Senin, 11 September 2017
Hukum Arisan Haji
Hukum Arisan Haji
Sebagai seorang muslim tentunya sangat memendam rindu untuk mampu berziarah ke tanah suci, Makkah Al-Mukarramah guna menunaikan ibadah haji. Menunaikan kewajiban daripada rukun iman yang ke-lima, ibadah haji ke baitul ‘atiq. Sebagai bukti atas firman Allah Ta’ala, “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) sebagai tempat (manusia datang kepadanya akan ingin kembali)”. (QS. Al-Baqarah: 125)
Demi pelepasan rindu tersebut, banyak manusia melakukan berbagai macam cara untuk sampai berkunjung ke tempat tersebut. Diantara ada yang menyisihkan sebagian hartanya sedikit demi sedikit supaya terkumpul ongkos naik haji. Bahkan dewasa ini, terdapat sebuah lembaga keuangan syariah yang melakukan pengambil alihan himpunan dana dengan cara memberikan dana talangan haji. Produk ini dilegalkan oleh fatwa DSN, no. 29/ DSN_MUI// VI/ 2002, tentang “Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah”.
Namun jika ditinjau pada prakteknya produk ini masih terdapat keraguan akan kehalalannya. Padahal, halal tidaknya produk tersebut berhubungan erat dengan kemabruran haji orang yang mendapatkan dana dari produk ini.
Untuk memperjelas masalah ini, maka pada An-Najma edisi kali ini kita akan melihat produk tersebut dalam tinjauan fikih.
Bentuk Nyata Dana Talangan Haji
Bentuk nyata akad dana talangan haji yaitu; seseorang yang ingin mendaftar haji datang ke salah satu lembaga keuangan syariah, lalu mendaftarkan diri untuk haji dengan membuka rekening tabungan haji, serta membayar saldo minimal 500 ribu rupiah. Kemudian agar ia mendapat kepastian seat untuk tahun berapa, maka ia harus melunasi sebanyak 20 juta rupiah. Bank dapat memberikan dana talangan haji dengan pilihan 10 juta rupiah, 15 juta, atau 18 juta rupiah.
Gambaran nyatanya, jika pendaftar memilih talangan 18 juta rupiah berarti ia mengeluarkan dana tunai sebesar 2 juta rupiah. Dan 18 juta rupiah akan ditalangi oleh Lembaga Keuangan Syariah. Utang pendaftar haji yang diberikan pada Lembaga Keuangan Syariah yang berjumlah 18 juta rupiah akan dibayar secara angsuran selama satu tahun ditambah dengan biaya administrasi sebanyak 1,5 juta rupiah. Sehingga yang harus dibayarnya ke Lembaga Keuangan Syariah menjadi 19,5 juta rupiah. Jika dalam setahun tidak terlunasi hutangnya kepada bank, maka ia dikenakan biaya administrasi baru. Begitu pula hal ini berlaku pada angsuran yang dikeluarkan sebanyak 15 ataupun 10 juta rupiah.
Dalam Tinjauan Fikih
Dalam produk dana talangan haji ini terdapat dua akad yang digabung dalam sebuah produk, yaitu akad qardh (pinjam meminjam) dalam bentuk pemberian talangan dana dari pihak bank kepada pendaftar haji. Adapun akad yang kedua yaitu akad ijarah (jual beli jasa) dalam bentuk ujrah (fee administrasi yang diberikan oleh pendaftar haji sebagai pihak terhutang kepada bank sebagai pihak pemberi pinjaman). Sedangkan menggabungkan akad qardh dengan ijarah telah dilarang oleh Rasulullah melalui sabdanya,
"لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ"
“Tidak halal menggabungkan akad pinjaman dan akad jual beli”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Albani)
Dan akad ijarah merupakan akad jual beli, yaitu jual beli jasa. Maka dengan demikian produk tersebut bertentangan dengan hadits nabi, karena akad ijarah dapat dimanfaatkan oleh pemberi pinjaman untuk mengambil laba dari pinjaman yang diberikan sehingga termasuk dalam larangan pinjaman yang mendatangkan manfaat atau keuntungan.
Namun bila pintu pengambilan keuntungan ditutup rapat, maka akad tersebut diatas dapat diperbolehkan sebagaimana difatwakan oleh lembaga fikih internasional. Begitupula sebagaimana dinyatakan dalam fatwa DSN yang membolehkan mengambil biaya administrasi yang nyata-nyata diperlukan dalam jumlah tetap dan bukan berdasarkan pada besarnya pinjaman.
Namun, fatwa tersebut tidak dijalankan pada praktek yang dijelaskan sebelumnya, dimana besarnya biaya administrasi bervariasi berdasarkan besarnya pinjaman yang diberikan oleh bank. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pihak bank tidak sekedar menarik biaya administrasi nyata-nyata yang diperlukan, akan tetapi disana telah dimasukkan laba dari peminjaman. Maka jelas hukumnya bahwa hal ini termasuk riba.
Jika dilihat dari presentase besarnya biaya administrasi ini, yaitu sekitar 10 % dari besarnya pinjaman, maka ia tak ubahnya seperti bunga pinjaman yang ditarik oleh bank konvensional. Selain itu, pada saat pendaftar haji yang berstatus sebagai peminjam tidak mampu melunasi hutangnya dalam waktu 1 tahun yang dijanjikan, maka ia akan dikenakan uang administrasi baru. Hal ini juga tak ubahnya seperti riba jahiliyyah, ketika peminjam tidak mampu mengembalikan hutang dikenakan denda, hanya saja pada kasus ini diganti namanya dengan biaya administrasi.
Maka, sebagai hamba yang berhati-hati akan kemabruran haji yang dikerja nanti, sudah selayaknya jangan sampai terjebak dalam produk ini, karena mengandung syubhat riba. Hendaknya membayar biaya ongkos haji secara tunai sebanyak 20 juta rupiah agar bias mendapatkan kepastian seat tahun keberangkatan serta tidak menggunakan dana talangan bank. Dan bagi yang sudah terlanjur, ingatlah, “Orang-orang yang telah sampai padanya larangan dari rabbnya lantas berhenti (dari mengambil harta riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu, dan urusannya pada Allah….”. (QS. Al-Baqarah: 275) Wallahu A’lam bish Shawab (Nazahah)
Disarikan dari: Harta Haram Muamalah Kontemporer dengan perubahan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar