Tafsir Masa Sahabat
PENDAHULUAN
Allah tidak mengutus seorang rasul pun,
melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dapat memberi penjelasan kepada mereka.
Begitu juga dengan Rasulullah Muhammad SAW. Allah telah mengutus beliau kepada
kaumnya dengan Al-Qur’an yang berbahasa
arab. Sehingga kaum arab dapat dengan mudah memahaminya.
Allah SWT berfirman,
وما
أرسلنا من رسول إلآ بلسا ن قومه ليبين لهم
(إبراهيم: 4)
“dan tidaklah kami mengutus seorang rasul
kecuali dengan bahasa kaumnya agar memberi penjelasan kepada mereka” (Qs:
Ibroohim: 4)
Al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa arab yang sangat tinggi. Sehingga mereka berbeda-beda di dalam memahami lafadz suatu ayat di dalam
Al-Qur’an. Sebagian dari mereka menafsirkan ayat yang masih samar dari makna
yang lain. Dan ketika mereka menemukan kesulitan dalam menafsirkan ayat yang
samar tersebut, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Dan rasul pun
menjelaskannya. Oleh karena itu, berkembanglah ilmu tafsir pada masa itu.
Perkembangan tafsir ini dibagi menjadi beberapa periode:
TAFSIR PADA MASA RASULULLAH SAW
Pada masa ini, para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW tentang
ayat-ayat yang masih sulit untuk ditafsirkan. Dan rasul pun menjelaskannya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai sedikit banyaknya ayat-ayat
yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW.
Pendapat pertama mengatakan
bahwa rasul menjelaskan semua makna dari ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana rasul
menjelaskan semua lafadz-lafadznya. Karena
ketika beliau menjelaskan lafadz-lafadznya, otomatis beliau juga menjelaskan
makna-maknanya. Dan ketika beliau mengajarkan kepada para sahabat 10 ayat, maka
beliau tidak menambah dengan ayat yang lain sampai mereka benar-benar
memahaminya dan mengamalkan apa yang telah disampaikan. Ini bermakna bahwa Rasulullah sangat menekankan pemahaman
tentang makna Al-Qur’an.
Pendapat
kedua mengatakan bahwa rasul tidak menjelaskan makna Al-Qur’an kecuali hanya
sedikit dari makna tersebut. Karena seandainya rasul menjelaskan secara keseluruhan,
maka tidak ada gunanya rasul mendo’akan sahabat Ibnu Abbas dengan do’a,
اللهم فقهه في الدين و
علمه التأويل
“Ya
Allah jadikan ia seorang faqih di dalam urusan agama dan ajarkanlah kepadanya
ta’wil”
Karena dengan do’a ini, para sahabat bisa bertanya kepada Ibnu
Abbas tentang tafsir suatu ayat setelah rasul wafat. Dan beliau adalah sahabat
yang paling paham tentang tafsir Al-Qur’an.
Pendapat yang paling rojih mengenai hal ini adalah rasul tidak
menjelaskan seluruh makna ayat dalam Al-Qur’an karena sahabat telah mengetahui
sebagian makna yang ada disebabkan Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa arab.
Sehingga ada sebagian ayat yang tidak membutuhkan penjelasan. Begitu juga
dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan perkara-perkara ghoib, atau
perkara-perkara yang tidak ada gunanya ketika kita mengetahuinya, maka rasul tidak menjelaskannya.
Adapun metode rasul dalam
menafsirkan, beliau tidak berlebih-lebihan dalam menafsirkan. Tafsir beliau
hanya menjelaskan yang masih global, menjelaskan ayat-ayat yang masih sulit
untuk dipahami, mengkhususkan yang umum, mengikat yang mutlak dan menjelaskan
makna lafadz yang lain.
TAFSIR PADA MASA SAHABAT
Telah kita ketahui bahwa para sahabat telah memahami sebagian makna
dari lafadz-lafadz Al-Qur’an, karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka.
