Sabtu, 16 September 2017

Menikah Dini dalam Islam

Menikah di Usia Dini Oleh: Penakluk Senja Menikah merupakan suatu yang kompleks yang sangat melibatkan fisik, pikiran, mental, dan keberanian dalam menempuh kehidupan yang berbeda. Saat itu seseorang memulai memvariasikan hidupnya dengan mencoba menjadi bagian dari hidup orang lain, dan menjalin hubungan yang berasaskan saling melengkapi untuk mencapai satu kebahagiaan yang ditempuh bersama-sama. Masa dini adalah masa emas seseorang. Masa produktif untuk membentuk keturunan. Bukan suatu hal yang tabu untuk dibahas dan dikupas. Sebab jika kita berkaca pada sejarah, akan kita dapati kisah pernikahan Rasulullah dengan ibunda Aisyah. Sebagaimana tersebut dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah menikahi Aisyah, sedangkan umur beliau saat itu baru 6 tahun. Lantas Rasulullah baru membangun rumah bersama ibunda Aisyah saat beliau telah menginjak usia 9 tahun. Namun, pernikahan Rasulullah dengan ibunda Aisyah bukan tanpa tujuan. Ada misi besar dibalik pernikahan keduanya. Disamping ia adalah ilham yang diberikan oleh Allah pada nabi-Nya untuk meminang Aisyah lewat mimpi. Mimpi melihat Aisyah dalam gambaran pada sutra hijau dan dikatakan pada Rasul bahwa ia adalah istrinya di dunia dan di akhirat. Lantas, bagaimana pernikahan pada usia dini pada zaman ini? Pernikahan dalam Definisi Menikah secara etimologi merupakan derivasi daripada kata nakaha-yankihu= nikahan, yang artinya berkumpul dan bergabung. Dikatakan “Nakahat al-Asyjar”, maka maknanya pohon-pohon itu tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat. Imam An-Nawawi mengatakan bahwa lafal nikah kadang didevinisikan dengan akad nikah dan terkadang dengan hubungan seksual (jimak). Adapun secara terminology menikah adalah akad yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang dengan akad tersebut dihalalkan bagi keduanya untuk saling menikmati. Dalil Disyariatkannya Menikah Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata : قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda pada kami: “Wahai generasi dini, barangsiapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta), hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat) .” Manfaat Menikah Dini 1. Terhindar dari fitnah Menikah dini akan membantu seseorang terhindar dari fitnah. Disamping modernisasi zaman yang terus berkelindan, cobaan syahwat untuk kaum adam maupun hawa semakin besar, terbuka lebar. Maka menikah adalah solusi seorang laki-laki terhindar dari fitnah yang disabdakan nabi Shallallahu Alihi Wasallam bahwa, “Tak kutinggal fitnah yang lebih dahsyat dari seorang wanita” 2. Memperkuat iman Jika biduk rumahtangga hendak dibangun, maka ketenangan dalam jiwa akan terasa. Ia akan memperkuat iman, mencegah dari berbuat serong yang dilarang dalam Islam. 3. Menghindarkan diri dari hal yang dibenci dan dimurkai Allah Menikah dini merupakan bentuk menghndarkan diri dari hal-hal yang dimurka. Dari hanya berupa chatting dengan lawan jenis yang bukan mahram tanpa ada alas an syar’I yang membenarkan, atau bahkan hingga tindak pacaran. Hukum Menikah Dini Ditinjau Dari Pelakunya Hukum menikah dini menurut jumhur ulama adalah boleh, sebab tidak ada persyaratan aqil baligh bagi terlaksananya sebuah akad pernikahan. Sehingga tidak mengapa seseorang menikah pada usia dini. Adapun dalil yang mereka kemukakan diantaranya, yaitu: 1. Adanya penjelasan terkait iddah anak kecil perempuan yaitu selama 3 bulan. Hal ini termaktub dalam firman-Nya, surat Ath-Thalaq: 4. 2. Perkawinan nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan ibunda Aisyah yang saat itu masih kecil. 