Sabtu, 16 September 2017

Menikah Dini dalam Islam

Menikah di Usia Dini Oleh: Penakluk Senja Menikah merupakan suatu yang kompleks yang sangat melibatkan fisik, pikiran, mental, dan keberanian dalam menempuh kehidupan yang berbeda. Saat itu seseorang memulai memvariasikan hidupnya dengan mencoba menjadi bagian dari hidup orang lain, dan menjalin hubungan yang berasaskan saling melengkapi untuk mencapai satu kebahagiaan yang ditempuh bersama-sama. Masa dini adalah masa emas seseorang. Masa produktif untuk membentuk keturunan. Bukan suatu hal yang tabu untuk dibahas dan dikupas. Sebab jika kita berkaca pada sejarah, akan kita dapati kisah pernikahan Rasulullah dengan ibunda Aisyah. Sebagaimana tersebut dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah menikahi Aisyah, sedangkan umur beliau saat itu baru 6 tahun. Lantas Rasulullah baru membangun rumah bersama ibunda Aisyah saat beliau telah menginjak usia 9 tahun. Namun, pernikahan Rasulullah dengan ibunda Aisyah bukan tanpa tujuan. Ada misi besar dibalik pernikahan keduanya. Disamping ia adalah ilham yang diberikan oleh Allah pada nabi-Nya untuk meminang Aisyah lewat mimpi. Mimpi melihat Aisyah dalam gambaran pada sutra hijau dan dikatakan pada Rasul bahwa ia adalah istrinya di dunia dan di akhirat. Lantas, bagaimana pernikahan pada usia dini pada zaman ini? Pernikahan dalam Definisi Menikah secara etimologi merupakan derivasi daripada kata nakaha-yankihu= nikahan, yang artinya berkumpul dan bergabung. Dikatakan “Nakahat al-Asyjar”, maka maknanya pohon-pohon itu tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat. Imam An-Nawawi mengatakan bahwa lafal nikah kadang didevinisikan dengan akad nikah dan terkadang dengan hubungan seksual (jimak). Adapun secara terminology menikah adalah akad yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang dengan akad tersebut dihalalkan bagi keduanya untuk saling menikmati. Dalil Disyariatkannya Menikah Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata : قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda pada kami: “Wahai generasi dini, barangsiapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta), hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat) .” Manfaat Menikah Dini 1. Terhindar dari fitnah Menikah dini akan membantu seseorang terhindar dari fitnah. Disamping modernisasi zaman yang terus berkelindan, cobaan syahwat untuk kaum adam maupun hawa semakin besar, terbuka lebar. Maka menikah adalah solusi seorang laki-laki terhindar dari fitnah yang disabdakan nabi Shallallahu Alihi Wasallam bahwa, “Tak kutinggal fitnah yang lebih dahsyat dari seorang wanita” 2. Memperkuat iman Jika biduk rumahtangga hendak dibangun, maka ketenangan dalam jiwa akan terasa. Ia akan memperkuat iman, mencegah dari berbuat serong yang dilarang dalam Islam. 3. Menghindarkan diri dari hal yang dibenci dan dimurkai Allah Menikah dini merupakan bentuk menghndarkan diri dari hal-hal yang dimurka. Dari hanya berupa chatting dengan lawan jenis yang bukan mahram tanpa ada alas an syar’I yang membenarkan, atau bahkan hingga tindak pacaran. Hukum Menikah Dini Ditinjau Dari Pelakunya Hukum menikah dini menurut jumhur ulama adalah boleh, sebab tidak ada persyaratan aqil baligh bagi terlaksananya sebuah akad pernikahan. Sehingga tidak mengapa seseorang menikah pada usia dini. Adapun dalil yang mereka kemukakan diantaranya, yaitu: 1. Adanya penjelasan terkait iddah anak kecil perempuan yaitu selama 3 bulan. Hal ini termaktub dalam firman-Nya, surat Ath-Thalaq: 4. 2. Perkawinan nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan ibunda Aisyah yang saat itu masih kecil. 