BAB I
PENDAHULUAN
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyempurnakan agama-Nya dengan
sangat sempurna. Kesempurnaannya tidak didapat pada agama selain agama islam.
Agama islam memberikan keteraturan dalam hidup. Semuanya telah tersusun rapi
didalam bingkainya. Didalamnya banyak memberikan petunjuk dan cara bagaimana
manusia itu hidup. Cara hidup inilah yang membedakan manusia dengan makhluk
lainnya.
Kesempurnaan itu mencakup segala aspek kehidupan umat manusia. Baik dalam
ruang lingkup dalam pemeritahan dan politik, rung lingkup rumah tangga, akhlak
perorangan, semua hukum bahkan hukum makanan pun telah ditata rapi dan dijelaskan dalam islam.
Begitu juga dengan masalah mengkonsumsi daging anjing yang daging olahannya
beredar dipasaran, baik dalam bentuk sate, rica-rica dan lainnya. Seperti
apakah sebenarnya hukum makan daging anjing yang banyak diminati banyak orang.
Apakah ada khasiat yang tersembunyi di dalamnya. Atau karena memang mereka hobi
memakan daging hewan ini. Islam sudah menjelaskan dengan terperinci tentang hal
ini. Yang mana kita hanya butuh mengkajinya lebih dalam dan mengamalkannya
sesuai dengan apa yang telah diterangkannya.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai hukum memakan daging anjing
menurut ketentuan hukum islam, telah dijelaskan selanjutnya dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi
Definisi anjing dalam
kamus besar bahasa Indonesia ialah binatang menyusui yang biasa dipelihara
untuk menjaga rumah, berburu, dan sebagainya.[1]
2. Analisis atau
contoh-contoh
Pernah kita dengar menu
kuliner bernama “sate jamu” atau “Rica-Rica Guk-Guk”. “Sate Jamu” atau
“Rica-Rica Guk-Guk” adalah samaran untuk masakan daging anjing. Hal ini bukan
hal baru, kuliner ini sudah ada sejak beberapa tahun lalu.
Nama samaran yang biasa
dipakai berbeda antara satu kota dengan yang lain. Di daerah kota Solo dan
Jogja biasa disebut dengan “Sate Jamu” atau “Rica-Rica Guk-Guk” atau “Sengsu”
alias tongseng asu (anjing). Di daerah Semarang biasa disebut Wedus Balap. Di
Manado dan Minahasa, daging anjing dikenal dengan rintek wuuk, nama lain dari
anjing. Di Batak masakan daging anjing diberi kode B1dari kata biang (bahasa
Batak: anjing).
Daging anjing diminati karena
konon katanya, daging anjing dapat menambah stamina. Khususnya stamina untuk
melakukan hubungan seksual. Dilihat dari peminatnya, rata-rata adalah lelaki
berusia menikah.
Orang berpikir jika
memakan daging anjing itu berkhasiat, tapi tidak ada bukti ilmah dari hal itu.
Yang ada justru sebaliknya. Mengkonsumsi daging anjing itu berbahaya. Ada
parasit dab bakteri yang terkandung dalam dagingnya.” Papar Karin Franken dari
Jakarta Animal Aid Network.
Daging anjing tidak
memiliki kandungan gizi khusus seperti halnya yang ada dalam mitos. Sebaliknya, daging anjing rawan terjangkit
virus berbahaya yakni rabies. Anjing merupakan hewan yang memiliki potensi
penyakit zoonisis atau penyakit hewan yang dapat menular ke manusia. Rabies
disebabkan oleh virus rabies. Virus rabies berada dalam liur anjing atau
melalui kontak lain.
Rupanya mitos ini sudah
ada sejak zaman dahulu. Orang pada zaman dahulu ada yang meyakini bahwa daging anjing
dapat menjadi obat. Imam asy-Sya’bi pernah ditanya oleh seseorang tentang
memakan daging anjing untuk obat. Beliau menjawab, “jika ia berobat dengannya,
niscaya Allah tidak akan menyembuhkannya.”[2]
3. Hukumnya
Hukum memakan daging
anjing adalah haram. Karena anjing diktegorikan termasuk hewan yang buas
(as-Siba’). Dan hewan yang buas haram dimakan dagingnya. Tetap haram memakan
daging anjing apa pun itu jenisnya.[3] Sebab
sejinak apapun anjing tersebut, anjing tetap termasuk hewan buas. Sebagaimana
jika ada singa, ular, harimau, dan serigala yang dapat dijinakkan, tidak lantas
dagingnya halal dimakan.
