Sabtu, 28 Oktober 2017

Idealisme Santri untuk Negri

IDEALISME SANTRI UNTUK NEGRI Oleh: ‘Inayah Nazahah Pesantren merupakan unsur penting dalam dinamika historis kemerdekaan bangsa. Secara historis, pesantren telah mengabadikan peristiwa penting bangsa Indonesia. Salah satu peran penting pesantren dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia adalah andil mereka dalam mengusir penjajah. Sehingga menjadi seorang santri adalah kebanggaan. Sebab jika kita tilik pada kilas balik sejarah bangsa kita, kemerdekaan Indonesia tidak terlepas daripada kiprah santri. Bercermin pada kenyataan bahwa santrilah yang banyak memajukan peradaban di negri tercinta, Indonesia. Santri merupakan sesosok yang memiliki idealisme juang tinggi. Idealisme tersebut terpancar dalam tinta sejarah. Antara idealisme juang tanpa pamrih dan idealisme mereka dalam mengemban amanah serta dakwah. Kesemuanya merupakan hasil dari pengajaran pesantren yang mana mereka menggali ilmu di sana. Dalam catatan sejarah terbukti bahwa di Banyuwangi Kota muncul beberapa nama Kiai yang terlibat dalam mengorganisir massa untuk menghadapi gempuran NICA, baik di pertempuran 10 November di Surabaya maupun pertempuran-pertempuran lain di Banyuwangi. Nama Kiai Saleh Lateng terdengar nyaring dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Selain melakukan tirakat (riyadlah) demi mewujudkan kemerdekaan bangsa, Kiai Saleh menjadi tempat rujukan para santri dan pejuang lainnya untuk meminta nasehat dan doa. Kiai Saleh juga mengirimkan para santrinya untuk ikut perang di Surabaya. Bahkan, pada peperangan yang kelak dikenal sebagai hari pahlawan tersebut, beliau tampak ikut bertempur di medan laga. Keberanian mereka dalam melawan penjajah bukan tanpa bimbingan dari guru yang menyandang gelar kyai. Keberanian tersebut muncul karena spirit hubbul wathan yang ditanamkan oleh kyai mereka setiap pengajaran. Yah, dogma hubbul wathan minal iman merupakan spirit khusus yang disuntikkan oleh para kyai untuk menumbuhkan semangat berjuang memerdekakan Negara saat itu. Terkait hal diatas, kita tidak boleh melupakan kisah heroic syeikh Yusuf Al-Makassari. Seorang ulama dari Makassar yang giat dalam berdakwah. Petualangan dakwah Syekh Yusuf mencapai titik tertentu dimana beliau merasa perlu untuk berjihad melawan penjajah di nusantara. Hal ini salah satunya karena kekalahan Gowa melawan penjajah belanda, dan sahabatnya, kini bergelar Sultan Agung Tirtayasa asal banten memerlukan bantuan beliau. Akhirnya, bersama pasukan Banten, Syekh Yusuf yang didaulat menjadi Mufti Banten, turut berjuang menentang penjajahan Belanda di Pulau Jawa. Dipecah belah oleh Belanda, sehingga Sultan Ageng berperang melawan Putranya sendiri, Sultan Haji, dan kalah pada tahun 1682, Syekh Yusuf dan pengikutnya, tentara-santri berjumlah 5000-an orang asal Bugis, Makassar dan pendekar Banten bergerilya selama dua tahun hingga ditangkap Belanda dan dibuang ke Batavia. Hal diatas hanyalah sekelumit perjuangan para kyai dan santri di negri kita. Masih banyak kisah yang menunjuk jelas peran kyai dan santri dalam mengusir penjajahan negri. Inilah bukti bahwa santri yang berada dibawah bimbingan kyai akan memiliki idealisme juang tinggi. Sebab jika bukan karena idealisme juang yang tinggi, tentunya mereka akan lari tunggang langgang dan membiarkan negri ini terus dijajah tanpa henti. Idealisme tersebut muncul dan tumbuh dari keyakinan mereka pada firman-Nya, “dan bersungguh-sungguhlah berjuang diatas jalan Allah dengan sebenar-benar kesungguhan.”. Berkiprah Tanpa Puji, Mendahulukan Kepentingan Negri Selain idealisme juang yang tinggi, sebuah bentuk pengajaran yang tak didapati oleh selain santri adalah ditanamkannya semangat berkiprah membangun bangsa tanpa harus mengharap puji. Hal ini terbukti dengan berdirinya berbagai pesantren di Indonesia yang menggratiskan biaya sekolah untuk anak bumi pertiwi. Kalaupun ada biaya yang harus dikeluarkan, itu hanya sebagai biaya konsumsi dan sarana prasarana yang menunjang kegiatan belajar di asrama. Pembelajaran keikhlasan membuat para santri yang dikawal oleh para kyailah yang memiliki etos juang yang tinggi. Sebab mereka percaya dengan janji Allah atas kemenangan untuk orang yang beriman. Kiprah