3. Atsar sahabat Ali radhiallahu ‘anhu yang mengawinkan putrinya, Ummu Kultsum ketika ia masih kecil dengan sahabat Urwah bin Zubair radhiallahu ‘anhu. 4. Bisa jadi terdapat maslahat menikahkan anak kecil. Mungkin si ayah menemukan pasangan yang setara untuk anak perempuannya, maka ia tidak perlu menunggu sampai masa baligh. (Al-Mabsuth / 4: 212) Sebagaimana tersebut diatas bahwa pada asalnya Islam memperbolehkan seseorang menikah di usia dini. Akan tetapi kebolehan tersebut tidak masuk dalam kategori dianjurkan atau diwajibkan. Namun jika dikaitkan dengan situasi dan kondisi pada orang yang akan menikah, maka hukumnya bisa bervariasi. Pertama : Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang mempunyai hasrat yang tinggi untuk menikah karena syahwatnya bergejolak sedangkan dia mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup. Dia merasa terganggu dengan gejolak syahwatnya, sehingga dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam perzinaan. Maka jika seseorang sudah mencapai hokum wajib menikah, ia harus menikah meski secara umur ia masih dikatakan dini. Sebab yang menjadi pertimbangan hokum dalam menikah bukanlah tua dini atau hitungan umur, tetapi lebih pada hokum menikah bagi orang yang hendak menikah tersebut. Kedua : Nikah hukumnya sunah bagi orang yang mempunyai syahwat, dan mempunyai harta, tetapi tidak khawatir terjerumus dalam maksiat dan perzinaan. Dalam kondisi seperti ini seorang yang akan menikah dapat mempertimbangkan lagi. Apakah dengan pernikahannya akan mendatangkan maslahat demi kebaikan dunia akhiratnya. Atau ia memilih aktifitas yang lain seperti sekolah, bekerja atau berdakwah. Ketika menikah dini, seorang yang berada dalam kondisi ini tidaklah mengapa, namun peraturan Negara yang tidak memperbolehkan seseorang menikah dibawah umur yang telah ditetapkan pun merupakan bentuk ketidakmampuan. Ketiga : Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai syahwat, tetapi tidak mempunyai harta. Atau bagi orang yang mempunyai harta tetapi tidak mempunyai syahwat. Banyak di kalangan kita yang berada dalam kondisi ketiga ini. Sehingga hal yang paling penting kita lakukan adalah menahan diri, berpuasa dan melakukan amalan yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat nanti. Keempat : Nikah hukumnya makruh bagi orang yang tidak punya harta dan tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat). Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk dinikahi, tetapi dia harus mencari harta untuk menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan olehnya. Tentu akan lebih baik, jika dia mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu. Selain itu, istrinya akan sedikit tidak terurus, dan kemungkinan tidak akan mendapatkan nafkah batin, kecuali sedikit sekali, karena sebenarnya suaminya tidak membutuhkannya dan tidak terlalu tertarik dengan wanita. Dalam masalah nikah dini, mungkin jenis hokum yang keempat ini banyak dijadikan sandaran bagi yang lain. Sebab para pelaku nikah dini terkadang hanya berbekal nekat. Kelima : Nikah hukumnya haram, bagi yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung jawab dan akan menelantarkan istri dan anak. Setelah kita tahu, maka alangkah lebih baiknya meski ia boleh namun dihindari lebih baik. Hal ini menimbang bahwa menikah adalah memikul tanggung jawab yang besar bagi laki-laki untuk menafkahi dan mendidik istri. Sehingga pendidikan yang cukup pun dibutuhkan. Begitu pula hal ini berlaku pada wanita. Jika ia menikah berarti ia siap menjadi seorang ibu, sedangkan tugas seorang ibu adalah sebagai madrasatul ula. Maka, sebagai wanita sudah selayaknya menempa diri untuk menjadi ibu yang berprestasi dalam mendidik anaknya guna mencapai kontribusi yang baik untuk dienul Islam nanti. Wallahu A’lam bish Shawab.

