Rukun Sholat
Menurut Empat Madzhab
Oleh: ‘Inayah
Nazahah*
Syariat Islam merupakan syariat
yang syumul. Ia mencakup seluruh bidang dalam lini kehidupan manusia. Islam
tidak hanya mengenalkan dan mengajarkan ajaranya dengan global saja, bahkan
syariat itu sendiri menjelaskan kandungan agama dengan sangat terperinci.
Sholat. Ia merupakan salah satu
syariat Islam yang tak seorangpun diperbolehkan meninggalkanya. Dalam kondisi
apapun. Hanya saja Islam yang rahmatan lil’alamin memberikan keringanan
bagi siapa yang hilang qudrah dalam tatacara pelaksanaanya, tanpa
kebolehan untuk meninggalkanya.
Dalam sholat, Alloh telah menashkan
baik secara dhahir maupun khofy tatacara pelaksanaanya. Ia telah
menggariskan sebuah rukun dan syarat yang harus dilaksanakan bagi seorang hamba
ketika hendak melaksanakan sholat. Melihat betapa urgenya sebuah rukun yang merupkan
syarat sahnya Sholat, maka pada tulisan sederhana ini penulis ingin memapakarkan
rukun-rukun sholat. Adapun dalam makalah ini, penulis memaparkan pendapat Syafi’iyyah
dan Hanafiyyah saja dikarenakan kedua pendapat inilah yang sepertinya lebih sering tampak terjadi ikhtilaf diantara
mereka.
A.
Devini Rukun dan Shalat
Rukun secara bahasa yaitu salah satu unsur yang dijadikan sandaran
atas suatu perkara. Dikatakan pula bahwa rukun ialah bagian dari sesuatu itu
sendiri[1].
Sedangkan secara istilah fiqih, rukun ialah
Shalat secara bahasa ialah ad-du’a yang berarti doa.[2]
Adapun sholat secara istilah yaitu suatu ibadah yang terdiri dari
berbagai gerakan yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan
salam.[3]
B.
Faraidh Shalat
Fardhu ialah segala bentuk perbuatan yang mendapat pahala jika
dikerjakan, mendapat iqab atau balasan apabila ditinggalkan terutama syiar yang
diperintahkan oleh Syari’ dengan tegas.
Fardhu dalam shalat dapat diartikan sebagai rukun. Sebagai diketahui
bahwa farraidh yaitu bagian-bagian yang jika hilang darinya menyebabkan tidak
ada pangkal atau kepala dari shalat tersebut.
Para imam madzhab
memiliki devinisi tersendiri mengenai rukun:
-
Madzhab Hanafiyyah[4] mengatakan, rukun
terbagi menjadi 2: rukun aslidan rukun zaid (tambahan). Rukun asli yaitu rukun
yang dapat menggugurkan kewajiban seseorang ketika dalam kondisi lemah.
Seseorang tadi tidak diharuskan untuk mengganti dengan perbuatan lain atas
hilangnya kewajiban tersebut. Sedang rukun tambahan yaitu rukun yang bisa jadi
gugur dalam beberapa keadaan, walaupun seorang tersebut mampu untuk melakukanya
seperti membaca surat, sehingga dalam madzhab mereka ma’mum hanya mengikuti
bcaan imam.
Syarat
sholat yang disepakati dalam madzhab mereka ada empat baik dari rukun Ashli
maupun tambahan. Yang termasuk rukun asli yaitu qiyam, ruku’ dan sujud. Sedang
rukun tambahan yaitu qiraah. Empat hal inilah yang dijadikan hakikat shalat dalam madzhab mereka, sehingga
jika salah seorang meninggalkan salah satu dari keempat hal disini maka ia
tidak dapat dikatakan sebagai shalat. Pada permasalahan sholat terdapat berbagai
hal yang ia bukan hakikat sholat akan tetapi berpengaruh pada keabsahan nilai
sholat, diantara hal tersebut terbagi menjadi dua. Pertama, yang keluar dari
mahiyah atau gerakan dhohir shalat yaitu suci dari hadats dan khabats, menutup
aurat, menghadap kiblat, masuk waktu sholat, niat, takbir ihram,semua ini masuk
pada kategori syarat sah sholat.
Yang kedua yaitu, hal-hal yang ada dalam rangkaian sholat akan tetapi
tidak termasuk hakikat sholat itu sendiri yaitu, qiraah ketika pada posisi
qiyam, ruku’, sujud dan lainya.
-
Malikiyyah berpendapat bahwa
faraidh sholat ada 15 diantaranya, niat, takbir ihram, qiyam pada sholat
fardhu, membaca Al-Fatihah, berdiri saat membaca Al-fatihah, ruku’, I’tidal,
sujud, duduk dianatara 2 sujud, salam, duduk tasyahud, salam, thuma’ninah,
tartib atau urut, niat ikut imam jika posisinya sebagai ma’mum.