Dalam kitab al-Hayawanu
Ma Yajuzu Akluhu wa Ma La Yajuzu, juga disebutkan bahwa daging anjing haram untuk
dikonsumsi, karena anjing memiliki gigi taring dan juga termasuk kategori hewan
buas. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ
ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامُ
Ibnu Abdullah al-Fauzan, dalam
bukunya al-Ath’amah wa Ahkam wa adz-Dzabaih, menambahkan bahwa haram
juga memakan yang khabits, dan hewan yang memiliki taring juga termasuk
dalam kategori khabits. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَ يَحِـلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتُ وَ يُحرِمُ عَلَيهِمُ
الخَبَائِثُ
“Dan dihalalkan atas mereka
thaiyyibat dan diharamkan atas mereka
khobaits.” (al-A’raf: 157) [5]
Daging anjing haram dimakan juga
disebabkan karena jasad anjing adalah najis menurut mayoritas ulama, yaitu
madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Bila menyentuh pakaian wajib
dicuci, khusus jilatan lidahnya dibasuh tujuh kali, salah satunya dengan tanah.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
طَهُوْرُ إِنَاَءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ
فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ اُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
”Sucinya bejana kalian yang dimasuki mulut anjing adalah
dengan mencucinya 7 kali, salah satunya dengan tanah”[6]
Tidak hanya itu, dalil lain yang
berkaitan dengan haramnya daging anjing adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam pernah memerintahkan pembasmian
anjing, kecuali anjing penjaga ternak dan pemburu.
عَنْ نَفِع، عَنْ عَبْدُ الله، قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَأْمُرُ بِقَتْلِ الْكَلَبِ، فَنَنْبَعِثُ فَي الْمَدِيْنَةِ،
وَ أَطْرَافِهَا، فَلَا نَدَعُ كَلْبًا،
إِلَّا قَتَلْنَاهُ، حَتّىَ إِنَّا لَنَقْتُلَ كَلْبَ الْمُرَيَّةِ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ
يَتْبَعُهَا
Diriwayatkan dari Nafi’ dari ‘Abdullah, ia berkata, “Dulu Rasullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
memerintahkan untuk membunuh anjing-anjing. Lantas kami pergi ke seluruh
penjuru kota sehingga kami tidak meninggalakan seekor anjing yang senantiasa
mengikuti tuannya, yaitu anjingnya seorang wanita badui atau pendalaman,”
Seandainya anjing halal dimakan, beliau tidak akan memerintahkan untuk
membasminya karena itu artinya menyia-nyiakan harta. Wallahua’lam.[7]
Dalil lain yang menguatkan haramnya daging anjing untuk dikonsumsi adalah
larangan untuk memakan hasil dari jual beli anjing.[8]
Hal ini menunjukkan bahwa haramnya hasil dari penjualan anjing saja haram
bagaimana dengan memakan daging anjing tersebut. Dalilnya:
إِنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْــهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ
ثَمَنِ الدَّمِ وَ ثَمَنِ الكَلْبِ وَ مَهْرِ البغْيِ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang hasil penjualan darah, hasil penjualan anjing,
dan hasil pelacuran”[9]
Dalil selanjutnya, haramnya anjing
dijadikan sebagai hewan peliharaan karena anjing merupakan najis. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menjelaskan bahwa orang yang
menjadikan anjing sebagai piaraan akan dikurangi pahalanya setiap hari sebanyak
1 Qirath (ukuran berat di masa dahulu, dalam ukuran sekarang kurang lebih
0,18gr).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam besabda:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ
نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ مَاشِيَةٍ
أَوْ ضَارِيًا نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf : Telah mengkhabarkan kepada kami
Maalik, dari Naafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam : “Barangsiapa memelihara
anjing selain untuk menjaga ternak atau untuk berburu, akan berkurang (pahala)
amalannya, setiap harinya sebesar dua qirath” [Diriwayatkan Al-Bukhaariy
no. 5482].[10]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas menunjukkan bahwa
banyak hadits yang menerangkan dengan jelas bahwa daging anjing hukumnya haram,
dari memeliharanya tanpa ada tujuan yag diperbolehkan diatas, liurnya, hasil jual
belinya, apalagi memakan dagingnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abrazen, Aviv, “Sate Daging Anjing, Hukum, Mitos, Dan Kenyataan” dalam Hujjah,
Edisi 1, Januari 2015
Al-Lajnah Ad-Daaimah li
Al-buhuts Al-Ilmiah wa Al-Ifta, “Hukum
Jual Beli Anjing” dalam An-Najah, Edisi 43, April 2009
Baghowi, al-, Ibnu Farroi, at-Tahdzib
fi Fiqh Imam syafi’i, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.)
Fauzan, al-, Ibnu Abdullah, al-Ath’amah
wa Ahkam wa adz-Dzabaih, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t.t.)
Ismail, Muhammad Hasan, at-Tibyan
lima Yahillu wa Ma Yahrumu min al-Hayawan,(Bairut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, t.t.)