Selasa, 12 September 2017

Kapan Qadha Puasa Ramadhan Dilakukan?

Waktu Qadha Puasa
Waktu qadha puasa adalah setelah habisnya bulan Ramadhan hingga bulan Ramadhan berikutnya. Disunnahkan menyegerakan qadha, agar cepat bebas tanggungannya dan gugur kewajibannya. Madzhab syafii memandang wajib melaksanakan qadha dengan segera apabila pembtalan puasa di bulan Ramadhan terjadi tanpa udzur syar’i. dan bagi orang yang memiliki tanggungan puasa Ramadhan, makruh hukumnya berpuasa Sunnah. “Jika seseorang menunda qadha sampai dating Ramadhan berikutnya, jumhur berpendapat bahwa sesudah menjalani puasa Ramadhan yang baru, dia wajib mengqadhja puasa dan membayar kafarat (fidyah).” Sedangkan menurut madzhab Hanafi, tidak ada kewajiban membayar fidyah atasnya baik menunda qadha karena udzur syar’I ataupun tidak. Adapun menurut syafiiyyah, fidyah dilakukan berulang seiring beriringnya tahun. Dan pelaksanaan qadha tidak sah jika dilakukan pada hari-hari terlarang. #Mufidah Rahmania Hasil dirasah maktabiyyah, MA Hidayaturrahman

Senin, 11 September 2017

Hukum Arisan Haji

Hukum Arisan Haji Sebagai seorang muslim tentunya sangat memendam rindu untuk mampu berziarah ke tanah suci, Makkah Al-Mukarramah guna menunaikan ibadah haji. Menunaikan kewajiban daripada rukun iman yang ke-lima, ibadah haji ke baitul ‘atiq. Sebagai bukti atas firman Allah Ta’ala, “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) sebagai tempat (manusia datang kepadanya akan ingin kembali)”. (QS. Al-Baqarah: 125) Demi pelepasan rindu tersebut, banyak manusia melakukan berbagai macam cara untuk sampai berkunjung ke tempat tersebut. Diantara ada yang menyisihkan sebagian hartanya sedikit demi sedikit supaya terkumpul ongkos naik haji. Bahkan dewasa ini, terdapat sebuah lembaga keuangan syariah yang melakukan pengambil alihan himpunan dana dengan cara memberikan dana talangan haji. Produk ini dilegalkan oleh fatwa DSN, no. 29/ DSN_MUI// VI/ 2002, tentang “Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah”. Namun jika ditinjau pada prakteknya produk ini masih terdapat keraguan akan kehalalannya. Padahal, halal tidaknya produk tersebut berhubungan erat dengan kemabruran haji orang yang mendapatkan dana dari produk ini. Untuk memperjelas masalah ini, maka pada An-Najma edisi kali ini kita akan melihat produk tersebut dalam tinjauan fikih. Bentuk Nyata Dana Talangan Haji Bentuk nyata akad dana talangan haji yaitu; seseorang yang ingin mendaftar haji datang ke salah satu lembaga keuangan syariah, lalu mendaftarkan diri untuk haji dengan membuka rekening tabungan haji, serta membayar saldo minimal 500 ribu rupiah. Kemudian agar ia mendapat kepastian seat untuk tahun berapa, maka ia harus melunasi sebanyak 20 juta rupiah. Bank dapat memberikan dana talangan haji dengan pilihan 10 juta rupiah, 15 juta, atau 18 juta rupiah. Gambaran nyatanya, jika pendaftar memilih talangan 18 juta rupiah berarti ia mengeluarkan dana tunai sebesar 2 juta rupiah. Dan 18 juta rupiah akan ditalangi oleh Lembaga Keuangan Syariah. Utang pendaftar haji yang diberikan pada Lembaga Keuangan Syariah yang berjumlah 18 juta rupiah akan dibayar secara angsuran selama satu tahun ditambah dengan biaya administrasi sebanyak 1,5 juta rupiah. Sehingga yang harus dibayarnya ke Lembaga Keuangan