Kamis, 17 Maret 2016

madkhol li ilmil fiqhi

Madkhol

Muqaddimah
Ilmu fiqh merupakan salah satu ilmu yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan seorang muslim. Fiqh merupakan ilmu yang sudah ada sejak dulu, bahkan sejak awal munculnya Islam ilmu fiqh sudah ada.  Sejak zaman Rasulullah  Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam ilmu fiqh sudah berkembang, akan tetapi ilmu fiqh belum menjadi sebuah disiplin ilmu yang banyak dipelajari oleh para shahabat. Karena pada saat shahabat mempunyai suatu permasalahan, mereka langsung merujuk pada Rasulullah  Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka pada saat itu pula, semua masalah yang dihadapi oleh shahabat langsung bisa terselesaikan. Pada saat shahabat bertanya suatu masalah kepada  Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka Rasulullah  Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun  merujuk kepada Al-Qur’an.  
 Jika Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mendapatkannya dalam Al-Qur’an, Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam langsung merujuk kepada As-Sunnah. Pada saat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal, maka banyaklah  timbul permasalahan-permasalahan. Ketika itu  shahabat menggunakan jalur istinbat mereka masing-masing, karena mereka tidak bisa merujuk langsung kepada Rasulullah  Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang sudah meninggal. Dan permasalahan ini tidak hanya berhenti pada masa shahabat saja. Masalah ini masih berlanjut sampai pada zaman tabi’in, tabiut tabi’in,  ulama’ sholihin, bahkan sampai zaman kita sekarang ini.  Periode ini dinamakan dengan  periode  tasyri’.
 Para ulama’ berbeda pendapat dalam pembagian tasyri’. Akan tetapi dari sekian banyak ikhtilaf, dapat disimpulkan bahwa tasyri’ mempunyai lima fase, yaitu:
a.       Periode Pertama.
Tasyri’ pada masa Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ini  berlangsung selama 22 tahun dan beberapa bulan, terhitung sejak kebangkitan Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam tahun ke-13 H atau  610 M sampai wafatnya beliau tahun ke 11 H atau 632 M.
b.      Periode Kedua.
Tasyri’ pada masa khulafaur rasyidin. Ini berlangsung sejak wafatnya Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada tahun 11 H atau 632 M sampai dengan akhir abad pertama hijriah pada tahun 101 H atau 720 M.

c.       Periode Ketiga.
Tasyri’ pada masa tabi’in dan imam mujtahid pada masa keemasan dinasti abbasiyah. Ini berlangsung  selama 250 tahun, yaitu terhitung mulai tahun 101 H sampai tahun 350 H (720 – 961 M).
d.      Periode Keempat.
Tasyri’ pada masa kemunduran dan  taqlid atau kebekuan, jumud, dan statis. Ini dimulai sejak tahun 351 H.
e.       Periode Kelima.
Tasyri’ pada masa pembangunan kembali, kebangkitan atau renaissance. Ini bermula pada tahun 1786 M sampai sekarang

Pengertian Tasyri’.
Secara bahasa tasyri’ berarti “ pembuatan undang-undang”.[1] Secara  istilah syara’ adalah pembentukan atau pembuatan undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan orang dewasa, dan ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang yang terjadi dikalangan mereka.[2]
Jika pembentukan undang-undang ini bersumber dari Allah Subhana Wa Ta’ala dengan perantara Rasul dan kitab-Nya, maka ini dinamakan dengan perundang-undangan Allah Subhana Wa Ta’ala (At-Tassyri’ul Ilahi). Sedangkan jika perundang-undangan ini bersumber dari manusia, baik berkelompok atau pun individual, maka ini dinamakan dengan perundang-undangan manusia (At-Tasyri’ul  Wad’i ).[3]
Pengertian Fiqh.
Secara bahasa fiqh dapat berarti faqaha yang berarti “memahami” atau “mengerti”.[4]
Sedangkan menurut ilmu syar’i fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah dari dalil-dalil yang terperinci.[5]