Dan bahasa itu pasti mengandung banyak makna. Dengan adanya berbagai macam
makna, maka para sahabat berbeda-beda dalam menafsirkannya. Ada sebagian makna
mufrodat yang masih samar di sebagian sahabat dan ada yang sudah jelas di
antara mereka. Perbedaan dikalangan sahabat ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya:
a.
Tingkat pemahaman tiap sahabat berbeda-beda dalam memahami bahasa arab.
b.
Tingkat kebersamaan mereka bersama rasulullah dan seberapa sering
mereka menghadiri majlis beliau SAW.
c.
Tingkat pemahaman mereka dalam memahami asbabun nuzul untuk
memahami suatu ayat.
d.
Tingkat pamahaman mereka terhadap ilmu syar’i.
e.
Tingkat kecerdasan akal mereka dalam memahami sebuah ayat
berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain.
Meskipun para sahabat berbeda-beda dalam memahami makna Al-Qur’an,
tafsir sahabat ini memiliki keistimewaan yang luar biasa diantara tafsir yang
lain. Karena pada saat itu, tafsir sahabat bersifat murni dari ajaran islam.
Karena mereka tidak memasukkan kisah-kisah isroiliyyat kecuali hanya sedikit.
Rasulullah sangat membatasi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an agar tafsir
Al-Qur’an itu murni dari ajaran islam bukan dari ajaran-ajaran lain. Sehingga
tafsir Al-Qur’an terbebas dari penyelewengan dan penyimpangan ajaran agama
lain. Karena tidak semua kisah ada dalam kisah isroiliyyat itu benar.
Lafadz yang ada dalam al-Qur’an tidak ditafsirkann semua oleh para
sahabat. Karena sebagian ayat sudah jelas maknanya menurut mereka dan tidak
perlu lagi pembahasan yang panjang dan mendetail. Mereka hanya menafsirkan
sebagian ayat secara umum dan tidak
terperinci. Maka ketika kita melihat tafsir sahabat, kita hanya akan menemukan
tafsir ayat secara global saja.
Pada masa sahabat, tafsir Al-Qur’an itu lebih kepada periwayatan
dan talaqqi ( belajar kepada seorang syaikh ) tidak dengan penyusunan tafsir
(pembukuan). Hanya saja ada yang mengatakan saat itu ada penyusunan tafsir,
tapi hanya sedikit dan jarang.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an para sahabat menggunakan tiga metode,
Pertama,
mereka menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain. Terkadang
ada ayat tentang hukum tertentu yang masih global, dan di ayat yang lain
dijelaskan secara terperinci. Sehingga para sahabat menafsirkan ayat yang
global dengan ayat yang terperinci. Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa ini adalah
metode tafsir yang sangat bagus.
Kedua, mereka
menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan hadits Rasulullah SAW. Ketika para sahabat
tidak menemukan tafsir ayat dalam Al-Qur’an, mereka menafsirkan dengan sunnah
Rasulullah SAW. Para sahabat rasul mendapatkan tafsir suatu ayat dengan mereka
bertanya kepada rasulullah secara langsung atau terkadang rasulullah sendiri
yang menjelaskan kepada mereka. Akan tetapi lebih banyak yang dijelaskan
langsung oleh Rasulullah SAW.
Ketiga, mereka
menafsirkan dengan ijtihad mereka. Ketika mereka tidak menemukan tafsir sebuah
ayat dalam Al-Qur’an maupun di dalam As-Sunnah, mereka menafsirkan dengan
ijtihad mereka.
Telah kita ketahui bahwa
mereka adalah orang yang sangat paham akan makna Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an
diturunkan di tengah-tengah mereka, dan mereka juga menyaksikan sebab-sebab
ayat itu turun. Di samping itu mereka juga sering menghadiri majlis rasul.
Sehingga ijtihad mereka pun bisa diterima.