Syariah menjadi 19,5 juta rupiah. Jika dalam setahun tidak terlunasi hutangnya kepada bank, maka ia dikenakan biaya administrasi baru. Begitu pula hal ini berlaku pada angsuran yang dikeluarkan sebanyak 15 ataupun 10 juta rupiah. Dalam Tinjauan Fikih Dalam produk dana talangan haji ini terdapat dua akad yang digabung dalam sebuah produk, yaitu akad qardh (pinjam meminjam) dalam bentuk pemberian talangan dana dari pihak bank kepada pendaftar haji. Adapun akad yang kedua yaitu akad ijarah (jual beli jasa) dalam bentuk ujrah (fee administrasi yang diberikan oleh pendaftar haji sebagai pihak terhutang kepada bank sebagai pihak pemberi pinjaman). Sedangkan menggabungkan akad qardh dengan ijarah telah dilarang oleh Rasulullah melalui sabdanya, "لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ" “Tidak halal menggabungkan akad pinjaman dan akad jual beli”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Albani) Dan akad ijarah merupakan akad jual beli, yaitu jual beli jasa. Maka dengan demikian produk tersebut bertentangan dengan hadits nabi, karena akad ijarah dapat dimanfaatkan oleh pemberi pinjaman untuk mengambil laba dari pinjaman yang diberikan sehingga termasuk dalam larangan pinjaman yang mendatangkan manfaat atau keuntungan. Namun bila pintu pengambilan keuntungan ditutup rapat, maka akad tersebut diatas dapat diperbolehkan sebagaimana difatwakan oleh lembaga fikih internasional. Begitupula sebagaimana dinyatakan dalam fatwa DSN yang membolehkan mengambil biaya administrasi yang nyata-nyata diperlukan dalam jumlah tetap dan bukan berdasarkan pada besarnya pinjaman. Namun, fatwa tersebut tidak dijalankan pada praktek yang dijelaskan sebelumnya, dimana besarnya biaya administrasi bervariasi berdasarkan besarnya pinjaman yang diberikan oleh bank. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pihak bank tidak sekedar menarik biaya administrasi nyata-nyata yang diperlukan, akan tetapi disana telah dimasukkan laba dari peminjaman. Maka jelas hukumnya bahwa hal ini termasuk riba. Jika dilihat dari presentase besarnya biaya administrasi ini, yaitu sekitar 10 % dari besarnya pinjaman, maka ia tak ubahnya seperti bunga pinjaman yang ditarik oleh bank konvensional. Selain itu, pada saat pendaftar haji yang berstatus sebagai peminjam tidak mampu melunasi hutangnya dalam waktu 1 tahun yang dijanjikan, maka ia akan dikenakan uang administrasi baru. Hal ini juga tak ubahnya seperti riba jahiliyyah, ketika peminjam tidak mampu mengembalikan hutang dikenakan denda, hanya saja pada kasus ini diganti namanya dengan biaya administrasi. Maka, sebagai hamba yang berhati-hati akan kemabruran haji yang dikerja nanti, sudah selayaknya jangan sampai terjebak dalam produk ini, karena mengandung syubhat riba. Hendaknya membayar biaya ongkos haji secara tunai sebanyak 20 juta rupiah agar bias mendapatkan kepastian seat tahun keberangkatan serta tidak menggunakan dana talangan bank. Dan bagi yang sudah terlanjur, ingatlah, “Orang-orang yang telah sampai padanya larangan dari rabbnya lantas berhenti (dari mengambil harta riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu, dan urusannya pada Allah….”. (QS. Al-Baqarah: 275) Wallahu A’lam bish Shawab (Nazahah)
Disarikan dari: Harta Haram Muamalah Kontemporer dengan perubahan.