Sejarah Perkembangan Fiqih (Tarikh Tasyri’)
Tarikh tasyri’ atau perkembangan fiqh bermula pada zaman Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkembang pada masa tersebut. Karena pada saat ini, Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang punya wewenang dan hak tentang penentuan hukum. Dan masa ini dinamakan dengan masa kenabian, dikarenakan pasa saat itu Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup, dan pada saat itulah Allah Subhana Wa Ta’ala menurunkan wahyu kepada Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai beliau wafat.
Alasan juga kenapa dinamakan dengan masa kenabian yaitu karena pada masa ini merupakan masa perkembangan dan pembangunan ilmu fiqh. Yaitu suatu masa yang diturunkan syari’at fiqh dalam makna yang sebenarnya.
Pada masa Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam permasalah dalam ilmu fiqh itu sangat sedikit sekali. Semua itu karena adanya Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam diantara para shahabat, yang menjadi rujukan langsung jika mereka mendapatkan suatu permasalahan. Para shahabat kembali kepada Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika mendapatkan suatu permasalah hukum yang belum mereka pahami. Dan secara langsung Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan menjelaskan secara detail tentang masalah tersebut.
Setelah wafatnya Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam, disini barulah mulai timbul permasalahan-permasalahan fiqh. Para shahabat bingung bagaimana cara penetapan hukum, karena Rasulullah SAW telah wafat. Karena tidak ada Rasulullah SAW sebagi rujukan bertanya, para sahabat akhirnya melakukan ijtihad dengan menggunakan dasar hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Setelah masa shahabat yaitu masa tabi’in. Pada masa ini juga sumber hukumnya masih sama dengan masa shahabat. Dan para tabi’in masih mengikuti cara shahabat dalam penetapan hukum.
Saat penghabisan masa tabi’in, disinilah mulai banyak timbul permasalahan-permasalahan baru. Hal ini karena tercampurnya orang-orang Arab dengan orang non Arab dan tercampurnya pemahaman mereka, sehingga menimbulkan ikhtilaf  dalam hukum.  Hal ini berlanjut hingga saat ini dan bahkan hingga akhir zaman.
Disini kita mengetahui bahwasanya para mujtahid bukanlah orang yang membuat hukum, akan tetapi mereka hanya menyimpulkan hukum-hukum yang sudah ada. Para mujtahid menyimpulkan hukum-hukum tersebut harus merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan kesimpulan yang benar.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan sejarah perkembangan fiqh Islam (tarikh tasyri’) adalah ilmu yang membahas tentang keadaan fiqh pada masa Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan masa-masa sesudahnya, untuk menentukan masa terjadinya hukum, serta mengetahui keadaan fuqaha’ dan mujtahid dalam penentuan hukum.
Periodesasi Pada Masa Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Periode ini bermula saat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam berada di gua Hira’ pada hari jumat 17 Ramadhan tahun ke 13 sebelum hijrah bertepatan dengan tahun 610 M. Periode ini berlangsung hanya beberapa tahun saja, yaitu tidak lebih dari 22 tahun dan beberapa bulan saja.[6] Akan tetapi pada masa ini mempunyai banyak pengaruh penting. Sebab pada periode ini telah meninggalkan sebagian dari ketetapan hukum  yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pada masa ini juga, sudah meninggalkan berbagai pokok hukum tasyri’ dan menunjuk berbagai sumber dan dalil hukum untuk mengetahui suatu persoalan yang belum ada ketetapan hukumnya. Dengan  begitu, pada masa ini telah membentuk dasar undang-undang yang sempurna.
Poriode ini memiliki dua fase, yang mana masing-masingnya mempunyai corak yang berbeda. Fase-fase tersebut dapat dirincikan sebagai berikut:
a.      Fase Makkah.
Fase ini bermula sejak Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam tinggal di Makkah selama 12 tahun beberapa bulan saja. Fase ini terhitung semenjak Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam diutus sebagai seorang Rasul hingga beliau hijjrah ke Madinah.[7]
Pada masa ini umat Islam masih sangat sedikit sekali, masih lemah, dan belum bisa membentuk suatu kekuatan. Oleh karena itu, perhatian Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih difokuskan kepada pembentukan dan penanaman da’wah untuk menyembah Allah Subhana Wa Ta’ala dan memalingkan mereka dari sesembahan berhala dan patung.
Pada masa ini juga, Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam membentengi dirinya dan umat Islam agar kuat terhadap tantangan orang-orang non muslim yang mengejek umat Islam. Sehingga pada masa ini tidak ada hukum yang membahas tentang pemerintahan, perdagangan dan hukum-hukum yang lainnya. Oleh karena itu, surat-surat makkiyah yang ada didalam Al-Qur’an tidak membahas tentang hukum ibadah dan muamalah, akan tetapi kebanyakan membahas tentang keyakinan atau kepercayaan, budi pekarti, tauladan dan cerita dari perjalanan hidup umat terdahulu.
b.      Fase Madinah.
Fase ini  kurang lebih selama 10 tahun lamanya. Fase ini bermula ketika Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam berhijrah ke Madinah sampai waktu wafatnya. Fase ini Islam sudah berkembang pesat dan kuat, jumlahnya pun sudah semakin banyak dari pada fase di Makkah. Ummat Islam pada masa ini juga sudah mempunyai suatu pemerintahan yang berjalan dengan lancar dimedia da’wah.
Keadaan ini merupakan penyebab utama yang mendorong para mujtahid untuk mengadakan tasyri’ dan pembentukan perundangan-undangan. Dengan ini juga dapat mengatur hubungan antara umat Islam dengan non muslim baik dalam keadaan damai ataupun dalam keadaan perang. Oleh karenanya ayat-ayat makiyyah membahas tentang hukum syari’at seperti nikah, perceraian, warisan, hutang piutang, pidana dan lain sebagainya. Ayat Madaniyah selain membahas tentang hukum, ada juga yang membahas tentang akhlak dan cerita tentang umat terdahulu.[8]
Sumber Hukum Pada Masa Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
a.    Al-Qur’an.
Pengertian Al-Qur’an.
Kata Al-Qur’an dalam bahasa arab dapat diartikan “qara’a” yang diartikan dengan “membaca”, “mengumpulkan” atau “menghimpun”.[9]
Dalam istilah Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang ditulis dalam lembaran-lembaran, sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, membacanya merupakan ibadah, diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhri dengan surat An-Naas.[10]
Al-Qur’an Dalam Menetapkan Hukum.
Dalam menetapkan hukum Al-Qur’an menggunakan prinsip. Diantara prinsip-prinsip Al-Qur’an dalam menetapkan hukum adalah sebagi berikut:
a.     Memberi kemudahan dan tidak menyulitkan.
Ini sesuai dengan firman Allah Subhana Wa Ta’ala yang artinya: “ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.” (At-Talaq: 7)
b.    Menyedikitkan tuntutan.
Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman:
يآيُّها الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لاَ تَسْئَلُوْاعَنْ أَشْيَآءَ اِنْ تُبْدَلَكُمْ تَسُؤْمُمْ وَ اِنْ تَسْئَلُوْا عَنهَا حِيْنَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَلَكُمْ                                     
عَفَا اَللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُوْرُ حَلِيْمٌّ. قَدْ سَاَلَهَا قَوْمٌ مِّنْ قَبْلِكُمْ ثُمَّ اَصْبَحُوْا بِهَا كَافِرِيْنَ. (المائدة:101-102 )
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada mu, (justru) menyusahkan kamu. Jika kamu menanyakan ketika Al-Qur’an sedang diturunkan, (niscaya) akan diterangkan kepadamu. Allah Subhana Wa Ta’ala telah memaafkan (kamu) tentang hal itu. Dan Allah Subhana Wa Ta’ala Maha Pengampun, Maha Penyantun. Sesungguhnya sebelum kamu telah ada segolongan manusia yang menanyakan hal-hal serupa itu (kepada Nabi mereka), kemudian mereka menjadi kafir.” (Al-Maidah:101-102)
c.    Bertahan dalam menetapkan hukum.
Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar  dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari pada manfaatnya.” ( Al-Baqarah: 219)
d.   Al-Qur’an memberikan hukum sejalan dengan kemaslahatan manusia.