Jauziyah, al-, Ibnu al-Qoyyim, Jami’
al-Fiqh, cet.1 (t.tp., Dar al-Wafa’, 1412 H)
Jazari, al-, Ibnu al-Atsir, Jami’ al-Ushul
fi Ahadits ar-Rasul,cet.1, (t.tp. Maktabah Dar al-Bayan, 1391 H)
Khorosyi, al-, Sulaiman bin, al-Hayawanu
Ma Yajuzu Akluhu wa Ma La Yajuzu, cet.1, (Riyad: Dar al-Qosim, 1420 H)
Mursyidi, Muhammad Ali, az-Zabaih
wa al-Luhum Baina al-Halal wa al-Haram,(Riyad: al-Maktabah al-Arabiyah
as-Su’udiyah, t.t)
Najah MA, An-, Ahmad Zain,
“Hukum Jual Beli Anjing” dalam ar-Risalah,
Edisi 161, November 2014
Tarmizi, Erwandi, Haram
Haram Muamalat Kontemporer, cet.5, (Bogor: P.T. Berkat Mulia Insan, 2013 M)
Thabrani, ath-, Ibnu Ahmad, al-Mu’jam al-Awsath,(Kairo: Dar
al-Haramain, 1995H)
Thabrani, ath-, Ibnu Ahmad, al-Mu’jam al-Kabir, (Kairo: Maktabah
Ibnu Taimiyah, t.t.)
Tim Penyusun, Kamus
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008 M)
Zaidan, Abdul Karim, al-Mufashal
fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bait al-Muslim,cet.1,
(Bairut: Muasasatu ar-Risalah, 1413H)
[2] Aviv Abrazen, “Sate Daging Anjing, Hukum, Mitos, Dan Kenyataan” dalam Hujjah,
Edisi 1, Januari 2015, hlm. 73-74.
[3] Muhammad Hasan
Ismail, at-Tibyan lima Yahillu wa Ma Yahrumu min al-Hayawan,(Bairut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.), hlm.158. Muhammad Ali Mursyidi, az-Zabaih
wa al-Luhum Baina al-Halal wa al-Haram,(Riyad: al-Maktabah al-Arabiyah
as-Su’udiyah, t.t.), hlm. 67.
[4] Ibnu al-Atsir al-Jazari, Jami’ al-Ushul fi Ahadits
ar-Rasul,cet.1, (t.tp. Maktabah Dar al-Bayan, 1391 H), jil. 7, hlm. 454, Sulaiman bin al-Khorosyi, al-Hayawanu
Ma Yajuzu Akluhu wa Ma La Yajuzu, cet.1, (Riyad: Dar al-Qosim, 1420), hlm.
70, Ibnu Farroi al-Baghowi, at-Tahdzib fi Fiqh Imam syafi’i, (Bairut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.), hlm.56, Ibnu Abdullah al-Fauzan, al-Ath’amah
wa Ahkam wa adz-Dzabaih, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t.t.) hlm.58, Abdul
Karim Zaidan, al-Mufashal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bait
al-Muslim,cet.1, (Bairut: Muasasatu ar-Risalah, 1413H), jil. 3, hlm.44, Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah, Jami’
al-Fiqh, cet.1 (t.tp., Dar al-Wafa’, 1412 H), jil.7, hlm. 13, Aviv
Abrazen, “Sate Daging Anjing, Hukum, Mitos, Dan Kenyataan” dalam Hujjah,
Edisi 1, Januari 2015, hlm. 74.
[5] Ibnu
al-Atsir al-Jazari, Jami’ al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul,cet.1, (t.tp.
Maktabah Dar al-Bayan, 1391 H), jil. 7, hlm. 99, Ibnu Abdullah al-Fauzan, al-Ath’amah wa Ahkam wa
adz-Dzabaih, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t.t.) hlm.58.
[6] Erwandi Tarmizi, Haram Haram Muamalat Kontemporer, cet.5, (Bogor:
P.T. Berkat Mulia Insan, 2013 M), hlm. 63.
[7] Ibnu al-Atsir al-Jazari, Jami’
al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul,cet.1, (t.tp. Maktabah Dar al-Bayan, 1391 H),
jil. 7, hlm. 238, Aviv Abrazen, “Sate Daging Anjing, Hukum, Mitos, Dan
Kenyataan” dalam Hujjah, Edisi 1, Januari 2015, hlm. 73-74.
[8] Al-Lajnah Ad-Daaimah li Al-buhuts Al-Ilmiah wa Al-Ifta, “Hukum Jual Beli Anjing” dalam An-Najah,
Edisi 43, April 2009, hlm. 20, Dr. Ahmad Zain An-Najah MA, “Hukum Jual Beli Anjing” dalam ar-Risalah,
Edisi 161, November 2014, hlm. 31.
[9] Ibnu Ahmad
ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath,(Kairo: Dar al-Haramain, 1995H),
jil.5, hlm. 363, Erwandi Tarmizi, Haram Haram Muamalat Kontemporer, cet.5,
(Bogor: P.T. Berkat Mulia Insan, 2013 M), hlm. 66, Aviv Abrazen, “Sate Daging
Anjing, Hukum, Mitos, Dan Kenyataan” dalam Hujjah, Edisi 1, Januari
2015, hlm. 73-74, Dr. Ahmad Zain An-Najah MA, “Hukum Jual Beli Anjing” dalam ar-Risalah,
Edisi 161, November 2014, hlm. 31, An-Najah MA, Ahmad Zain, “Hukum Jual Beli Anjing” dalam ar-Risalah,
Edisi 161, November 2014.
[10] Ibnu Ahmad
ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, t.t.)
jil.7, hlm. 85.
0 komentar:
Posting Komentar