Sabtu, 09 Desember 2017

Spiritual Journey To Infrastructure Journey


“Dan serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (Al-Hajj : 27)
            Indonesia merupakan Negara dengan populasi penduduk beragama Muslim terbesar di dunia. Kesadaran umat Islam untuk menjalankan rukun Islam kelima, untuk menunaikan Ibadah haji membuat niat dan keinginan tersebut belum terbendung dalam kuota pengiriman jamaah haji yang di Izinkan. Sehingga umat Islam Indonesia harus menunggu bertahun-tahun bahkan setelah bertahun-tahun pula mengumpulkan uang untuk dapat memenuhi syarat mendaftarkan diri sebagai peserta haji.

            Tahun ini sejumlah 221.000 orang jamaah asal Indonesia berangkat menuju tanah suci untuk melaksanakan Ibadah Haji. Sebuah pengharapan bagi umat Islam lainnya, menunggu dengan doa dan harap agar kelak diberikan kesempatan untuk  menjalankankan spritual journey, menyempurnakan rukun Islam. Harapan untuk penambahan kuota jamaah, harapan untuk fasilitas dan kenyamanan dalam beribadah, serta perlindungan dari pemerintah. Harapan itu tumbuh melalui semangat mencari receh demi receh, rupiah demi rupiah yang tertatih-tatih dikumpulkan umat Islam.

            Akhur-akhir ini, timbul wacana pemerintah untuk memanfaatkan dana haji yang telah dikumpulkan rakyat untuk diInvestasikan kepada Infrastruktur yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Secara yuridis Pasal 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji telah memberikan batasan pengelolaan keuangan haji yaitu untuk meningkatkan:
a.       Kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji
b.      Rasionalitas dan Efisiensi Penggunaan BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji)
c.       Manfaat bagi Kemaslahatan Umat.

Tegas sekali bahwa pengelolaan keuangan haji hanya dapat digunakan untuk 3 hal diatas. Dana haji boleh digunakan untuk Infrastruktur, namun yang bermanfaat bagi penyelenggaraan haji. Contohnya peningkatan fasilitas pusat pelatihan dan wisma haji atau Asrama haji (Akomodasi) selama penyelenggaraan Ibadah Haji. Hal itu akan lebih terasa manfaatnya bagi “pemilik dana”. Kemaslahatan umat yang dimaksud adalah seperti kegiatan pelayanan sebelum keberangkatan jamaah haji, ekonomi umat, pendidikan dan dakwah, serta pembangunan sarana dan prasarana ibadah.

            Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dibentuk bertujuan untuk mengeloala dana haji Jamaah (rakyat), oleh karenanya BPKH dalam pengelolaannya harus pro terhadap Jamaah, bukan Pro terhadap Pemerintah. BPKH harus selalu mempertimbangkan prinsip syariah, kehati-hatian, nilai manfaat, nirlaba, transparan, dan akuntable dalam mengelola dana jamah haji sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 2 Undang-undang Pengelolaan Keuangan Haji. Sementara investasi Infrastruktur dirasa tidak sesuai dengan azas serta prinsip dalam pengelolaan keuangan haji sebagaimana yang ditentukan undnag-undang. 

Bahwa, Niat pemerintah untuk menggunakan dana haji untuk kepentingan Infrastruktur sangat melenceng dengan Undang-Undang. Pengabaian Undang-Undang oleh Pemerintah merupakan State Crime (Kejahatan Negara), apalagi ini menyangkut dana rakyat, umat Islam yang tidak diperoleh dengan mudah.

      Investasi dalam bentuk Infrastruktur merupakan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah. Jangan lagi libatkan uang rakyat untuk dengan penggunaan yang tidak semestinya. Pembangunan Infrastruktur merupakan Investasi yang beresiko, tidak jelas nilai manfaatnya bagi calon Jamaah haji, apalagi dengan fenomena korupsi yang membudaya. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun menyatakan lemahnya pengendalian Internal sejumlah kementerian dan lembaga negara mamicu ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan. Sangat besar peluang keuangan haji mengalami hal serupa, karena pengelolaan keuangan haji rentan dengan penyimpangan, terbukti dengan kasus korupsi yang juga melibatkan Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali. Keuangan Haji bukanlah kewajiban seperti Pajak, tapi merupakan tabungan umat. Siapa yang akan bertanggungjawab jika proyek rugi dan tabungan umat tidak bisa dikembalikan?. Sehingga sangat wajar bila rakyat (umat Islam) khawatir hal ini akan menghambat dan/atau mengurangi fasilitas pelayanan jamaah haji di kemudian hari.
       Bahwa, yang terpenting penggunaan dana haji oleh pemerintah tentu harus ada persetujuan dari pemilik dana. Dalam pengelolaan dana haji ada dua akad yaitu akad muqayyadah yang penggunaan dananya harus atas persetujuan pemilik dana. Dan akad mutlaqah yang pengelolaannya diserahkan ke pengelola. Namun, keduanya harus memiliki persetujuan dari pemilik dana. Sehingga dalam pengelolaan dana/keuangan haji, Pemerintah melalui BPKH haruslah mengelola keuangan haji secara transparan dan dikeloa sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan tidak bertentangan dengan keinginan rakyat (pemilik dana haji),
          Bahwa, Kebijakan-kebijakan yang ambiguitas akan menimbulkan keresahan di Masyarakat. Apa yang dicanangkan oleh Pemerintah haruslah sesuai dengan kehendak dan kemanfaatan bagi rakyat. Suatu perencanaan yang baikpun harus dibicarakan secara musyawarah, karena itulah makna dari Demokrasi Pancasila, - Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan, perwakilan -. Apa yang terjadi akhir-akhir ini jangan sampai menjadikan pemerintah kehilangan kepercayaan dari rakyat terutama umat Islam. Kepentingan rakyat harus diutamakan dan dilindungi, sehingga rakyat pun akan menghormati serta dapat bekerjasama dengan Pemerintah dalam memajukan kesejahteraan dan pembangunan Indonesia kedepannya. (Dr. K/a - 2 Agustus 2017)