Dalam berijtihad pun mereka tidak serta merta berijtihad sesuai
dengan apa yang mereka inginkan. Namun, mereka harus mendalami makna mufrodat
bahasa arab yang dengan ini akan membantu mereka dalam memahami ayat yang tidak
dipahami oleh orang-orang arab. Mereka juga harus mengetahui kebiasaan
orang-orang arab dan akhlaq mereka yang akan membantu mereka dalam memperbaiki
akhlaq dan kepribadian orang arab. Selain itu, mereka harus memahami keadaan
orang-orang Yahudi dan Nashrani, paham tentang asbabun nuzul suatu ayat dan
kuatnya pengetahuan tentang ilmu syar’i. Ketika mereka telah mengetahui ini semua,
mereka akan berijtihad dengan ilmu mereka bukan dengan hawa nafsu mereka.
Allah telah menganugerahkan kepada mereka berupa akal yang dengan
akal itu mereka gunakan untuk berijtihad. Akan tetapi sudah menjadi maklum
bahwa tingkat atau kelas kecerdasan mereka berbeda-beda. Sehingga dalam
memahami ayat Al-Qur’an pun mereka ada perbedaan antara yang satu dengan yang
lain.
Lantas, apa hukum dari tafsir sahabat tersebut?
Pertama,
hukum tafsir sahabat marfu’ sampai kepada rasulullah SAW jika tafsir tersebut
berisi tentang asbabun nuzul karena mereka menyaksikan bagaimana wahyu itu
turun. Begitu juga apabila tafsir itu tidak ada ruang bagi mereka untuk
berijtihad seperti tafsir tentang perkara-perkara yang ghoib, maka ini juga
dihukumi marfu’.
Kedua, hukum tafsir
sahabat mauquf apabila tafsir itu tidak disandarkan kepada Rasulullah SAW dan
jika dalam tafsir tersebut ada ruang bagi mereka untuk berijtihad.
Bagaimana dengan kita mengambil tafsir dari mereka?
Apabila tafsir sahabat
tersebut marfu’, maka kita boleh mengambilnya. Namun, jika tafsir tersebut
mauquf, sebagian para ulama’ berpendapat bahwa kita boleh mengambilnya, karena
mereka yang paham akan turunnya wahyu dan mereka pun menyaksikannya. Sehingga
tidak diragukan lagi jika kita mengambil tafsir dari mereka. Adapun ulama’ yang
berpendapat kita tidak boleh mengambil tafsir sahabat yang mauquf adalah karena
mereka berijtihad dengan pendapat mereka. Dan seseorang yang berijtihad itu
terkadang salah dan terkadang benar. Dan sahabat dalam berijtihad itu seperti
mujtahid yang lain.
Banyak dari para sahabat rasul yang masyhur dalam bidang tafsir.
Akan tetapi yang paling masyhur dalam meriwayatkan tafsir adalah: Ali bin Abi
Tholib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubay bin Ka’ab.
Sejarah Berdirinya Madrasah Tafsir
Semakin banyak kemenangan yang diperoleh kaum muslimin dengaan
menaklukkan negri-negri di sekitar Jazirah Arab, maka semakin bertambah pula
wilayah kaum muslimin. Dengan meluasnya wilayah kaum muslimin, maka dibutuhkan
pula seorang gubernur, qodhi, dan juga seorang ulama yang bisa mengajarkan ilmu
di wilayah tersebut. Untuk itu, dibentuklah madrasah-madrasah ilmu di setiap
daerah yang gurunya adalah para sahabat dan muridnya adalah para tabi’in. Dan
yang dikenal pada masa ini adalah madrasah tafsir. Banyak dari para tabi’in
yang berguru kepada para sahabat yang masyhur dalam bidang ilmu tafsir. Maka
terbentuklah madrasah tafsir di Makkah, di Madinah, dan di Kufah. Tiga madrasah
ini adalah madrasah yang paling terkenal pada masa itu.