B. Sunnah.
Pengertian Sunnah.
Sunnah secara bahasa berarti “cara yang dibiasakan” atau “cara yang terpuji”.
Sunnah secara istilah berarti,
ما صدر عن النبى غير القرآن من قول أو فعل أو تقرير
“Sumber yang disandarkan kepada Nabi selain Al-Qur’an dari perkataan, perbuatan atau persetujuan.”[11]
Sunnah dalam menetapkan hukum.
a.    Sebagai penguat bagi Al-Qur’an.
Sebagai penguat hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Seperti mendirikan shalat, membayar zakat, melarang untuk berbuat syirik, dan memakan harta orang lain. Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لا يحل امرئ مسلم إلا بطيب نفس منه
“Tidak halal harta seorang muslim itu, kecuali dengan kebaikan darinya”.
Hadits diatas merupakan penguat dari firman Allah Subhana Wa Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَأْكُلُوْا أَمْوَلَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ (النساء29 :)
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian saling memakan harta diantaramu dengan jalan yang batil”. (An-Nisa’:29)
b.     Sebagai penjelas bagi Al-Qur’an.
Sunnah sebagai penjelas bagi ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal (umum). Seperti perintah zakat dalam Al-Qur’an yang masih umum, diperjelas dalam sunnah dengan menyebutkan kadar nishabnya.
c.    Membatasi kemutlakan.
Al-Qur’an memerintahkan untuk berwasiat, akan tetapi tidak ada batasan dalam wasiat. Kemudian sunnah memberi batasan dalam berwasiat.
d.   Mentakhsiskan keumuman.
Al-Qur’an mengharamkan bangkai, sunnah memberi pengkhususan dengan pengeculian bangkai ikan dan  belalang.
e.    Menciptakan hukum baru.[12]