Senin, 27 November 2017

Hukum Transaksi Dropship


Pertanyaan :
Bagaimana hukum jual beli secara dropship? Yaitu penjual menampilkan gambar barang-barang yang hendak dijualnya dalam situs yang dia kelola. Jika ada konsumen yang tertarik untuk membelinya, terlebih dahulu ia membayar secara tunai atau transfer ke rekening dropshipper, kemudian dropshipper membeli barang itu ke supplier sesuai harga beli yang telah mereka sepakati berdua disertai ongkos kirim barang ke alamat konsumen. Terakhir, supplier mengirim barang yang telah dibeli dropshipper kepada konsumen. Terima kasih atas jawabannya.
Jawaban :
الْحَمْدُ لِلهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ
Dari deskripsi yang Antum sampaikan dan yang saya baca dari berbagai sumber tentang transaksi dropship, setidaknya ada dua problem serius yang terjadi dalam transaksi ini.
Pertama, penjual atau dropshipper menjual barang yang belum penuh menjadi miliknya. Hal itu dilarang dalam syariat. Sebab ada hadits shahih yang berbunyi,
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِى الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّى الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِى أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ فَقَالَ لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Dari Hakim bin Hizam ra ia bertanya, “Wahai Rasulullah, ada orang yang mendatangiku. Orang itu ingin membeli barang yang tidak aku miliki. Bolehkah aku membelikan barang yang dia inginkan di pasar setelah bertransaksi dengan orang itu?” Rasulullah saw menjawab, “Janganlah kamu menjual barang yang belum kamu miliki!” (HR. Abu Daud, no. 3505; dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani)
Kedua, penjual mengaku memiliki barang—meskipun secara implisit—dengan memasang gambar barang-barang yang dijualnya di situs miliknya. Padahal, dalam transaksi dan dalam segala hal, seorang yang beriman kepada Allah diharamkan berdusta.
Selain itu, dalam transaksi dropship penjual atau dropshipper mengambil keuntungan sekehendaknya tanpa menanggung risiko apa pun. Jika barang rusak atau hilang di jalan, yang menanggung adalah suplier. Ini juga tidak diperkenankan dalam syariat.
Ada solusi yang ditawarkan oleh para ulama pemerhati perkembangan transaksi kontemporer. Penjual bisa memosisikan diri sebagai broker (semacam calo), hal mana ia hanya meminta fee atau upah kepada suplier karena berhasil menarik pembeli. Dalam hal ini ia tidak perlu menanggung risiko.
Solusi kedua, penjual mesti membeli barang terlebih dahulu dari suplier. Dia tentukan barang yang dibelinya, lalu ia menawarkannya kepada khalayak di situsnya. Jika ada yang tertarik untuk membelinya, ia dapat melayaninya. Dalam hal ini ia bebas menentukan keuntungan sebagaimana ia juga harus siap menanggung semua risiko yang terjadi.
Rumit dan ribet? Dalam kerumitan dan keribetan itu ada pahalanya. Wallahu a’lam.
(ar risalah)

Memaknai Indonesia

MEMAKNAI INDONESIA

oleh: Dr. Kapitra Ampera 

            Sistem pemerintahan Indonesia pada dasarnya menganut Kedaulatan Rakyat, dimana rakyat lah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam setiap kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seperti pemikiran Jean Jaquest Rousseau yang menyatakan  bahwa Negara dibentuk oleh kemauan rakyat, dan berkewajiban mewujudkan cita-cita rakyat. Pemerintah bersama lembaga dan Institusi negara adalah sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.

Tahun ini tepat di bulan Agustus, Republik Indonesia memasuki usia 72 Tahun kemerdekaan, usia yang cukup matang untuk mengelola suatu negara. Indonesia telah mengalami berbagai hal, baik prestasi maupun kesulitan dan tantangan, baik secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Negara Indonesia diberikan keberkahan berupa keberagaman, terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, dan agama. Keberagaman inilah yang menjadi wujud Pancasila sila ke-3 yakni Persatuan Indonesia, sebagaimana semboyan bangsa “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda namun tetap satu. Persatuan dan kerukunan dalam keberagaman inilah yang diharapkan dapan mewujudkan cita-cita bangsa.
           
       Usia dewasa untuk sebuah Negara ternyata belum dapat mencapai tujuan dan cita-cita bangsa. Dewasa ini berbagai macam permasalahan serta tantangan menghadapi pemerintahan saat ini dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. Perekonomian masyarakat masih belum mencapai kesejahteraan, tingkat kemiskinan yang tinggi ditambah dengan naiknya harga barang, seperti kebutuhan pokok, bahan bakar, dan tarif listrik yang makin meningkat menjadi figure kesengsaraan rakyat yang menyebabkan kemiskinan.
     
        Tingkat kemiskinan semakin tinggi juga disebabkan banyaknya pengangguran. Kurangnya lapangan kerja menjadi “PR” prioritas yang harus segera diatasi. Bagaimana Negara ini akan maju jika rakyatnya belum mandiri dalam mengurus dirinya sendiri. Pemerintah harus lebih peka dalam menfasilitasi penggunaan tenaga kerja dalam negeri dan mengawasi penggunaan tenaga kerja asing di berbagai sektor baik pemerintahan maupun swasta.
        Sarana dan fasilitas pendidikan yang baik harus tersebar secara merata baik dikota maupun di daerah-daerah terpencil, pulai-pulau terluar, dan wilayah perbatasan. Pendidikan merupakan bibit yang akan melahirkan para ahli-ahli yang ilmu dan keterampilannya akan berguna bagi masa depan bangsa.  SDM Indonesia harus mampu bersaing dalam kompetisi Global, oleh karenanya Ilmu dan keterampilan masyarakat harus baik secara merata.
          Fenomena lainnya yang menjadi tantangan bagi negara adalah Penegakan Hukum. Begitu banyaknya permasalahan hukum yang terjadi dan menyita perhatian dan energi masyarakat. Kasus korupsi yang melibatkan Pejabat Negara, Kekerasan yang dilakukan terhadap tokoh-tohoh, sampai pada dugaan kriminalisasi terhadap para ulama. Menjadi tantangan bagi para institusi penegak hukum untuk melaksanakan penegakan hukumnya secara adil dan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena penegakan hukum yang benar adalah untuk mensejahterakan rakyat, yaitu dengan cara menghukum pihak bersalah untuk mengembalikan hak-hak mereka yang dirugikan, dan/atau menghukum orang yang bersalah agar dapat bertanggungjawab atas kesalahannya.