santri yang tak mengharap puji dan imbalan tercermin dari peristiwa proklamasi kemerdekaan. Saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan mereka tidak lantas merebut jabatan yang dipangku oleh presiden Soekarno. Mereka patuh dan menerima dipimpin dengan memberikan satu syarat supaya negri dibangun atas dasar syariat. Namun, harapan santri dan para kyai serta tokoh umat Islam tidak dikabulkan. Isi daripada naskah proklamasi yang 7 harus dihapuskan. Peristiwa tersebut memang membuat umat Islam sangat terpukul, namun mereka sadar bahwa kesatuan untuk merdeka jauh lebih diutamakan. Mereka lebih memilih mengalah untuk kesatuan bangsa, dan inilah yang banyak dilupakan oleh masyarakat Indonesia kini. Banyak yang menganggap santri dengan pandangan sebelah mata, memandang santri sebagai makhluk egois di dunia, padahal fakta sejarah menunjukkan sebaliknya. Inilah bukti bahwa santri adalah manusia yang penuh toleransi. Mengentas Kebodohan Masyarakat Usai kemerdekaan, bangsa Indonesia tidak lagi dihadapkan oleh bahaya penjajah. Namun, tantangan mereka kini berubah berupa tantangan kebodohan, kemiskinan, dan melawan ego sendiri. Hal ini terbukti dengan dibangunnya lembaga-lembaga pesantren di bumi pertiwi. Sehingga lahirlah para santri yang semangat mengabdi untuk masyarakat. Mengentaskan kebodohan yang masih merajalela di pelosok-pelosok negri. Hingga kini, perjuangan santri dan kyai untuk bangsa masih terasa. Sebab usai menerima surat kelulusan, seorang santri akan dituntut untuk mengabdikan dirinya di sebuah daerah rendah sumber daya manusia. Dalam melaksanakan tugas dakwah, para santri diamanahi untuk menanamkan nilai akhlak, mengajarkan pengamalan agama, dan mengentaskan mereka dari kunkungan fanatisme kesukuan maupun ras yang ada. Mereka mengajarkan Islam sebagai agama penuh toleransi. Dalam kaitannya mengangkat kebodohan, terdapat seorang tokoh terkenal bernama Ahmad Dahlan. Ia mengisi kemerdekaan dengan hal yang dapat memajukan bangsa. Yaitu dengan membangun lembaga pendidikan. Hal seperti ini juga terus digaungkan di lembaga-lembaga pesantren di seluruh penjuru negri, supaya santri dan kyai mampu berkiprah nyata dalam berhubungan pada sesama manusia. Para santri dididik untuk mampu beradaptasi dengan masyarakat. Menyebar luas ilmu untuk mengangkat kebodohan. Itulah nilai nyata kiprah santri yang sudah menjadi idealisme dalam diri mereka, Berjuang Melawan Kebodohan! Hal ini terinspirasi dari sebuah sabda Rasul yang artinya, “Sampaikanlah dariku walau satu ayat”. Hubbul Wathan dan Sikap Amanah Kini kita harus mau menerima, menilik sejenak peran santri yang tak dapat dipungkiri dalam panggung sejarah kemerdekaan bangsa. Tentunya sebagai seorang santri kita tahu bahwa sifat amanah sangat dijunjung tinggi ketika dibebani sebuah amanah. Hal ini tercermin ketika terdapat pemilihan pengurus organisasi santri pesantren atau OSIS. Pada organisasi itulah sifat amanah terhadap jabatan diajarkan. Disisi lain, ketika ada anak yang memiliki kasus mereka harus menahan membeberkan rahasia di depan umum. Berusaha sekuat menutupi, sebab hal itu adalah aib saudara sendiri. Mereka mencukupkan berita atas diri mereka sendiri, tidak membeberkannya pada khalayak ramai, sebab itu adalah cara pendidikan yang benar, selama tindakan yang dilaku bukanlah tindakan maksiat besar yang dilarang oleh agama. Namun, kisah ini berbeda. Amanah yang diemban adalah amanah menjaga rahasia untuk keselamatan sesama. Terkisah dalam tinta sejarah bahwa perjuangan pahlawan Sukamanah diliputi oleh nilai-nilai amanah. Pada suatu ketika, semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di alun-alun dan semua diwajibkan menghormat (seikerei) ke arah Tokyo. Di bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa melakukan perintah itu, hanya K.H. Zaenal Mustofa yang tetap membangkang. Bahkan, ia berkata kepada Kiai Rukhiyat yang hadir pada waktu itu bahwa perbuatan tersebut musyrik. Kepada para santri dan pengikutnya, ia juga mengatakan, lebih baik mati ketimbang menuruti perintah Jepang. Tindakan pemerintah pendudukan Jepang yang juga sangat memberatkan rakyat adalah, penerapan politik beras atau kewajiban menyerahkan beras kepada Jepang yang sangat merugikan