Periodesasi Pada Masa Khulafaur-Rasyidin.
Periode ini dimulai sejak wafatnya Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada tahun 11 H, dan berakhir pada akhir abad 1 H. Periode ini dipegang oleh para shahabat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Pada masa ini perkembangan Islam semakin meluas sampai diluar semenanjung Arab seperti Mesir, Syiria, Persi dan Iran.
Periode shahabat ini memiliki sumber hukum yang sangat sempurna, yaitu berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kemudian dilengkapi dengan adanya Ijma’ dan Qiyas. Belum lagi ditambah dengan adat istiadat dan peraturan dari berbagai daerah yang tidak menyelisihi undang-undang dan peraturan Islam.
Sumber Hukum Pada Masa Khulafaur-Rasyidin.
Pada masa khulafaur rasyidin mempunyai tiga sumber hukum yaitu:
a.    Al-Qur’an.
b.    Sunnah.
c.    Ijtihad sahabat.
Para shahabat mengunakan tiga sumber hukum diatas dalam menentukan suatu hukum. Jika mendapatkan suatu permasalahan, mereka langsung merujuk kepada Al-Qur’an. Jika para shahabat tidak mendapatkan ketentuan hukum dalam Al-Qur’an, maka para shahabat akan mencari hukum tersebut di dalam As-Sunnah kemudian mengamalkan  dan melaksanakan hukum dengan ketentuan hukum yang ada dalam As-Sunnah.
Kalau para shahabat tetap tidak menemukan hukum yang mereka cari dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, barulah mereka menggunakan ijtihad mereka. Mereka juga berijtihad berdasarkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.[13]


