Selasa, 16 Agustus 2016

madkhol


HUKUM FIQIH DAN USHUL FIQIH
            Hukum belajar fiqih ada dua yang pertama fardhu’ain dalam mempelajari fiqih yang berkaitan dengan ibadah harian dan yang kedua adalah fardhu kifayah untuk  mempelajari amalan selainnya.
            Adapun mempelajari ilmu ushul fiqih hukumnya fardhu ‘ain bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk mengetahui hukum berdasarkan nadzor (observasi) dan pengambilan dalil (istidlal).
KEUTAMAAN-KEUTAMAAN FIQIH
            Diantara keutamaan-keutamaan ilmu fiqih adalah:
1.      Tafaqquh fied-dien (memperdalam pemahaman agama) adalah perintah dan hukumnya wajib.
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
            Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi: “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (Ali Imron: 79)          

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
            “Tidak sepatutnya bagi mu’minin itu pergi semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (AT-Taubah: 122)

طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةً عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

 “Menuntut ilmu itu wajib bagi tiap muslim.” (HR.Ibnu Majah)

2.      Paham terhadap ilmu fiqih adalah nikmat yang agung dan tanda bertambahnya kebaikan.

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمً
“... Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur-an) dan hikmah (As-Sunnah) kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu sangat besar.” (An-Nisaa’: 113)

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
            “Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.” (Mutafaqqun ‘Alaih)

3.      Fiqih bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah penjaga dari penyimpangan atau kesesatan.


تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما : كتاب الله وسنة نبيه
“Telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang jika kalian berpegang dengan keduanya, tidak akan tersesat : Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”. (HR.Muslim)
                         
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang beramal dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak.” (Mutafaqqun ‘Alaih)

4.      Ahlu fiqih dan orang yang mempelajarinya adalah orang yang memiliki derajat yang tinggi.


يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al Mujadilah : 11)

5.      Orang yang paham ilmu syari’at adalah orang yang dekat kepada taufiq dan hidayah Allah.

وَيَرَى الَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْعِلْمَ الَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ هُوَ الْحَقَّ وَيَهْدِي إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ
“Dan orang-orang yang diberikan ilmu memandang bahwa apa yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Rabbmu adalah kebenaran dan akan membimbing kepada jalan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Terpuji.” (Saba: 6)

وَتِلْكَ اْلأَمْثاَلُ نَضْرِبُهاَ لِلنَّاسِ وَماَ يَعْقِلُهاَ إِلاَّ الْعاَلِمُوْنَ
“Demikianlah permisalan-permisalan yang dibuat oleh Allah bagi manusia dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (Al-’Ankabut: 43)

6.      Tidak paham syari’at dan khususnya fiqih akan menimbulkan perpecahan dan menghilangkan kekuatan umat.
Para ulama terbiasa berbeda pendapat, karena berbeda hasil ijtihad sudah menjadi keniscayaan. Namun karena ilmu yang mereka miliki membuat mereka  tidak saling mencaci, menjelekkan atau menafikan.
Sebaliknya, semakin awam seseorang terhadap ilmu syariah, biasanya akan semakin tidak punya mental untuk berbeda pendapat. Sedikit perbedaan di kalangan mereka sudah memungkinkan untuk terjadinya perpecahan, pertikaian, bahkan saling menjelekkan satu sama lain.
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
 “Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al Anfaal :46)

7.      Kehancuran umat dan datangnya kiamat ditandai dari hilangnya ilmu syari’ah.

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ وَيُشْرَبَ الْخَمْرُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا
            Diantara tanda-tanda terjadinya hari kiamat yaitu: diangkatnya ilmu, kebodohan merajalela, banyaknya orang yang meminum minuman keras, dan zina dilakukan dengan terang-terangan.” (HR. Muslim)