Hukum Anestesi Pada Saat Berpuasa

Praktek pembiusan bukanlah hal yang asing lagi. Ia dilakukan guna menghilangkan kesadaran pasien supaya tidak merasakan rasa sakit saat dilakukan pembedahan atau operasi lainnya. Namun, yang menjadi permasalahan adalah ketika pembiusan atau anestesi dilakukan saat pasien sedang menjalani ibadah puasa. Apakah ia berimplikasi pada keabsahan puasa pasien tersebut atau tidak? Nah, pada An-Najma edisi kali ini An-Najma akan mengulas hukum anestesi pada saat berpuasa. Anestesi dalam Makna Jika dilihat dari asal katanya, anistesi diserap dari bahasa Yunani “an” yang artinya tidak atau tanpa, dan “aesthetos” yang artinya persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum, anestesi yaitu suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh atau yang biasa disebut dengan pembiusan. Tipe Anestesi Ada tiga tipe anestesi dalam dunia kedokteran. Pertama, anestesi lokal, ia digunakan untuk menghilangkan rasa pada bagian tertentu tubuh. Kedua, anestesi regional, yaitu pembiusan dengan area yang lebih luas daripada anestesi lokal. Ketiga, anestesi umum atau total ditujukan membuat pasien sepenuhnya tidak sadar selama operasi. Pada jenis ini pasien sama sekali tidak akan mengingat apapun tentang operasi karena anestesi umum memengaruhi otak dan seluruh tubuh. Cara pemberian anestesi bisa dengan cara suntik, oral atau melalui mulut dan spray atau semprot. Anestesi Dalam Tinjauan Fikih Mengenai penggunaan anestesi, apakah ia membatalkan puasa atau tidak, maka yang perlu dikaji lebih mendalam adalah anestesi total melalui suntikan. Sebab pemberian anestesi melalui mulut sudah jelas membatalkan puasa, Karena ia melalui tenggorokan. Sedangkan penggunaan anestesi semprot jelas tidak membatalkan puasa. Disisi lain, anestesi total umumnya menghilangklan kesadaran penuh yang mana dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah pingsan membatalkan puasa atau tidak. Dalam tema ini, pembahasan dibagi menjadi dua, yaitu hukum anestesi melalui suntik dan anestesi total, meski kajian lebih urgen akan dibahas pada anestesi total. Pertama adalah anestesi melalui suntik pada kulit. Umumnya, suntikan yang dilakukan melalui kulit tidak membatalkan puasa, sebab ia tidak berefek memberikan rasa kenyang. Ia juga tidak melewati tenggorokan maupun kerongkongan. Selain itu, kaidah umum mengenai hal yang membatalkan puasa adalah segala yang menguatkan badan, baik melalui kerongkongan atupun tidak, atau dengan kata lain yang berfungsi sebagaimana makanan dan minuman. Adapun jenis suntikan yang kedua adalah suntikan yang dimaksudkan untuk pemberian asupan makanan (infus), sehingga orang tidak lagi membutuhkan makan dan minum. Sebab suntikan tersebut sudah mengandung makanan dan minuman yang dibutuhkan oleh tubuh. Maka, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat: Pendapat pertama, Membatalkan. Pendapat ini dikemukakan oleh Syeikh As-Sa’di, Bin Baz dan Syeikh Utsaimin. Sebab ia sama aja dengan makan dan minum, yaitu memiliki fungsi menguatkan badan. Pendapat kedua, tidak membatalkan, sebab ia tidak melalui tenggorokan ataupun kerongkongan dan tidak masuk ke dalam lambung dengan jalan normal. Yang rajah yaitu yang mengatakan batal. Sebab illah hukum batal puasa adalah yang masuk ke dalam tubuh dan menguatkan badan sebagaimana makanan dan minuman. Sehingga suntikan yang demikian dapat membatalkan puasa karena dapat menguatkan tulang dan anggota badan. Adapun terkait anestesi total atau bius yang berimplikasi pada hilangnya kesadaran pasien, maka hal ini dikaitkan dengan hukum puasa orang yang pingsan. Imam Syafii dan Imam Ahmad mengatakan bahwa orang yang pingsan ketika berpuasa, tidak terlepas dari 2 kondisi: Kondisi pertama, pingsan sejenak dan sempat sadar di siang hari, maka puasanya sah. Sebab ia mampu menahan atau meninggalkan makan dan minum dengan kesadaran meski hanya sebentar. Alasan bahwa puasanya sah yaitu, ketika dia sadar di siang hari, maka orang tersebut telah mendapatkan waktu untuk menahan diri dari pembatal puasa secara umum. Kondisi kedua, pingsan sehari penuh. Maksudnya, orang tersebut mengalami pingsan dari sebelum fajar, sampai terbenam matahari. Maka pada kondisi ini, puasa orang tersebut tidak sah, meski ia sudah berniat untuk berpuasa sebelumnya. Dalil bahwa puasanya tidak sah, karena orang yang berpuasa wajib melakukan niat. Berniat meninggalkan makan dan minum serta semua yang membatalkan puasa. Allah berfirman dalam hadis qudsi: يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي “Orang yang berpuasa ini meninggalkan makan, minum, serta syahwatnya karena-Ku.” (HR. Bukhari dan Muslim). Pada hadis diatas, bentuk menahan atau meninggalkan makan dan minum dikembalikan kepada orangnya. Artinya, orang tersebut secara sengaja meninggalkan semua pembatal puasa. Sementara orang yang pingsan, tidak sadar, tentu saja tidak memiliki kesengajaan dalam meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam bish Shawab. (Nazahah) Ref: Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, Al-Mufthirat Al-Mu’ashirah, hlm. 9 Muhammad Samih Umar, Fikih Kesehatan, hlm. 248 Ibnu Utsaimin, Fatawa Ulama Baladil Haram, hlm. 295 Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnid, Fatawa Ash-Shiyam, hlm. 24

Sabtu, 09 September 2017

Faqih, Siapa gerangan yang pantas digelari?