            Yang harus pula menjadi perhatian penting bagi pemerintah adalah bagaimana negara ini berjalan dengan tentram dan kondusif. Pemerintah harus benar-benar bertindak dan bekerja sesuai dengan kebutuhan rakyat agar dicintai oleh rakyat. Pemerintah yang dicintai rakyat akan dimuliakan oleh rakyat. Namun yang terjadi saat, kebijakan-kebijakan pemerintah mendapat protes dari masyarakat. Seperti contohnya penerbitan Perpres No.2 Tahun 2017 Tentang perubahan Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Masyarakat yang dinilai tidak pada waktunya/tidak dalam kondisi yang urgent, serta substansinya yang dirasa mengebiri hak-hak masyarakat dan menciderai kepastian hukum dan keadilan.    

Disamping itu, perwujudan cita-cita bangsa ini tidak hanya dengan mempertahankan dan mencintai bunyi Pancasila dan UUD 1945, namun juga mewujudkan substansi dan makna dari Ideologi dan Dasar Negara tersebut sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yaitu perlindungan, kesejahteraan, mencerdaskan bangsa, dan perdamaian, dan keadilan.

Prestasi-prestasi yang didapat pada pemerintahan kali ini juga harus diapresiasi. Terutama tentang percepatan pembangunan Infrastruktur di Indonesia bagian timur yang menjadi salah satu gerakan dalam mewujudkan kesejahteraan yang merata.  Yang menjadi persoalan adalah konsentrasi pemerintah pada pembangunan di Indonesia bagian timur, jangan sampai melalaikan dari peningkatan kesejahteraan di daerah lainnya. Pemerintah harus mencari cara dan mengelola sumber daya Indonesia yang begitu kaya, untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat secara serentak dan bersama-sama. Rakyat akan siap berjuang bersama untuk mencapai cita-cita bangsa, asalkan pemerintah dapat dipercaya.

Negara ini harus dikelola bersama-sama seluruh elemen masyarakat, dengan cara terbukanya dialog, transparansi kerja, dan akuntabilitas. Ditambah lagi dengan komando dari pemimpin yang dicintai rakyatnya, yang melaporkan secara terbuka kinerja kepada pemilik kedaulatan negara (rakyat). Government of the people, by the people, for the people (Abraham Lincoln). Maka, 260 Juta rakyat Indonesia akan menggali potensi, kemampuan, kerja keras, dan supportnya terhadap kinerja Pemerintah, baik Pemerintah pusat sampai dengan Pemerintah Desa. 

          
      Bahwa, yang terpenting bagi pemerintahan Negara Republik Indonesia saat ini adalah bagaimana pemerintahan saat ini dapat berjalan dengan optimal ke arah yang lebih baik. Tidak mudah tentunya membawa bangsa yang masih berkembang ini menjadi Negara yang maju dan sejahtera. Namun, dengan ikut sertanya seluruh elemen masyarakat untuk berjuang mengatasi kemiskinan, menjadi manusia yang cerdas dan sehat jasmani serta rohani, maka hal tersebut tentunya dapat dicapai dengan lebih mudah. Pada intinya yang diinginkan oleh rakyat adalah kebahagiaan, memiliki Pemimpin yang mencintai rakyatnya, dan rakyat yang memuliakan dan mendukung pemimpinnya. Itulah pintu gerbang menuju Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur . Aime ton peuple, glorifie tes dirigeants. Merdeka !!! (Dr. K/a - 22 Juli 2017)

Minggu, 26 November 2017

contoh refleksi perkuliahan



Refleksi Perkuliahan; Mata Kuliah Fikih An-Nawazil
Text Box: Penulis: ‘Inayah Nazahah
Paper Bersama Ustadz: Junaidi Manik, M. PI
Program Sarjana Fikih dan Ushul Fikih 
Ma’had Ali Hidayaturrahman, Sragen
 