ﺿﻴﻌﺖ ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﻓﺎﻧﺘﻈﺮ ﺍﻷﻣﺎﻧﺔ . ﻓﻘﺎﻝ : ﺇﺿﺎﻋﺘﻬﺎ ﻛﻴﻒ ؟ ﻗﺎﻝ : ﻏﻴﺮ ﺇﻟﻰ ﺍﻷﻣﺮ ﻭﺳﺪ ﺇﺫﺍ ﻓﺎﻧﺘﻈﺮ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﺃﻫﻠﻪ

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya; 'bagaimana maksud amanat disia-siakan? ' Nabi menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. Bukhari)

8.      Tipu daya orientalis dan sekularis sangat efektif bila lemah di bidang syari’ah.

وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfaal: 73)
Para ulama syariah terbiasa berbeda pendapat, karena berbeda hasil ijtihad sudah menjadi keniscayaan. Namun mereka sangat menghormati perbedaan diantara mereka. Sehingga tidak saling mencaci, menjelekkan atau menafikan.
Sebaliknya, semakin awam seseorang terhadap ilmu syariah, biasanya akan semakin tidak punya mental untuk berbeda pendapat. Sedikit perbedaan di kalangan mereka sudah memungkinkan untuk terjadinya perpecahan, pertikaian, bahkan saling menjelekkan satu sama lain.












                                                                                                                       

hukum konsumsi daging anjing


BAB I
PENDAHULUAN

Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyempurnakan agama-Nya dengan sangat sempurna. Kesempurnaannya tidak didapat pada agama selain agama islam. Agama islam memberikan keteraturan dalam hidup. Semuanya telah tersusun rapi didalam bingkainya. Didalamnya banyak memberikan petunjuk dan cara bagaimana manusia itu hidup. Cara hidup inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Kesempurnaan itu mencakup segala aspek kehidupan umat manusia. Baik dalam ruang lingkup dalam pemeritahan dan politik, rung lingkup rumah tangga, akhlak perorangan, semua hukum bahkan hukum makanan pun telah ditata rapi  dan dijelaskan dalam islam.
Begitu juga dengan masalah mengkonsumsi daging anjing yang daging olahannya beredar dipasaran, baik dalam bentuk sate, rica-rica dan lainnya. Seperti apakah sebenarnya hukum makan daging anjing yang banyak diminati banyak orang. Apakah ada khasiat yang tersembunyi di dalamnya. Atau karena memang mereka hobi memakan daging hewan ini. Islam sudah menjelaskan dengan terperinci tentang hal ini. Yang mana kita hanya butuh mengkajinya lebih dalam dan mengamalkannya sesuai dengan apa yang telah diterangkannya.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai hukum memakan daging anjing menurut ketentuan hukum islam, telah dijelaskan selanjutnya dalam makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Definisi
Definisi anjing dalam kamus besar bahasa Indonesia ialah binatang menyusui yang biasa dipelihara untuk menjaga rumah, berburu, dan sebagainya.[1]
2.      Analisis atau contoh-contoh
Pernah kita dengar menu kuliner bernama “sate jamu” atau “Rica-Rica Guk-Guk”. “Sate Jamu” atau “Rica-Rica Guk-Guk” adalah samaran untuk masakan daging anjing. Hal ini bukan hal baru, kuliner ini sudah ada sejak beberapa tahun lalu.
Nama samaran yang biasa dipakai berbeda antara satu kota dengan yang lain. Di daerah kota Solo dan Jogja biasa disebut dengan “Sate Jamu” atau “Rica-Rica Guk-Guk” atau “Sengsu” alias tongseng asu (anjing). Di daerah Semarang biasa disebut Wedus Balap. Di Manado dan Minahasa, daging anjing dikenal dengan rintek wuuk, nama lain dari anjing. Di Batak masakan daging anjing diberi kode B1dari kata biang (bahasa Batak: anjing).
Daging anjing diminati karena konon katanya, daging anjing dapat menambah stamina. Khususnya stamina untuk melakukan hubungan seksual. Dilihat dari peminatnya, rata-rata adalah lelaki berusia menikah.
Orang berpikir jika memakan daging anjing itu berkhasiat, tapi tidak ada bukti ilmah dari hal itu. Yang ada justru sebaliknya. Mengkonsumsi daging anjing itu berbahaya. Ada parasit dab bakteri yang terkandung dalam dagingnya.” Papar Karin Franken dari Jakarta Animal Aid Network.
Daging anjing tidak memiliki kandungan gizi khusus seperti halnya yang ada dalam mitos.  Sebaliknya, daging anjing rawan terjangkit virus berbahaya yakni rabies. Anjing merupakan hewan yang memiliki potensi penyakit zoonisis atau penyakit hewan yang dapat menular ke manusia. Rabies disebabkan oleh virus rabies. Virus rabies berada dalam liur anjing atau melalui kontak lain.
Rupanya mitos ini sudah ada sejak zaman dahulu. Orang pada zaman dahulu ada yang meyakini bahwa daging anjing dapat menjadi obat. Imam asy-Sya’bi pernah ditanya oleh seseorang tentang memakan daging anjing untuk obat. Beliau menjawab, “jika ia berobat dengannya, niscaya Allah tidak akan menyembuhkannya.”[2]