Imam al-Hasan Al-Bashri pernah ditanya mengenai suatu masalah, lantas beliau menjawabnya. Namun orang yang bertanya kepadanya berkata bahwa para fuqaha tidak mengatakan demik
an. Lantas, sang imam bertanya: “Apakah kau mendapati seorang faqih satu saja? Seorang faqih adalah seorang yang sentiasa menghidupkan malamnya,menahan perutnya (puasa) di siang harinya, zuhud terhadap dunia, ia yang tidak suka mencela, tidak suka membujuk, ia yang menyebarkan hikmah Allah Ta’ala, jika diterima ia bersyukur pada Allah, ia yang paham perintah dan larangan yang Allah nyata, ia yang tahu apa yang dicinta dana pa yang dibenci-Nya, itulah ‘Alim, yang termaktub dalam hadits rasul-Nya, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Ia pahamkan padanya urusan agama”. Jika ia belum memiliki sifat ini, maka ia hanyalah seorang yang tertipu (maghrur). (Mughni Muhtaj/3: 79) Ar-Rasikh fil ilm adalah mereka yang melaksanakan sumpahnya, yang jujur lisannya, yang tindaknya selaras dengan hatinya. Atau ia yang memiliki 4 kriteria: yang bertaqwa pada Allah, antara dirinya dengan-Nya, tawadhu’ antara ia dengan sesamanya, zuhud antara ia dengan dunia, mujahadah antara dirinya dengan nafsunya. Tapi, makna yang paling benar yaitu ia yang tahu kalam, tahu hokum, dan peringatan. Sebab rusukh (berakar) adalah ia yang menetap melekat pada sesuatu.

Menggunakan Pasta Gigi Saat Berpuasa

Pertanyaan: apa hukumnya menggunakan pasta gigi di siang hari bulan Ramadhan bagi yang sedang berpuasa? jawab: tidak apa-apa menggunakan pasta gigi di siang hari bulan ramadhan bagi yang sedang berpuasa, jika tidak sampai ke lambung, tapi lebih baik mencukupkan diri dengan sikat gigi tanpa pasta giginya,. sebab pasta gigi mengandung zat kuat yang bisa sampai ke lambung tanpa dirasa oleh penggunanya. maka yang lebih utama bagi yang berpuasa adalah tidak menggunakannya. jika mau menundanya sampai saat berbuka berarti ia telah menghindari hal yang dikhawatirkan dapat merusak puasa. disarikan dari: Ar-Risalah/ ed. 75, September 2007