Kamis, 19 Januari 2017
Pada pertemuan pertama, Ustadz Junaidi Manik membuka awal perkuliahan dengan sedikit evaluasi usai melaksanakan Ulangan Tengah Semester. Kami disuguhi contoh refleksi perkuliahan milik beliau saat duduk di bangku doktoralnya. Terlihat sederhana namun menarik.
Perkuliahan kali ini hanya membahas sedikit materi kuliah. Hanya sedikit menyampaikan manhaj salaf dalam berfatwa dan lebih tepatnya ada 3; yaitu manhaj tasydid , taysir dan wasth. Namun, pada pertemuan tersebut kami hanya dapat mengambil kulitnya. Hanya saja, karena kepiawaian sang ustadz kami banyak tahu istilah-istilah Arab jika difalsafahkan.
Kamis, 26 Januari 2017
Pertemuan kedua tepat di hari keluaran putri ma’had aly Hidayaturrahman, banyak diantara kami yang hendak pulang untuk berbakti. Sang ustadz mengerti kondisi hati kami, sehingga perkuliahan Fikih Nawazil yang seharusnya dilaksanakan selepas dhuhur diliburkan. Hari itulah, hari pertama kami tidak melakukan perkuliahan sebagaimana semestinya dan berlanjut hingga beberapa kali pertemuan. Hal tersebut dikarenakan ustadz berhalangan hadir dengan setumpuk tugas yang harus beliau laksanakan.
Pembelajaran berhenti sampai disini. Hingga ujian tengah semester tiba, kami belum mendapatkan ilmu yang seberapa dari sang ustadz. Kami maklum karena beliau banyak urusan dan hajat yang menuntut untuk itu. Namun, kehadiran beliau untuk mentransfer ilmu yang beliau miliki selalu kami tunggu.
Rabu, 16 Maret 2017
Pertemuan sore itu memberi kesan mendalam bagi kami. Sang ustadz rela menyisihkan waktunya untuk kami, mahasiswanya. Dengan semangat yang membara kami ikuti perkuliahan sore itu. Ustadz menunjukkan sikap ketawadhuan yang mendalam, menghormati para ulama yang tidak pernah kami dapati sebelumnya. Mengapa saya sebut demikian? Sebab beliau selalu saja menceritakan ketawadhu’an para ulama dan membandingkannya dengan kita sebagai umat terbelakang. Pada sore itu pula, beliau menyampaikan tentang imam al-Ghazali. Seorang ulama yang menyeru manusia berakhlak dengan sifat dan asma Allah Ta’ala. Lantas, perkataan beliau dijelaskan oleh Syeikh Hawa bahwa yang diperbolehkan hanya pada sebagian yang dimampui saja.
Usai bercerita syeikh al-Ghazali, beliau melanjutkan materi perkulihan dengan tema manhaj tadyiq dan tasydid. Mereka inilah yang menempuh manhaj ta’ashub madzhab, berpegang pada dhahir nash tanpa mengkaji maksudnya, berlebih-lebihan dalam sadd dzarai’. Lantas, di sela-sela menjelaskan beliau banyak berkisah seputar perjalanan serta pengalaman beliau saat di Medan sana.
Kamis, 18 Maret 2017
Pertemuan ke empat, al-Hamdulillah ustadz dapat hadir mengisi perkuliahan kami. Ustadz mengisi materi ta’ashub. Lantas, beliau bercerita tentang sikap hormat dan berbaktinya seorang murid kepada gurunya, yaitu imam Ahmad kepada imam Syafi’i. Beliau berpesan bahwa kita semua tidak mungkin bisa sehebat sebagaimana yang kita rasakan kecuali dengan wasilah guru kita. Bagaimanapun, hargailah guru kita semua.
Setelah menyelingi materi dengan sejumlah kisah yang sangat berharga, ustadz melanjutkan kembali materi perkuliahan, yaitu tentang ta’shub bi dhahir an-nushush. Pada materi ini, beliau banyak membuka cakrawala pemikiran kami tentang penggunaan istilah “teks”. Beliau mengatakan bahwa jika “nash” diganti dengan istilah “teks”, maka hal tersebut merendahkan sakralitas Al-Qur’an yang kemudian berujung pada anggapan bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi).
Senin, 10 April 2017
Pada dasarnya masih tersisa beberapa pertemuan perkuliahan sebelum perkuliahan hari ini. Mungkin banyak kisah yang saya lompati dan tidak terurut. Sebab banyak lupa yang menimpa neuron otak saya. Hal ini dikarenakan saya memulai menulis tugas refleksi ini usai menyelesaikan tugas lain selain metodologi. Ya. Hari Senin menjadi moment perkuliahan paling berkesan jika dibandingkan dengan perkuliahan-perkuliahan sebelumnya. Hari itu saya mampu mengekspresikan apa yang saya gundahkan. Terlebih saat itu, di ujung pembahasan, ustadz menyinggung tokoh maqashid, Najmuddin  ath-Thufi. Pembahasan itu membuat saya lebih hidup saat perkuliahan. Memang, tokoh apa pun harus kita kaji dan ketahui.
Pembahasan pada pertemuan ini yaitu seputar manhaj taisir atau mempermudah. Metode ini mayoritas diterapkan oleh para mufti kontemporer yang tidak kredibel keilmuwannya. Padahal, sudah seharusnya seorang mufti tahu kapan ia harus bersikap ketat dan lentur. Pada hari itu, ustadz menjelaskan seputar manhaj mubalaghah fi taisir. Beliau menyebutkan bahwa dalam hal ini alangkah baiknya kita memahami syariat sebagai sesuatu yang shalih. Imam Muhammad Thahir bin ‘Asyur menyebutkan bahwa shalahiyyah Islam dapat ditunjukkan dengan dua bentuk. Pertama, syariat Islam baik ushul maupun kuliyyahnya selalu selaras dan sepadan dengan segala bentuk kondisi dan kultur masyarakat. Kedua, Islam bisa membentuk dan menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat yang berbeda. Islam mampu membuat masyarakat meninggalkan kebiasan mereka yang buruk. Sebab syariat Islam tidaklah menyusahkan pemeluknya.
Adapun sebab yang melandasi munculnya manhaj taisir adalah sikap berlebihan dalam mengambil maslahat walaupun ia berbenturan dengan nash yang qath’i lagi sharih. Mengutip kisah yang beliau sampaikan bahwa shalih dalam kacamata liberalis adalah shalih dalam kacamata dan tinjauan manusia. Atau shalih menurut keumuman orang, horizontal.
Kesimpulan,
Pada dasarnya, dalam berfatwa seorang ulama hanya menggunakan 3 macam metode, yaitu metode tasydid atau tadyiq,  taysir dan washt. Adapun metode yang paling moderat yaitu metode wasth. Namun, untuk saat ini dapat kita saksikan betapa banyak masyarakat yang masih bertaqlid dengan satu madzhab atau bahkan bertaqlid dengan seorang ustadz. Sungguh, belajar teori ilmu nawazil membuka keluwesan kita dalam bersikap dan mensikapi kelompok yang berbeda pendapat. Itulah rahmah yang Allah berikan khusus untuk umat Islam, sebagaimana termaktub dalam sebuah sabda Rasul “Ikhtilaf umatku adalah rahmat”.
Al-hamdulillah, 5 pertemuan telah kita lalui dengan lancar, walau terdapat banyak kendala dalam ketepatan jadwal, namun selalu ada ganti waktu untuk menyempurnakannya. Jazakumullah ahsanal jaza, kepada ustadz Junaidi Manik yang dengan perantaranya kita dapat memahami ragam manhaj dalam berfatwa dan mengajari kita ketawadhu’an, serta sikap menghormati para ulama yang tidak kita dapatkan di tempat lain. Namun, alangkah lebih baiknya jika waktu yang tersedia kita gunakan semaksimal mungkin guna meningkatkan kuantitas materi perkuliahan Fikih Nawazil, sebab waktu yang kita dapatkan hanya sedikit dan terbatas. Terkadang keinginan mahasiswa memang harus dituruti, namun jika melihat waktu yang berbatas cukuplah menjadi cambuk untuk menggunakannya pada hal yang lebih berharga bernama perkuliahan.