3.      Hukumnya
Hukum memakan daging anjing adalah haram. Karena anjing diktegorikan termasuk hewan yang buas (as-Siba’). Dan hewan yang buas haram dimakan dagingnya. Tetap haram memakan daging anjing apa pun itu jenisnya.[3] Sebab sejinak apapun anjing tersebut, anjing tetap termasuk hewan buas. Sebagaimana jika ada singa, ular, harimau, dan serigala yang dapat dijinakkan, tidak lantas dagingnya halal dimakan.
Dalam kitab al-Hayawanu Ma Yajuzu Akluhu wa Ma La Yajuzu, juga disebutkan bahwa daging anjing haram untuk dikonsumsi, karena anjing memiliki gigi taring dan juga termasuk kategori hewan buas. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامُ
Semua yang memiliki gigi taring dari hewan buas maka memakannya haram.[4]
Ibnu Abdullah al-Fauzan, dalam bukunya al-Ath’amah wa Ahkam wa adz-Dzabaih, menambahkan bahwa haram juga memakan yang khabits, dan hewan yang memiliki taring juga termasuk dalam kategori khabits. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَ يَحِـلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتُ وَ يُحرِمُ عَلَيهِمُ الخَبَائِثُ
“Dan dihalalkan atas mereka thaiyyibat dan  diharamkan atas mereka khobaits.” (al-A’raf: 157) [5]
Daging anjing haram dimakan juga disebabkan karena jasad anjing adalah najis menurut mayoritas ulama, yaitu madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Bila menyentuh pakaian wajib dicuci, khusus jilatan lidahnya dibasuh tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
طَهُوْرُ إِنَاَءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ اُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
”Sucinya bejana kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali, salah satunya dengan tanah”[6]
Tidak hanya itu, dalil lain yang berkaitan dengan haramnya daging anjing adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memerintahkan pembasmian anjing, kecuali anjing penjaga ternak dan pemburu.
عَنْ نَفِع، عَنْ عَبْدُ الله، قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَأْمُرُ بِقَتْلِ الْكَلَبِ، فَنَنْبَعِثُ فَي الْمَدِيْنَةِ، وَ أَطْرَافِهَا، فَلَا نَدَعُ كَلْبًا، إِلَّا قَتَلْنَاهُ، حَتّىَ إِنَّا لَنَقْتُلَ كَلْبَ الْمُرَيَّةِ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ يَتْبَعُهَا
Diriwayatkan dari Nafi’ dari ‘Abdullah, ia  berkata, “Dulu Rasullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk membunuh anjing-anjing. Lantas kami pergi ke seluruh penjuru kota sehingga kami tidak meninggalakan seekor anjing yang senantiasa mengikuti tuannya, yaitu anjingnya seorang wanita badui atau pendalaman,”
Seandainya anjing halal dimakan, beliau tidak akan memerintahkan untuk membasminya karena itu artinya menyia-nyiakan harta. Wallahua’lam.[7]
Dalil lain yang menguatkan haramnya daging anjing untuk dikonsumsi adalah larangan untuk memakan hasil dari jual beli anjing.[8] Hal ini menunjukkan bahwa haramnya hasil dari penjualan anjing saja haram bagaimana dengan memakan daging anjing tersebut. Dalilnya:
إِنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْــهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ وَ ثَمَنِ الكَلْبِ وَ مَهْرِ البغْيِ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang hasil penjualan darah, hasil penjualan anjing, dan hasil pelacuran”[9]
Dalil selanjutnya, haramnya anjing dijadikan sebagai hewan peliharaan karena anjing merupakan najis. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menjelaskan bahwa orang yang menjadikan anjing sebagai piaraan akan dikurangi pahalanya setiap hari sebanyak 1 Qirath (ukuran berat di masa dahulu, dalam ukuran sekarang kurang lebih 0,18gr).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam besabda:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارِيًا نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Naafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam : “Barangsiapa memelihara anjing selain untuk menjaga ternak atau untuk berburu, akan berkurang (pahala) amalannya, setiap harinya sebesar dua qirath” [Diriwayatkan Al-Bukhaariy no. 5482].[10]



BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian  diatas menunjukkan bahwa banyak hadits yang menerangkan dengan jelas bahwa daging anjing hukumnya haram, dari memeliharanya tanpa ada tujuan yag diperbolehkan diatas, liurnya, hasil jual belinya, apalagi memakan dagingnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abrazen, Aviv, “Sate Daging Anjing, Hukum, Mitos, Dan Kenyataan” dalam Hujjah, Edisi 1, Januari 2015
Al-Lajnah Ad-Daaimah li Al-buhuts Al-Ilmiah wa Al-Ifta, “Hukum  Jual Beli Anjing” dalam An-Najah, Edisi 43, April 2009
Baghowi, al-, Ibnu Farroi, at-Tahdzib fi Fiqh Imam syafi’i, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.)
Fauzan, al-, Ibnu Abdullah, al-Ath’amah wa Ahkam wa adz-Dzabaih, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t.t.)
Ismail, Muhammad Hasan, at-Tibyan lima Yahillu wa Ma Yahrumu min al-Hayawan,(Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.)
Jauziyah, al-, Ibnu al-Qoyyim, Jami’ al-Fiqh, cet.1 (t.tp., Dar al-Wafa’, 1412 H)
Jazari, al-, Ibnu al-Atsir, Jami’ al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul,cet.1, (t.tp. Maktabah Dar al-Bayan, 1391 H)
Khorosyi, al-, Sulaiman bin, al-Hayawanu Ma Yajuzu Akluhu wa Ma La Yajuzu, cet.1, (Riyad: Dar al-Qosim, 1420 H)
Mursyidi, Muhammad Ali, az-Zabaih wa al-Luhum Baina al-Halal wa al-Haram,(Riyad: al-Maktabah al-Arabiyah as-Su’udiyah, t.t)
Najah MA, An-, Ahmad Zain, “Hukum  Jual Beli Anjing” dalam ar-Risalah, Edisi 161, November 2014
Tarmizi, Erwandi, Haram Haram Muamalat Kontemporer, cet.5, (Bogor: P.T. Berkat Mulia Insan, 2013 M)
Thabrani, ath-, Ibnu Ahmad, al-Mu’jam al-Awsath,(Kairo: Dar al-Haramain, 1995H)
Thabrani, ath-, Ibnu Ahmad, al-Mu’jam al-Kabir, (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, t.t.)
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008 M)
Zaidan, Abdul Karim, al-Mufashal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bait al-Muslim,cet.1, (Bairut: Muasasatu ar-Risalah, 1413H)