3. Atsar sahabat Ali radhiallahu ‘anhu yang mengawinkan putrinya, Ummu Kultsum ketika ia masih kecil dengan sahabat Urwah bin Zubair radhiallahu ‘anhu. 4. Bisa jadi terdapat maslahat menikahkan anak kecil. Mungkin si ayah menemukan pasangan yang setara untuk anak perempuannya, maka ia tidak perlu menunggu sampai masa baligh. (Al-Mabsuth / 4: 212) Sebagaimana tersebut diatas bahwa pada asalnya Islam memperbolehkan seseorang menikah di usia dini. Akan tetapi kebolehan tersebut tidak masuk dalam kategori dianjurkan atau diwajibkan. Namun jika dikaitkan dengan situasi dan kondisi pada orang yang akan menikah, maka hukumnya bisa bervariasi. Pertama : Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang mempunyai hasrat yang tinggi untuk menikah karena syahwatnya bergejolak sedangkan dia mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup. Dia merasa terganggu dengan gejolak syahwatnya, sehingga dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam perzinaan. Maka jika seseorang sudah mencapai hokum wajib menikah, ia harus menikah meski secara umur ia masih dikatakan dini. Sebab yang menjadi pertimbangan hokum dalam menikah bukanlah tua dini atau hitungan umur, tetapi lebih pada hokum menikah bagi orang yang hendak menikah tersebut. Kedua : Nikah hukumnya sunah bagi orang yang mempunyai syahwat, dan mempunyai harta, tetapi tidak khawatir terjerumus dalam maksiat dan perzinaan. Dalam kondisi seperti ini seorang yang akan menikah dapat mempertimbangkan lagi. Apakah dengan pernikahannya akan mendatangkan maslahat demi kebaikan dunia akhiratnya. Atau ia memilih aktifitas yang lain seperti sekolah, bekerja atau berdakwah. Ketika menikah dini, seorang yang berada dalam kondisi ini tidaklah mengapa, namun peraturan Negara yang tidak memperbolehkan seseorang menikah dibawah umur yang telah ditetapkan pun merupakan bentuk ketidakmampuan. Ketiga : Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai syahwat, tetapi tidak mempunyai harta. Atau bagi orang yang mempunyai harta tetapi tidak mempunyai syahwat. Banyak di kalangan kita yang berada dalam kondisi ketiga ini. Sehingga hal yang paling penting kita lakukan adalah menahan diri, berpuasa dan melakukan amalan yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat nanti. Keempat : Nikah hukumnya makruh bagi orang yang tidak punya harta dan tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat). Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk dinikahi, tetapi dia harus mencari harta untuk menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan olehnya. Tentu akan lebih baik, jika dia mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu. Selain itu, istrinya akan sedikit tidak terurus, dan kemungkinan tidak akan mendapatkan nafkah batin, kecuali sedikit sekali, karena sebenarnya suaminya tidak membutuhkannya dan tidak terlalu tertarik dengan wanita. Dalam masalah nikah dini, mungkin jenis hokum yang keempat ini banyak dijadikan sandaran bagi yang lain. Sebab para pelaku nikah dini terkadang hanya berbekal nekat. Kelima : Nikah hukumnya haram, bagi yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung jawab dan akan menelantarkan istri dan anak. Setelah kita tahu, maka alangkah lebih baiknya meski ia boleh namun dihindari lebih baik. Hal ini menimbang bahwa menikah adalah memikul tanggung jawab yang besar bagi laki-laki untuk menafkahi dan mendidik istri. Sehingga pendidikan yang cukup pun dibutuhkan. Begitu pula hal ini berlaku pada wanita. Jika ia menikah berarti ia siap menjadi seorang ibu, sedangkan tugas seorang ibu adalah sebagai madrasatul ula. Maka, sebagai wanita sudah selayaknya menempa diri untuk menjadi ibu yang berprestasi dalam mendidik anaknya guna mencapai kontribusi yang baik untuk dienul Islam nanti. Wallahu A’lam bish Shawab.

0 komentar:

 

Penakluk Senja! Published @ 2014 by Ipietoon

Blogger Templates