Sabtu, 28 Oktober 2017

Idealisme Santri untuk Negri

IDEALISME SANTRI UNTUK NEGRI Oleh: ‘Inayah Nazahah Pesantren merupakan unsur penting dalam dinamika historis kemerdekaan bangsa. Secara historis, pesantren telah mengabadikan peristiwa penting bangsa Indonesia. Salah satu peran penting pesantren dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia adalah andil mereka dalam mengusir penjajah. Sehingga menjadi seorang santri adalah kebanggaan. Sebab jika kita tilik pada kilas balik sejarah bangsa kita, kemerdekaan Indonesia tidak terlepas daripada kiprah santri. Bercermin pada kenyataan bahwa santrilah yang banyak memajukan peradaban di negri tercinta, Indonesia. Santri merupakan sesosok yang memiliki idealisme juang tinggi. Idealisme tersebut terpancar dalam tinta sejarah. Antara idealisme juang tanpa pamrih dan idealisme mereka dalam mengemban amanah serta dakwah. Kesemuanya merupakan hasil dari pengajaran pesantren yang mana mereka menggali ilmu di sana. Dalam catatan sejarah terbukti bahwa di Banyuwangi Kota muncul beberapa nama Kiai yang terlibat dalam mengorganisir massa untuk menghadapi gempuran NICA, baik di pertempuran 10 November di Surabaya maupun pertempuran-pertempuran lain di Banyuwangi. Nama Kiai Saleh Lateng terdengar nyaring dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Selain melakukan tirakat (riyadlah) demi mewujudkan kemerdekaan bangsa, Kiai Saleh menjadi tempat rujukan para santri dan pejuang lainnya untuk meminta nasehat dan doa. Kiai Saleh juga mengirimkan para santrinya untuk ikut perang di Surabaya. Bahkan, pada peperangan yang kelak dikenal sebagai hari pahlawan tersebut, beliau tampak ikut bertempur di medan laga. Keberanian mereka dalam melawan penjajah bukan tanpa bimbingan dari guru yang menyandang gelar kyai. Keberanian tersebut muncul karena spirit hubbul wathan yang ditanamkan oleh kyai mereka setiap pengajaran. Yah, dogma hubbul wathan minal iman merupakan spirit khusus yang disuntikkan oleh para kyai untuk menumbuhkan semangat berjuang memerdekakan Negara saat itu. Terkait hal diatas, kita tidak boleh melupakan kisah heroic syeikh Yusuf Al-Makassari. Seorang ulama dari Makassar yang giat dalam berdakwah. Petualangan dakwah Syekh Yusuf mencapai titik tertentu dimana beliau merasa perlu untuk berjihad melawan penjajah di nusantara. Hal ini salah satunya karena kekalahan Gowa melawan penjajah belanda, dan sahabatnya, kini bergelar Sultan Agung Tirtayasa asal banten memerlukan bantuan beliau. Akhirnya, bersama pasukan Banten, Syekh Yusuf yang didaulat menjadi Mufti Banten, turut berjuang menentang penjajahan Belanda di Pulau Jawa. Dipecah belah oleh Belanda, sehingga Sultan Ageng berperang melawan Putranya sendiri, Sultan Haji, dan kalah pada tahun 1682, Syekh Yusuf dan pengikutnya, tentara-santri berjumlah 5000-an orang asal Bugis, Makassar dan pendekar Banten bergerilya selama dua tahun hingga ditangkap Belanda dan dibuang ke Batavia. Hal diatas hanyalah sekelumit perjuangan para kyai dan santri di negri kita. Masih banyak kisah yang menunjuk jelas peran kyai dan santri dalam mengusir penjajahan negri. Inilah bukti bahwa santri yang berada dibawah bimbingan kyai akan memiliki idealisme juang tinggi. Sebab jika bukan karena idealisme juang yang tinggi, tentunya mereka akan lari tunggang langgang dan membiarkan negri ini terus dijajah tanpa henti. Idealisme tersebut muncul dan tumbuh dari keyakinan mereka pada firman-Nya, “dan bersungguh-sungguhlah berjuang diatas jalan Allah dengan sebenar-benar kesungguhan.”. Berkiprah Tanpa Puji, Mendahulukan Kepentingan Negri Selain idealisme juang yang tinggi, sebuah bentuk pengajaran yang tak didapati oleh selain santri adalah ditanamkannya semangat berkiprah membangun bangsa tanpa harus mengharap puji. Hal ini terbukti dengan berdirinya berbagai pesantren di Indonesia yang menggratiskan biaya sekolah untuk anak bumi pertiwi. Kalaupun ada biaya yang harus dikeluarkan, itu hanya sebagai biaya konsumsi dan sarana prasarana yang menunjang kegiatan belajar di asrama. Pembelajaran keikhlasan membuat para santri yang dikawal oleh para kyailah yang memiliki etos juang yang tinggi. Sebab mereka percaya dengan janji Allah atas kemenangan untuk orang yang beriman. Kiprah santri yang tak mengharap puji dan imbalan tercermin dari peristiwa proklamasi kemerdekaan. Saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan mereka tidak lantas merebut jabatan yang dipangku oleh presiden Soekarno. Mereka patuh dan menerima dipimpin dengan memberikan satu syarat supaya negri dibangun atas dasar syariat. Namun, harapan santri dan para kyai serta tokoh umat Islam tidak dikabulkan. Isi daripada naskah proklamasi yang 7 harus dihapuskan. Peristiwa tersebut memang membuat umat Islam sangat terpukul, namun mereka sadar bahwa kesatuan untuk merdeka jauh lebih diutamakan. Mereka lebih memilih mengalah untuk kesatuan bangsa, dan inilah yang banyak dilupakan oleh masyarakat Indonesia kini. Banyak yang menganggap santri dengan pandangan sebelah mata, memandang santri sebagai makhluk egois di dunia, padahal fakta sejarah menunjukkan sebaliknya. Inilah bukti bahwa santri adalah manusia yang penuh toleransi. Mengentas Kebodohan Masyarakat Usai kemerdekaan, bangsa Indonesia tidak lagi dihadapkan oleh bahaya penjajah. Namun, tantangan mereka kini berubah berupa tantangan kebodohan, kemiskinan, dan melawan ego sendiri. Hal ini terbukti dengan dibangunnya lembaga-lembaga pesantren di bumi pertiwi. Sehingga lahirlah para santri yang semangat mengabdi untuk masyarakat. Mengentaskan kebodohan yang masih merajalela di pelosok-pelosok negri. Hingga kini, perjuangan santri dan kyai untuk bangsa masih terasa. Sebab usai menerima surat kelulusan, seorang santri akan dituntut untuk mengabdikan dirinya di sebuah daerah rendah sumber daya manusia. Dalam melaksanakan tugas dakwah, para santri diamanahi untuk menanamkan nilai akhlak, mengajarkan pengamalan agama, dan mengentaskan mereka dari kunkungan fanatisme kesukuan maupun ras yang ada. Mereka mengajarkan Islam sebagai agama penuh toleransi. Dalam kaitannya mengangkat kebodohan, terdapat seorang tokoh terkenal bernama Ahmad Dahlan. Ia mengisi kemerdekaan dengan hal yang dapat memajukan bangsa. Yaitu dengan membangun lembaga pendidikan. Hal seperti ini juga terus digaungkan di