rakyat. Rakyat kelaparan. Bahkan banyak yang menderita busung lapar. Selain itu, banyak kaum wanita ditipu. Mereka dijanjikan akan disekolahkan di Tokyo sehingga banyak yang mendaftarkan diri, ternyata mereka dikirim ke daerah-daerah pertempuran seperti Birma dan Malaya dan dijadikan sebagai wanita penghibur tentara-tentara Jepang (jugun ianfu). Akhirnya, K.H. Zaenal Mustofa memutuskan untuk melakukan perlawanan terbuka terhadap kekejaman fasisme Jepang. Bersama para santrinya ia merencanakan suatu gerakan yang akan dilakukan pada tanggal 25 Februari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telefon sehingga militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik. Untuk melaksanakan rencana ini, K.H. Zaenal Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah. Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah K.H. Zaenal Mustofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan. Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar K.H. Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, keempat opsir itu tewas dan salah seorang santri yang bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir Jepang tersebut. Setelah kejadian tersebut, sore harinya sekitar pukul 16.00 datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut, setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Terjadi sebuah peristiwa heroik. Ratusan santri terlibat dalam pertempuran dan perkelahian jarak dekat. Namun, dua kekuatan itu jelas tidak seimbang. Senapan mesin, pistol, dan granat pasukan Jepang (meskipun personelnya adalah bangsa kita juga) berhadapan dengan pasukan K.H. Zaenal Mustofa yang hanya bersenjatakan bambu runcing, pedang bambu, dan batu. Hanya dalam waktu sekitar satu setengah jam saja, pertempuran itu berakhir tragis. Para santri yang gugur dalam pertempuran berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Hilang tak tentu rimbanya (kemungkinan besar dibunuh tentara Jepang), termasuk K.H. Zaenal Mustofa, sebanyak 23 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang. Para santri ini tidak memiliki apa-apa untuk memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, kecuali darah, kerja keras, air mata, dan keringat. Perlu dijelaskan pula bahwa sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Yang sangat penting adalah instruksi rahasia dari K.H. Zaenal Mustofa kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan, yaitu agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Sukamanah dipikul sepenuhnya oleh K.H. Zaenal Mustofa. “BIARLAH. Bebankan hal-hal yang berat dalam pemeriksaan tentara Jepang kepadaku. Jika terpaksa, boleh disebut nama kawanmu yang benar-benar sudah syahid (gugur dalam pertempuran).” (Kiai Haji Zainal Mustafa) Akibatnya memang berat. Sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk K.H. Zaenal Mustofa, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya. Kemungkinan besar mereka dibunuh. Korban lainnya, seperti telah disebutkan di atas dan sekitar 600-an orang dilepas, karena dianggap tidak terlibat. Maka melihat kisah diatas, jika kita mau berkaca pada sejarah, akan kita dapati orang yang amanah dalam memimpin negri. Sebab ujian fisik akan terasa berat bagi orang-orang yang tak memiliki keimanan yang kuat pada sang Pencipta. Begitu pula amanah yang diemban dan dipikul oleh para pemerintah kita, amanah yang mereka pikul berat, amanah menjaga kepercayaan rakyat. Namun, didikan yang diajarkan di pesantren mampu membuat ia mawas diri. Sebab orientasi hidup semua ia kerahkan dan curahkan pada Allah semata. Maka, sudah menjadi maklum bahwa salah satu cara untuk memberantas korupsi yang menjamur di bangsa Indonesia tercinta ini kita harus menanamkan jiwa-jiwa amanah dalam diri kita. Bukan hanya pada tingkat tinggi kepemerintahan, namun dalam lingkup terkecil pun kita harus menjaga amanah. Melaksana tugas yang diemban dengan ikhlas. Itulah idealisme santri untuk negri, sebab cinta yang mereka berikan adalah kecintaan karena Allah. Sehingga apa yang mereka wacana merupakan sebuah kebaikan bersama. Mari, berbangga menjadi santri dengan ikhlas mengabdi untuk negri. Wallahu A’lam bish Shawab.

0 komentar:

 

Penakluk Senja! Published @ 2014 by Ipietoon

Blogger Templates