Jumat, 08 September 2017

Sanad Fikih Imam Malik

Sanad Fiqih Imam Malik by : Ahmad Zarkasih, Lc Tue 10 January 2017 04:36 | 3343 views | bagikan via Kota Madinah, adalah kota yang telah disepakati oleh sejarawan sebagai kota dengan perkembangan ilmu terbaik dan lingkungan keilmuan yang unggul di masa Bani Umayyah serta di awal-awal Dinasti ‘Abbasiyah. Bahkan ketika masa khulafa-ur-Rasyidin, kota menjadi tempat konvensi para sahabat Nabi s.a.w., dan mereka semua adalah para pembawa ilmu-ilmu Nabi s.a.w.. Jadi sudah pasti kota madinah adalah kota yang berisikan dengan ilmu dan para ulama mumpuni. Dan Imam Malik bin Anas adalah orang madinah tulen; itu keunggulan yang dimiliki Imam Malik jika dibanding dengan Imam madzhab lain. Keberadaannya di kota Nabi s.a.w. sejak kecil bahkan sampai wafat itu menjadi nilai plus yang sangat wajar banyak orang memujanya. Terlebih lagi adanya pengakuan dari sang baginda s.a.w. tentang ulama Madinah; يُوشِكُ أَنْ يَضْرِبَ الرَّجُلُ أَكْبَادَ الْإِبِلِ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ، فَلَا يَجِدُ عَالِمًا أَعْلَمَ مِنْ عَالِمِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ Dari Abu Hurairah r.a., Nabi s.a.w. bersabda: “Hampir saja orang-orang itu akan memukuli lambung unta (saking susahnya) dalam mencari ilmu. Dan kalian tidak akan menemukan seorang ulama yang lebih pandai dibanding ulama kota Madinah”. (shahih Ibn Hibban) Sanad Fiqih Imam Malik bin Anas Secara global, ilmu fiqih Imam Malik bin Anas itu diwariskan oleh ulama-ulama yang tergolong dalam 7 Ahli Fiqih Madinah, atau juga 10 Ahli Fiqih Madinah. Karena sudah barang tentu orang di sebauh kampong atau kota akan belajar kepada ulama kotanya sendiri. Walaupun memang tidak kesemua dari Ali Fiqih Madinah itu didatanginya secara langsung oleh sang Imam; disebabkan di antara mereka ada yang sudah tidak semasa dengan sang Imam. Di beberapa artikel sebelumnya di rubric ini, kamis sudah jelaskan ‘Siapa 7 Ahli Fiqih Madinah?’ (Klik) Di antara mereka yang didatangi langsung oleh Imam Malik dalam menuntut ilmu adalah; 1. Nafi’ (117 H) , budaknya Ibn Umar r.a.. beliau yang oleh Imam al-Bukhari disebut sebagai jalur ter-shahih periwayatn hadits kepada Umar serta anaknya; Ibnu Umar r.a., bahkan ter-shahih dari keseluruhan jalur sanad. Beliau (al-Bukhari) mengatakan; أصح الأسانيد كلها : مالك عن نافع عن ابن عمر “sanad yang paling shahih adalah Malik bin Anas, dari Nafi’ dari Ibu Umar”. (Muqaddimah Ibn Shalah 1/10) Artinya bahwa apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari gurunya tersebut; Nafi’ adalah jaminan mutu yang sulit untuk dikatakan jauh dari kebenaran. 2. Muhammad bin Muslim atau yang masyhur dikenal dengan sebutan Ibn Syihab al-Zuhri (124 H); Ahli Hadits Madinah. Beliaulah orang yang diproyeksikan oleh Khalifah Umat bin Abdul Aziz dalam mega proyek pengumpulan hadots Nabi s.a.w. untuk pertama kalinya secara resmi. 3. Abdurahman bin Hurmuz (117 H), guru Imam Malik dengan masa paling panjang; 13 tahun. Beliau lah yang sangat ber[engaruhi dalam pembentuka adab seorang Malik bin Anas. Al-Qadhi ‘Iyadh merekam apa yang dinyatakn oleh Imam Malik tentang masa belajar Malik bin Anas kepada Ibn Hurmuz. Dan beliau (Imam Malik) juga menyatakan bahwa gurunya; Ibn Hurmuz adalah orang yang paling cerdas dalam hal menyanggah syuhbat-nya ahli nafsu, serta cerdas dalam mengurai perbedaan yang terjaid di antara masyarakat. (Tartiib al-Madarik 1/81) 4. Abu al-Zinad Abdullah bin Dzakwan (131 H), Ahli Fiqih Madinah yang juga seorang ahli hadits. Imam Abu Hanifah menyebutnya sebagai orang paling pandai dalam ilmu fiqih di Madinah bahkan melebihi Rabi’ah. (Tarikh Baghdad 10/86). 