lembaga-lembaga pesantren di seluruh penjuru negri, supaya santri dan kyai mampu berkiprah nyata dalam berhubungan pada sesama manusia. Para santri dididik untuk mampu beradaptasi dengan masyarakat. Menyebar luas ilmu untuk mengangkat kebodohan. Itulah nilai nyata kiprah santri yang sudah menjadi idealisme dalam diri mereka, Berjuang Melawan Kebodohan! Hal ini terinspirasi dari sebuah sabda Rasul yang artinya, “Sampaikanlah dariku walau satu ayat”. Hubbul Wathan dan Sikap Amanah Kini kita harus mau menerima, menilik sejenak peran santri yang tak dapat dipungkiri dalam panggung sejarah kemerdekaan bangsa. Tentunya sebagai seorang santri kita tahu bahwa sifat amanah sangat dijunjung tinggi ketika dibebani sebuah amanah. Hal ini tercermin ketika terdapat pemilihan pengurus organisasi santri pesantren atau OSIS. Pada organisasi itulah sifat amanah terhadap jabatan diajarkan. Disisi lain, ketika ada anak yang memiliki kasus mereka harus menahan membeberkan rahasia di depan umum. Berusaha sekuat menutupi, sebab hal itu adalah aib saudara sendiri. Mereka mencukupkan berita atas diri mereka sendiri, tidak membeberkannya pada khalayak ramai, sebab itu adalah cara pendidikan yang benar, selama tindakan yang dilaku bukanlah tindakan maksiat besar yang dilarang oleh agama. Namun, kisah ini berbeda. Amanah yang diemban adalah amanah menjaga rahasia untuk keselamatan sesama. Terkisah dalam tinta sejarah bahwa perjuangan pahlawan Sukamanah diliputi oleh nilai-nilai amanah. Pada suatu ketika, semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di alun-alun dan semua diwajibkan menghormat (seikerei) ke arah Tokyo. Di bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa melakukan perintah itu, hanya K.H. Zaenal Mustofa yang tetap membangkang. Bahkan, ia berkata kepada Kiai Rukhiyat yang hadir pada waktu itu bahwa perbuatan tersebut musyrik. Kepada para santri dan pengikutnya, ia juga mengatakan, lebih baik mati ketimbang menuruti perintah Jepang. Tindakan pemerintah pendudukan Jepang yang juga sangat memberatkan rakyat adalah, penerapan politik beras atau kewajiban menyerahkan beras kepada Jepang yang sangat merugikan rakyat. Rakyat kelaparan. Bahkan banyak yang menderita busung lapar. Selain itu, banyak kaum wanita ditipu. Mereka dijanjikan akan disekolahkan di Tokyo sehingga banyak yang mendaftarkan diri, ternyata mereka dikirim ke daerah-daerah pertempuran seperti Birma dan Malaya dan dijadikan sebagai wanita penghibur tentara-tentara Jepang (jugun ianfu). Akhirnya, K.H. Zaenal Mustofa memutuskan untuk melakukan perlawanan terbuka terhadap kekejaman fasisme Jepang. Bersama para santrinya ia merencanakan suatu gerakan yang akan dilakukan pada tanggal 25 Februari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telefon sehingga militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik. Untuk melaksanakan rencana ini, K.H. Zaenal Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah. Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah K.H. Zaenal Mustofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan. Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar K.H. Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, keempat opsir itu tewas dan salah seorang santri yang bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir Jepang tersebut. Setelah kejadian tersebut, sore harinya sekitar pukul 16.00 datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut, setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Terjadi sebuah peristiwa heroik. Ratusan santri terlibat dalam pertempuran dan perkelahian jarak dekat. Namun, dua kekuatan itu jelas tidak seimbang. Senapan mesin, pistol, dan granat pasukan Jepang (meskipun personelnya adalah bangsa kita juga) berhadapan dengan pasukan K.H. Zaenal Mustofa yang hanya bersenjatakan bambu runcing, pedang bambu, dan batu. Hanya dalam waktu sekitar satu setengah jam saja, pertempuran itu berakhir tragis. Para santri yang gugur dalam pertempuran berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Hilang tak tentu rimbanya (kemungkinan besar dibunuh tentara Jepang), termasuk K.H. Zaenal Mustofa, sebanyak 23 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang. Para santri ini tidak memiliki apa-apa untuk memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, kecuali darah, kerja keras, air mata, dan keringat. Perlu dijelaskan pula bahwa sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Yang sangat penting adalah instruksi rahasia dari K.H. Zaenal Mustofa kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan, yaitu agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Sukamanah dipikul sepenuhnya oleh K.H. Zaenal Mustofa. “BIARLAH. Bebankan hal-hal yang berat dalam pemeriksaan tentara Jepang kepadaku. Jika terpaksa, boleh disebut nama kawanmu yang benar-benar sudah syahid (gugur dalam pertempuran).” (Kiai Haji Zainal Mustafa) Akibatnya memang berat. Sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk K.H. Zaenal Mustofa, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya. Kemungkinan besar mereka dibunuh. Korban lainnya, seperti telah disebutkan di atas dan sekitar 600-an orang dilepas, karena dianggap tidak terlibat. Maka melihat kisah diatas, jika kita mau berkaca pada sejarah, akan kita dapati orang yang amanah dalam memimpin negri. Sebab ujian fisik akan terasa berat bagi orang-orang yang tak memiliki keimanan yang kuat pada sang Pencipta. Begitu pula amanah yang diemban dan dipikul oleh para pemerintah kita, amanah yang mereka pikul berat, amanah menjaga kepercayaan rakyat. Namun, didikan yang diajarkan di pesantren mampu membuat ia mawas diri. Sebab orientasi hidup semua ia kerahkan dan curahkan pada Allah semata. Maka, sudah menjadi maklum bahwa salah satu cara untuk memberantas korupsi yang menjamur di bangsa Indonesia tercinta ini kita harus menanamkan jiwa-jiwa amanah dalam diri kita. Bukan hanya pada tingkat tinggi kepemerintahan, namun dalam lingkup terkecil pun kita harus menjaga amanah. Melaksana tugas yang diemban dengan ikhlas. Itulah idealisme santri untuk negri, sebab cinta yang mereka berikan adalah kecintaan karena Allah. Sehingga apa yang mereka wacana merupakan sebuah kebaikan bersama. Mari, berbangga menjadi santri dengan ikhlas mengabdi untuk negri. Wallahu A’lam bish Shawab.

Kamis, 19 Oktober 2017

Amanat Tjokroaminoto Kepada Anaknya

Written by Kopral Cepot Anwar TjokroaminotoSuatu hari di tahun 1945, datanglah beberapa orang yang tergolong ‘Ulama ke rumah Anwar Tjokroaminoto (Anak kedua dari H.O.S Tjokroaminoto). Salah seorang diantara mereka itu bertanya : “Adakah almarhum mempunyai peninggalan kepada saudara ?”. Anwar Tjokroaminoto menjawab : “ Ada, tetapi apa maksud saudara bertanya demikian?” “Kalau ada, sebenarnya mengherankan kami sebab kami tidak pernah mendengar bahwa almarhum semasa hidupnya ada mempunyai harta kekayaan !” “Memang yang saya maksudkan bukan peninggalan yang berupa harta-benda, tetapi merupakan pesan-pesan. Mula-mula saya sendiri tidak sadar bahwa apa-apa yang dikatakannya itu merupakan pesan-pesan yang berharga. Tetapi beberapa waktu sesudah wafatnya, barulah saya sadar akan hal itu” Para tamu itu hampir semuanya merasa heran, mengapa kalau ada pesan yang ditinggalkan, tidak diketahui oleh orang banyak, lebih-lebih oleh orang-orang yang dekat hubungannya dengan almarhum itu. “Saya sengaja tidak menyatakan kata-kata ayah itu oleh karena sifat pesan-pesan itu tidak umum, hanya merupakan kata-kata seorang ayah dihadapan anaknya” “Tetapi, kalau saya tidak dianggap lancang”, kata salah seorang tamu itu – “ingin juga saya dengar, apa gerangan yang dipesankan kepada saudara itu”. “Ah, pesan atau wasiat almarhum Ayahanda itu sebenarnya terlalu sederhana, tidak berarti untuk orang lain, tetapi besar manfaatnya untuk saya”. Tamu-tamu itu mendesak juga, dan salah seorang dari mereka berkata : “ Saudara rupanya belum tahu benar, siapa-siapa gerangan anak-anak Tjokroaminoto itu. Kami tahu : Anwar memang anak Tjokroaminoto, Harsono anak Tjokroaminoto, begitu juga saudara-saudara sekandung dari saudara sendiri. Itu anak-anak yang terikat oleh darah. Tapi yang disebut anak-anak Tjokroaminoto itu bukanlah semata-mata anak-anaknya yang terikat oleh darah, bukan semata-mata yang dilahirkan oleh istrinya, tetapi masih ada yang lain. Banyak dari golongan kamu Muslimin yang mengakui Tjokroaminoto sebagai bapaknya, sebagai ayahnya. Mereka inipun juga anak-anak Tjokroaminoto, bukan anak-anak yang terikat oleh darah, tetapi terikat oleh ruh, terikat oleh jiwa ! Kalau ada peninggalan yang merupakan harta-benda, misalnya rumah, sawah, uang dan sebagainya, itu adalah menjadi hak-milik anak-anak yang terikat oleh darah Tjokroaminoto. Tetapi kalau ada peninggalan yang berupa ilmu, yang harus dini’mati manfaatnya oleh Ummat, kalau merupakan nasehat yang harus diamalkan oleh Ummat, peninggalan-peninggalan yang serupa itu bukanlah menjadi hak milik anak-anak yang terikat oleh darah saja, tetapi oleh segenap anak-anaknya yang terikat oleh ruh dengan almarhum Tjokroaminoto itu. “Oleh karena itu, maka betapapun sederhananya pesan atau wasiat itu meskipun nampaknya bersifat dari ayah kepada anak, tidaklah boleh saudara monopoli sendiri, melainkan haruslah saudara berikan kepada saudara Muslimin lainnya, oleh karena Tjokroaminoto itu adalah Bapak Pergerakan Islam. Kalau saudara berikan kepada kami, misalnya, adakah berkurang yang ada pada saudara? Tidak, bukan? “ Maka mendengar kata-kata indah, mendengar kata-kata emas dari tamu itu, Anwar Tjokroaminoto lalu menceritakan apa-apa yang dipesankan kepadanya itu. Sesudah diteliti masak-masak, ternyata bahwa wasiat sederhanya itu dititik beratkan kepada tiga perkara, yakni : (1). Mengenai pengendalian nafsu, (2). Mengenai perkembangan kecerdasan dan (3) Mengenai kehidupan suci bersih. Pengendalian Nafsu. Berkali-kali, didalam waktu sakitnya almarhum Tjokroaminoto mengatakan kepada anaknya : “Lereno mangan sa’durunge wareg !” yang artinya : berhentilah makan sebelum kenyang. Perintah ini selalu diulang-ulang, padahal bukan adat kebiasaan sehari-hari beliau memberi perintah kepada anaknya hingga berulang-ulang. Pesan ini dijalankan. Tentu saja tidak seketika itu atau seketika sesudah wafat almarhum. Tetapi sesudah berlalu rasa sedih-pedih ditinggalkan orang tua. Untung berlalunya kesedihan itupun tidak memakan waktu banyak. Memang tiap-tiap waktu kita mengalami kematian, kesedihan pasti menyelubungi kita. Tetapi kesedihan itu ada saat habisnya. Cepat atau lambat habisnya kesedihan itu tergantung kepada diri orang yang menderita kesedihan. Bisa dibikin lama, bahkan menyebabkan luka dijantung, bisa pula dibikin singkat dengan kesadaran, bahwa tiap-tiap yang hidup itu mesti mengalami mati. Pesan ; “Lereno mangan sa’durunge wareg ! atau berhentilah makan