adalah orang yang pernah di do’akan oleh Rasulullah SAW dengan do’a,
اللهم فقهه في الدين و علمه التأويل
 “Ya allah, jadikan ia seorang yang faqih dalam masalah agama dan ajarkanlah ia ta’wil”
Banyak dari para tabi’in yang mengambil tafsir dari beliau. Diantara murid-murid beliau aadalah: Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, Thowus bin Kisan, ‘Atho’ bin Abi Robah, Ikrimah, dll.
Madrasah Tafsir Ubay bin Ka’ab di Madinah
Di Madinah masih banyak para sahabat. Mereka masih menetap di sana dan tidak berpindah ke negri kaum muslimin yang lain. Mereka bermajlis di Madinah dan mengajarkan kepada penduduk Madinah tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kemudian berdirilah madrasah tafsir di sana yang mana banyak para tabi’in yang berguru kepada para sahabat yang ahli dalam bidang tafsir.
Madrasah tafsir di Madinah ini dipimpin oleh sahabat Ubay bin Ka’ab ra. Diantara murid-murid Ubay bin Ka’ab adalah: Zaid bin Aslam, Abu Al-‘Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab. Ada dari mereka yang bertemu langsung dengan beliau dan ada juga yang melalui perantara sahabat yang lain.
Dengan adanya madrasah-madrasah tafsir seperti ini sangat memudahkan bagi para sahabat dan tabi’in dalam memahami kitabullah yang menjadi pedoman utama umat islam.
PENUTUP
Maha Besar Allah yang telah menjamin terjaganya Al-Qur’an melalui lisan para hamba-Nya. Semoga dengan pengetahuan ini, kita bisa memahami sejarah berkembangnya tafsir pada masa rasul dan para sahabatnya. Dan apa yang mereka lakukan dalam upaya menjaga tafsir Al-Qur’an ini sangat bermanfaat bagi kita. Oleh karena itu, kita bisa mengambil perkataan mereka dalam memahami Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup kita.
Demikian sedikit pengetahuan tentang perkembangan tafsir pada masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Semoga   bermanfaat!!!
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Kariim
bin Sulaiman Ar-Ruumi, DR. Fahd bin Abdurrahim. Buhuts fii ushuuli at-tafsir wa manaahijuhu. Maktabah At-Taubah
Imam Adz-Dzahabi. At-Tafsiir wa Al-Mufassiruun. Daarul Hadits, Kairo, 2005

0 komentar:

 

Penakluk Senja! Published @ 2014 by Ipietoon

Blogger Templates