Periodesasi Pada Masa Tabi’in.
Periode ini berlangsung  selama 250 tahun, yaitu terhitung mulai tahun 101 H sampai tahun 350 H (720 – 961 M).[14] Pada masa ini kekuasaan Islam semakin meluas keberbagai kota, sampai ke kota-kota yang dihuni oleh orang-orang non Arab. Pada saat ini juga telah banyak ulama’ yang bertebaran didaerah non Arab, sehingga tidak sedikit dari kalangan mereka yang memeluk agama Islam.
Pada periode tabi’in ini juga mengalami perkembangan yang sangat pesat.  Penulisan dan pembukuan hukum Islam dilakukan dengan sempurna, baik berupa penulisan hadits-hadits Nabi, fatwa-fatwa para shahabat dan tabi’in, tafsir Al-Qur’an, kumpulan pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan ushul fiqih. Sebab pada masa ini telah muncul perundang-undangan Islam yang mengambil hukum terhadap apa yang sudah terjadi dan yang mungkin akan terjadi.[15]
Masa tabi’in merupakan masa keemasan bagi perundang-undangan Islam. Karena pada masa ini hukum Islam telah berkembang. Pemerintahan Islam pada masa tabi’in juga kaya dengan hukum-hukum iIslam dari berbagai daerah yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda.
Sumber Hukum Pada Masa Tabi’in.
Setelah masa khalifah yang empat berakhir, fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayyah. Pemerintahan ini di dirikan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan yang sebelumnya menjadi gubernur Damaskus.
Pada zaman pemerintahan Banu Umayyah, sistem kepemimpinan diganti dengan sistem kerajaan. Dan sumber hukum pada masa ini ada empat:
a.    Al-Qur’an.
b.    As-Sunnah.
c.    Al-Ijma’.
d.   Ijtihad dengan jalan Qiyas atau Ijtihad dengan satu jalan dari jalan-jalan istinbat (pengambilan hukum).[16]
Jika seorang mufti telah menemukan nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam menentukan suatu hukum, maka mereka akan cukup dengan hukum tersebut. Kalau mereka tidak mendapatkannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka mereka kembali pada ijma’ para ulama’ salaf dan mengamalkannya. Jik masih tidak mendapatkan dari ijma’ para ulama’ salaf, barulah mereka beristinbat dengan jalan yang sudah di tunjukkan oleh syar’i.
Periodesasi Pada Masa Kemunduran.
Periode ini adalah periode dimana para ulama’ sudah mengalami kelemahan, kemunduran, dan kebekuan dalam semangat ijtihad. Hal ini dikarenakan mereka telah biasa membiasakan diri mengikuti hukum-hukum yang sudah dikembangkan pada masa imam-imam mujtahid.
Periode ini dimulai kira-kira pada pertengahan  abad ke empat hijriyah. Hal ini bersamaan dengan waktu dimana umat Islam ditimpa dengan berbagai permasalahan politik, moral dan social, yang mendorong mereka menuju kepada titik kelemahan. Sehingga dengan kelemahan tersebut berhentilah gerakan ijtihad pada masa ini dan matilah semangat berfikir para ulama’ dalam menetapkan suatu hukum.
Periodesasi Pada Masa Kebangkitan Dan Masa Renaissance[17].
Fase ini di mulai sejak abad ke 13 H sampai sekarang. Fase ini memiliki corak yang sangat berbeda dari fase-fase yang lain. Pada masa ini dapat menghadirkan fiqh ke zaman yang baru seiring dengan perkembangan zaman. Periode ini juga dapat memberikan masukan dalam menentukan jawaban bagi setiap permasalahan yang muncul pasa saat itu dan sampai hari ini dari sumbernya yang asli, menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tertentu.
Periode ini ditandai dengan gerakan pembaharuan pemikiran yang kembali pada Islam. Diantara tanda-tanda kemajuannya adalah:

a.    Di bidang perundang-undangan.
Periode ini dimulai sejak berlakunya majalah Al-Ahkam Al-Adliyah yaitu buku tentang perundang-undangan hukum Islam pada masa pemerintahan Turki Utsmani pada tahun 1867 M.
b.    Di bidang pendidikan.
Diperguruan tinggi yang ada di Mesir, Pakistan dan Indonesia dalam mempelajari fiqh tidak hanya dipelajari begitu saja, akan tetapi ada sebuah perbandingan. Bahkan hukum-hukum istiadat dari daerah tersebut. Dengan begitu wawasan fiqh semakin berkembang bersamaan dengan perkembangan zaman.
Pada abad-14  telah muncul mujtahid besar seperti, Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) dan muridnya Ibnu Qoyyim al-Jauziah (1292-1356 M). Dan dilanjutkan pada abad-17 dengan Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787 M) yang terkenal dengan gerakan wahabi yang mempunyai pengaruh besar terhadap gerakan padri di Minangkabau (Indonesia).
Zaman kebangkitan pemikiran hukum Islam ini dilanjutkan sekarang dengan sistem baru dalam mempelajari dan menulis hukum Islam. Di samping sistem pemberian materi kuliah khususnya di Fakultas Hukum yang telah berubah tersebut, juga diadakan cara-cara baru dalam menuliskan (melukiskan) hukum Islam. Selain kebangkitan pemikiran hukum Islam di kalangan orang-orang Islam sendiri, terutama di masa akhir-akhir ini, perhatian dunia terhadap perkembangan hukum Islam menjadi bertambah.

Kesimpulan.
Perkembangan Islam memiliki beberapa fase perkembangan. Dari zaman Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam hingga zaman sekarang. Masing-masing zaman memiliki tahapan-tahapan. Dengan adanya mekalah ini semoga membantu sedikit penerangan tentang fase-fase tersebut. Dan dengan adanya makalah ini kita akan semangat dalam mengembangkan Islam hingga Islam akan jaya pada titik akhirnya.


DAFTAR PUSTAKA
·         Al-Qaththan, Manna’. 2011. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, cetakan 6.
·         Khalaf, Abdul Wahab.  Khulashoh Tarikh Tasyri’ al-Islami, Solo: CV. Ramadhani.
·         Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir. Indonesia: Pustaka Progressif, cetakan 14.
·         Zuhaili, Wahbah. 1999. Al-Wajiz fii Ushul Fiqh. Pustaka Darul Fikr.



[1] Ahmad Warson Munawwir, kamus Al-Munawwir ( Indonesia, pustaka progressif, cetakan 14  thn 1997 M) hal, 712.

[2]  Abdul Wahab Khalaf, Khulashoh Tarikh Tasyri’ al-Islami, (Solo, CV. Ramadhani) hal, 7.
[3]  Ibid, hal, 7.
[4] Ahmad Warson Munawwir, kamus Al-Munawwir , hal, 1067.
[5] Wahbah zuhaili, Al-wajiz fii ushul fiqh (damaskus, darul fikr, thn 1999 M) hal, 14.
[6] Abdul Wahab Khalaf, Khulashoh Tarikh Tasyri’ al-Islami, (Solo, CV. Ramadhani) hal, 9.
[7] Ibid
[8] Ibid hal, 10.

[9] Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, cet 6, 2011) hal, 16.
[10] Wahbah zuhaili, Al-Wajiz fii Ushul Fiqh (damaskus, darul fikr, thn 1999 M) hal, 24.
[11]Ibid hal, 35.
[12] Wahabah Zuhaili, Al-Wajiz fii Ushul Fiqh (Darul Fikr, thn 1999) hal, 37.
[13] Abdul Wahab Khalaf, Khulashoh Tarikh Tasyri’ al-Islami, (Solo, CV. Ramadhani) hal, 33.
[14] Ibid hal, 57.
[15] Ibid hal, 58.
[16] Abdul Wahab Khalaf, Khulashoh Tarikh Tasyri’ al-Islami, (Solo, CV. Ramadhani) hal, 65.
[17] Renaissance adalah hidup kembali atau menyangkut hari kelahiran suatu kebudayaan.
 

Penakluk Senja! Published @ 2014 by Ipietoon

Blogger Templates