[1] Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 72.
[2] Aviv Abrazen, “Sate Daging Anjing, Hukum, Mitos, Dan Kenyataan” dalam Hujjah, Edisi 1, Januari 2015, hlm. 73-74.
[3] Muhammad Hasan Ismail, at-Tibyan lima Yahillu wa Ma Yahrumu min al-Hayawan,(Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.), hlm.158. Muhammad Ali Mursyidi, az-Zabaih wa al-Luhum Baina al-Halal wa al-Haram,(Riyad: al-Maktabah al-Arabiyah as-Su’udiyah, t.t.), hlm. 67.
[4] Ibnu al-Atsir al-Jazari, Jami’ al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul,cet.1, (t.tp. Maktabah Dar al-Bayan, 1391 H), jil. 7, hlm. 454, Sulaiman bin al-Khorosyi, al-Hayawanu Ma Yajuzu Akluhu wa Ma La Yajuzu, cet.1, (Riyad: Dar al-Qosim, 1420), hlm. 70, Ibnu Farroi al-Baghowi, at-Tahdzib fi Fiqh Imam syafi’i, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.), hlm.56, Ibnu Abdullah al-Fauzan, al-Ath’amah wa Ahkam wa adz-Dzabaih, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t.t.) hlm.58, Abdul Karim Zaidan, al-Mufashal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bait al-Muslim,cet.1, (Bairut: Muasasatu ar-Risalah, 1413H),  jil. 3, hlm.44, Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah, Jami’ al-Fiqh, cet.1 (t.tp., Dar al-Wafa’, 1412 H), jil.7, hlm. 13, Aviv Abrazen, “Sate Daging Anjing, Hukum, Mitos, Dan Kenyataan” dalam Hujjah, Edisi 1, Januari 2015, hlm. 74.
[5] Ibnu al-Atsir al-Jazari, Jami’ al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul,cet.1, (t.tp. Maktabah Dar al-Bayan, 1391 H), jil. 7, hlm. 99, Ibnu Abdullah al-Fauzan, al-Ath’amah wa Ahkam wa adz-Dzabaih, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t.t.) hlm.58.
[6] Erwandi Tarmizi, Haram Haram Muamalat Kontemporer, cet.5, (Bogor: P.T. Berkat Mulia Insan, 2013 M), hlm. 63.
[7]  Ibnu al-Atsir al-Jazari, Jami’ al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul,cet.1, (t.tp. Maktabah Dar al-Bayan, 1391 H), jil. 7, hlm. 238, Aviv Abrazen, “Sate Daging Anjing, Hukum, Mitos, Dan Kenyataan” dalam Hujjah, Edisi 1, Januari 2015, hlm. 73-74.
[8] Al-Lajnah Ad-Daaimah li Al-buhuts Al-Ilmiah wa Al-Ifta, “Hukum  Jual Beli Anjing” dalam An-Najah, Edisi 43, April 2009, hlm. 20, Dr. Ahmad Zain An-Najah MA, “Hukum  Jual Beli Anjing” dalam ar-Risalah, Edisi 161, November 2014, hlm. 31.
[9] Ibnu Ahmad ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath,(Kairo: Dar al-Haramain, 1995H), jil.5, hlm. 363, Erwandi Tarmizi, Haram Haram Muamalat Kontemporer, cet.5, (Bogor: P.T. Berkat Mulia Insan, 2013 M), hlm. 66, Aviv Abrazen, “Sate Daging Anjing, Hukum, Mitos, Dan Kenyataan” dalam Hujjah, Edisi 1, Januari 2015, hlm. 73-74, Dr. Ahmad Zain An-Najah MA, “Hukum  Jual Beli Anjing” dalam ar-Risalah, Edisi 161, November 2014, hlm. 31, An-Najah MA, Ahmad Zain, “Hukum  Jual Beli Anjing” dalam ar-Risalah, Edisi 161, November 2014.
[10] Ibnu Ahmad ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, t.t.) jil.7, hlm. 85.
 

Penakluk Senja! Published @ 2014 by Ipietoon

Blogger Templates