Madrasah
Tafsir Ibnu Mas’ud di Kufah
Guru pertama dalam madrasah ini adalah Ibnu Mas’ud ra. Beliau
adalah orang keenam yang masuk ke dalam islam. Dan orang pertama yang membaca
Al-Qur’an secara jahr di Makkah setelah Rasulullah SAW. Ia juga pembantu rasul
SAW. Dan ketika Umar bin Al-Khoththob ra.mengutus Ammar bin Yasir ke Kufah sebagai
gubernur di Kufah, maka Umar juga mengutus Ibnu Mas’ud untuk menjadi menteri di
Kufah dan untuk mengajarkan ilmu kepada penduduk Kufah. Dan setelah itu, banyak
para tabi’in di Kufah yang berguru kepada Ibnu Mas’ud.
Penduduk Kufah sangat masyhur dengan ahli ro’yi. Dan ini tampak pada saat
kita menemukan berbagai permasalahan mereka yang banyak perselisihan. Ulama’
mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud adalah yang pertama kali menjadikan ro’yi sebagai
cara untuk mengambil sebuah dalil. Sehingga para ahli Kufah mewarisi beliau
dalam hal ini. Dan akhirnya banyak tafsir
yang dihasilkan dari cara ro’yi dan ijtihad. Karena penyimpulan masalah-masalah
syar’i yang banyak perselisihan itu merupakan hasil dari penggunaan logika
mereka dalam memahaami nash-nash yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dan diantara murid-murid beliau adalah: Masruq bin Al-Ajda’, ‘Alqomah
bin Qois, Qotaadah, dll.
Madrasah
Tafsir Ibnu Abbas di Makkah
Madrasah
tafsir di Makkah dipimpin oleh Ibnu Abbas ra. Beliau adalah orang yang pernah
di do’akan oleh Rasulullah SAW dengan do’a,
اللهم فقهه في الدين و علمه التأويل
“Ya
allah, jadikan ia seorang yang faqih dalam masalah agama dan ajarkanlah ia
ta’wil”
Banyak dari para tabi’in yang mengambil tafsir dari beliau.
Diantara murid-murid beliau aadalah: Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, Thowus
bin Kisan, ‘Atho’ bin Abi Robah, Ikrimah, dll.
Madrasah
Tafsir Ubay bin Ka’ab di Madinah
Di Madinah masih banyak para sahabat. Mereka masih menetap di sana
dan tidak berpindah ke negri kaum muslimin yang lain. Mereka bermajlis di
Madinah dan mengajarkan kepada penduduk Madinah tentang Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Kemudian berdirilah madrasah tafsir di sana yang mana banyak para
tabi’in yang berguru kepada para sahabat yang ahli dalam bidang tafsir.
Madrasah tafsir di Madinah ini dipimpin oleh sahabat Ubay bin Ka’ab
ra. Diantara murid-murid Ubay bin Ka’ab adalah: Zaid bin Aslam, Abu Al-‘Aliyah,
dan Muhammad bin Ka’ab. Ada dari mereka yang bertemu langsung dengan beliau dan
ada juga yang melalui perantara sahabat yang lain.
Dengan adanya madrasah-madrasah tafsir seperti ini sangat
memudahkan bagi para sahabat dan tabi’in dalam memahami kitabullah yang menjadi
pedoman utama umat islam.
PENUTUP
Maha Besar Allah yang telah menjamin
terjaganya Al-Qur’an melalui lisan para hamba-Nya. Semoga dengan pengetahuan
ini, kita bisa memahami sejarah berkembangnya tafsir pada masa rasul dan para
sahabatnya. Dan apa yang mereka lakukan dalam upaya menjaga tafsir Al-Qur’an ini
sangat bermanfaat bagi kita. Oleh karena itu, kita bisa mengambil perkataan
mereka dalam memahami Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup kita.
Demikian sedikit pengetahuan tentang
perkembangan tafsir pada masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Semoga bermanfaat!!!
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Kariim
bin Sulaiman Ar-Ruumi, DR. Fahd bin
Abdurrahim. Buhuts fii ushuuli at-tafsir wa manaahijuhu. Maktabah
At-Taubah
Imam Adz-Dzahabi. At-Tafsiir wa
Al-Mufassiruun. Daarul Hadits, Kairo, 2005
0 komentar:
Posting Komentar