5. Yahya bin Sa’id al-Anshary (146 H). faqih sekaligus ahli hadits yang meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik juga banyak periwayatn dari para Tabi’in. 6. Rabi’ah bin Abi Abdurahman (136 H), yang biasa dikenal dengan sebutan Rabi’ah al-Ra’yi; Rabi’ah ahli logika. Beliau tercatat sebagai ahli fiqih pertama kali yang majlisnya didatangi oleh Imam Malik di masjid Nabi s.a.w. denagn arahan ibunya sang Imam; karena memang beliau (Rabi’ah) ketika itu yang termasyhur, maka sang ibu mendorongnya untuk tidak pernah absen dalam majlis rabiah di masjid Nabawi. Sebelum akhirnya Imam Malik berkeliaran mencari ilmu ke sana kemari, berguru, meminta fatwa serta periwayatan hadits. Muhammad Khudhari Bek dalam kitabnya tarikh al-Tasyri’ al-Islamy (151-153) menyebutkan bahwa Imam Malik adalah seorang ah;li fiqih sekaligus ahli hadits, maka guru-guru Imam Malik (yang disebutkan di atas), ada yang diambil darinya fatwa fiqih, seperti Nafi’, Rabi’ah, Ibnu Hurmuz serta Ibnu al-Zinad. Di samping itu ada juga yang diambil darinya periwayatan hadits seperti Nafi’, Ibnu Syihab, dan juga yahya bin Sa’id al-Anshary. Sama seperti Imam Abu Hanifah, jalur ilmu yang dilalui Imam Malik membuat corak khas pada fatwa-fatwa fiqih yang dihasilkan; sangat Madaniyun. Begitu juga Imam Abu Hanifah yang sangat ‘Iraqiy. Karakter fiqih sahabat-sahabat Madinah yang ketat dan sangat mengandalkan teks-teks hadits seperti Ibnu Umar r.a., dan juga ada corak pengambilan Maslahah Umar bin Khaththab juga Anas bin Malik. Ibn Hurmuz dan Imam Malik Selain guru-guru di atas, Imam Malik juga belajar kepada banyak guru, bahkan ratusan guru yang ada di madinah semasa pencariannya terhadap ilmu syariah. Dan yang hebatnya, beliau pun beberapa kali sering menghadiri majlis ilmu dari ulama yang seumuran dengan beliau; salah satunya adalah Imam Ja’far bin Muhammad (148 H), atau biasa dikenal dengan sebutan Ja’far al-Shadiq; salah seorang cucu Rasul s.a.w. dan juga ahli fiqih dari kalangan ahl-Bait. Walau tidak sesering guru-gurunya yang lain dalam hal pertemuan, akan tetapi Imam Malik punya kesan yang sangat baik terhadap Imam Ja’far al-Shadiq. Beliau menyebut Imam Ja’far al-Shadiq sebagai orang zuhud yang sangat taqwa kepada Allah s.w.t, dan mencintai kakeknya (Muhammad s.a.w.). bahkan setiap kali meriwayatkan hadits Rasul, Imam Ja’far selalu dalam keadaan suci (tidak berhadat), dan tidak sekalipun terdengar dari beliau perkataan yang tidak berguna. (al-Qadhi ‘Iyadh dalam Tartiib al-Madarik 2/52) Banyak ulama menyebut bahwa ketawadhuan Imam Malik itu diperoleh dari gurunya Ibnu Hurmuz semasa beliau menghabiskan waktu belajar kepadanya selama 13 tahun. Saking tawadhu’-nya beliau (ibnu Hurmuz) melarang Imam Malik menuliskan namanya dalam sanad keilmuannya, khawatir apa yang diajarinya adalah kekeliruan. Karena itu, nama Ibnu Hurmuz memang tidak semasyhur guru-guru Imam Malik lain, seperti Rabi’ah, al-Zuhri, atau juga al-Zinad. Al-hafidz Ibnu Abdil-Bar dalam kitabnya yang masyhur Jami Bayan Al-Ilmi Wa Fadhlih (2/234), bercerita tentang Imam Malik dan temannya Abdul Aziz bin Abi Salamah yang selalu “mondar-mandir” ke rumah Imam Ibnu Hurmuz untuk belajar. Selain kedua muridnya ini, ada tokoh lain yaitu Muhammad bin Ibrahim bin Dinar beserta kawan-kawannya yang juga selalu datang menemui Imam Ibnu Hurmuz untuk meminta ilmu. Namun setiap kali Muhammad dan segerobolan temannya ini datang ke Imam Ibnu Hurmuz, beliau selalu menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Sampai akhirnya, Muhammad bin Ibrahim dengan muka kesal sambil berkata: “saya sangat tidak senang dengan perlakuan guru kepada kami. Kenapa guru tidak pernah menjawab pertanyaan-pertanyaan kami, sedangkan jika Malik bin Anas dan Abdul Aziz yang datang, guru selalu saja menjawab semua pertanyaan mereka. Ini tidak adil!” Kemudian Imam Ibn Hurmuz berkata: “wahai Muhammad! Aku ini orang tua yang sudah berumur, ke-tua-an ku sudah menggrogoti tubuhku. Aku takut ke-tua-an ku ini juga mengrogoti otakku sebagaimana ia telah menggroroti tubuhku. Sehingga aku sangat mungkin lupa dan salah. Malik dan Abdul Aziz adalah 2 orang pintar di kota ini, kalau aku katakan sesuatu yang benar mereka berdua akan menerimanya. Kalau aku katakana sesuatu yang salah, pastilah mereka menolak dan tidak mengamalkan itu. Nah kamu beserta rombonganmu itu adalah orang yang tidak berilmu. Aku takut (karena umur tua ku) aku katakan sesuatu yang salah, kamu terima itu begitu saja dan kemudian kau sebarkan. Itu akan menambah dosa bagi ku.” Wallahu a’lam
 

Penakluk Senja! Published @ 2014 by Ipietoon

Blogger Templates