sebelum kenyang, dijalankan, mudah nampaknya, tetapi sesungguhnya berat. Tidakkah berat, kalau kita berhenti makan pada waktu lidah kita belum selesai meni’mati kelezatan makanan? Tidakah berat rasanya, berhenti makan, diwaktu perut kita belum benar-benar puas? Padahal makanan lezat masih ada dihadapan kita, dan tidak seorangpun yang akan melarang kita? Jika pada waktu makan, kita selalu memakai dasar “berhenti sebelum kenyang” dan benar-benar bisa dijalankan, apa yang terlatih oleh karenanya? Bukan perut kita ! Sebab meskipun selalu berhenti makan sebelum kenyang, siperut tetap bisa merasa lapar dan tetap pula bisa merasa kenyang. Bukan pula lidah kita ! Sebab lidah tetap bisa membeda-bedakan apa yang lezat dan yang tidak lezat. Yang terlatih itu ialah hati kita. Tiap-tiap manusia mesti mempunyai keinginan didalam hatinya, tetapi keinginan itu bisa dikendalikan, bisa diarahkan kepada jalan yang baik, sehingga menjadi semangat yang membaja. Latihan “berhenti makan sebelum kenyang” itu pun melindungi hati, dari keinginan serakah, loba dan tamak, dari perbuatan-perbuatan korupsi dan sebagainya, tetapi pun menimbulkan kemauan yang keras, untuk mengendalikan nafsu kita, mendidik kita kepada sabar didalam menghadapi segala malapetaka dan kekuatan hati didalam menghadapi semua bujukan kepada kenikmatan-kenikmatan yang dibisikan orang atau iblis kepada kita. Perkembangan Kecerdasan “GUNAKANLAH lima menit setiap malam buat membulatkan pikiran !” itulah pesan kedua, yang juga berulang-ulang dikatakan. Walaupun didalam Sholat, kita diharuskan khusu, tak kurang pikiran jarang sekali bisa bulat kepada Allah yang sedang kita sembah. Membulatkan pikiran itu, bukan melamun. Membulatkan pikiran, ialah mengatur pikiran kita. Banyak orang yang bisa berpikir, tetapi pikirannya itu tidak merupakan daya cipta, tidak merupakan sebab yang menimbulkan akibat. Berpikirnya tidak menimbulkan rencana dalam kenangannya, dan meskipun bisa membentuk rencana, bukanlah rencana yang bisa dikerjakan. Berpikir adalah mencipta! Itupun bagi orang yang pandai mengatur cara berpikirnya. Membulatkan pikiran adalah menghimpun segala pikiran kita kepada satu soal, kepada satu tujuan! Tiap-tiap soal yang harus kita pecahkan, tidaklah mudah pemecahannya itu, jika kita tidak membulatkan pikiran kita kesana. Kita jelajah soal itu, kita pandang soal itu dari segala sudut! Pun dalam mendalami ilmu. Tidaklah mudah ilmu bisa meresap kepada kita, jika tidak dengan sepenuh-penuhnya pikiran kita mempelajari ilmu itu. Latihan membulatkan pikiran lima menit tiap-tiap malam itupun tidak semudah persangkaan orang. Bulat-bulat lima menit, acapkali sebelum lewat lima menit itu pikiran sudah terbelokan kelain jurusan. Tetapi jika dibiasakan, pastilah besar manfaatnya, karena kebiasaan membulatkan pikiran itu, memudahkan kita memecahkan sesuatu soal dan memudahkan kita menyelami sesuatu ilmu. Dengan cara cepat pula, kebiasaan yang demikian itu menyebabkan tumbunya perkembangan kecerdasan kita, menyebabkan kecerdasaan kita bernilai tinggi. Kehidupan Suci Pesan ketiga, sebenarnya tidak merupakan pesan, melainkan merupakan pertanyaan yang sukar dijawab, bahkan sebenarnya sampai kinipun tidak terjawab. Almarhum bertanya berkali-kali : “Bagaimana caranya, supaya bisa bersih sebelum wudhu?” Bagi orang Islam, tidak bisa Sholat sah, jika tidak didahului dengan mengambil air wudhu, meskipun berwudhu sendiri hukumnya sunnat. Jadi sukarlah kiranya orang bisa mengatakan dirinya sudah bersih (siap) guna melakukan Sholat. Tetapi bagaimanapun sukarnya pertanyaan tak urung pertanyaan itu tetap menjadi bahan yang ditinggalkan untuk selalu mencari……………….(maaf untuk point ketiga ini tidak dikutip lengkap semuanya) Mungkin kelak, salah seorang atau lebih dari Ummat Islam yang membaca ini bisa mendapatkannya… Wallahu A’lam.. Mudah-mudahan. Maka dari mulut-kemulut wasiat sederhana yang diceritakan oleh Anwar Tjokroaminoto itupun mulai tersiar, kendatipun tersiarnya itu tidak begitu luas ! Kini wasiat atau amanat sederhana itu yang mula-mula merupakan amanat seorang ayah kepada anaknya, kini menjadi beberapa rangkaian kalimat pusaka dari almarhum H.O.S. Tjokroaminoto untuk Ummat, menjadi amanat yang tiada mudah dilupakan. Referensi (Sumber) : H.O. S. Tjokroaminoto : Hidup dan Perjuangan (jilid ke dua), Amelz, Bulan-Bintang url: https://serbasejarah.wordpress.com/2015/04/08/amanat-tjokroaminoto-kepada-anaknya/comment-page-1/#comment-24750
 

Penakluk Senja! Published @ 2014 by Ipietoon

Blogger Templates