Kesamaan fardhu shalat madzhab Maliki dan Hanafi terletak pada 4 hal,
yaitu: berdiri bagi yang mampu, ruku’, sujud, dan qira’ah. Pada poin qiraah
terjadi ikhtilaf antara madzhab Hanafi dan selainya. Madzhab Hanafi mengatakan
bahwa yang diwajibkan dibaca ketika sholat ialah apa saja dari Al-qur’an tanpa
menentukan Al-fatihah, sedang madzhab Maliki didukung oleh madzhab lainya mengatakan
bahwa qiraah yang diwajibkan untuk dibaca ketika sholat adalah surat
Al-fatihah.
-
Syafiiyah[5] mengatakan bahwa
fardhu sholat terdapat 13 fardhu. Lima fardhu qauly atau yang berupa ucapan,
dan delapan fardhu fi’li atau yang berupa gerakan. 5 qauli tersebut ialah
takbir ihram, membaca Al-Fatihah, tasyahud akhir, shalawat atas nabi, salam
pertama. Fardhu fi’liyahnya yaitu niat, qiyam bagi yang mampu, ruku’, I’tidal,
sujud pertama dan kedua, duduk diantara 2 sujud, duduk akhir atau tasayahud
akhir, tartib. Adapun thuma’ninah masuk pada syarat sempurnanya ruku’, I’tidal,
sujud, duduk diantara 2 sujud, dan duduk tasyahud harus dengan thuma’ninah
walaupun tidak termasuk rukun tambahan.
-
Hanabilah[6] mengatakan bahwa
faraidh shalat ada 14 yaitu, qiyam, takbir ihram, membaca
Al-fatiha, ruku’ dan bangkit darinya, I’tidal, sujud dan bangkit darinya, duduk
diantara 2 sujud, tasyahud akhir, duduk pada tasyahud akhir dan 2 salam,
thuma’ninah pada setiap rukun, tartib pada bagian yang fardhu, dan 2 salam.
C.
Rukun Shalat yang Disepakati
1.
Takbiratul Ihram
Takbir pada permulaan
sholat disebut sebagai takbiratul ihram dikarenakan dengan takbir tersebut
seseorang telah haram baginya melakukan segala sesuatu yang pada sebelumnya
dihalalkan sebab dapat merusak bahkan membatalkan shalat, seperti makan, minum,
berbicara dan lain sebagainya.
Takbiratul ihram
dimulai setelah seseorang meniatkan diri dengan mantap hendak melaksanakan
shalat. Shalat seseorang tidak sah dan tidak dianggap adanya jika tidak
melafadzkan takbir tersebut bagi yang mampu. Hal ini berdasar sabda nabi SAW.,
“((صلوا كما رأيتموني أصلي))[7], yang artinya “ shalatlah kalian sebagaiamana kalian melihatku shalat”.
Rasululloh SAW., juga bersabda (([8]((مِفتاحُ الصلاة الوضوءُ،
وتحريمُها التكبير، وتحليلُها التسليم yang artinya, “ kunci shalat adalah wudhu,
pengharamnya adalah takbir, penghalalnya adalah salam”.
Dalam hadits lain juga disebutkan, bahwa suatu
hari seusai shalat ada seorang lelaki yang datang pada nabi SAW., lalu
mengucapkan salam pada nabi, kemudian nabi SAW., membalasnya dan bersabda, “
kembali dan ulangilah shalatmu! Sungguh engkau sama sekali belum shalat”. Maka
kemudian, si lelaki tersebut kembali dan mengulang shalatnya. Nabi SAW., mengatakan hal
yang serupa hingga tiga kali, sehingga silaelakipun berkata, “ Demi yang
mengutusmu dengan kebenaran, tidak ada yang lebih baik aku lakukan selain ini,
maka ajarilah aku!”. Rasulpun bersabda, “ jika kau hendak mendirikan shalat
maka bertakbirlah…..”.[9]
Apakah diperbolehkan melafadzkan lafadz yang lain selain Allohu Akbar
yang masih menunjukan hal tersebut?
Pada permasalahan ini terdapat ikhtilaf
dikalangan fuqaha.
-
Hanafiyyah[10] menyebutkan bahwa
selama masih mengandung maksud yang sama yaitu ta’dhim lillah maka
diperbolehkan, seperti kalimat tahmid, tasbih, tahlil maupun dzikir yang
mengandung makna sifat serupa seperti Ar-Rahmanu A’dham dan lainya.
-
Abu Yusuf,[11] ulama Hanafiyyah
berbeda pendapat. Ia mengatakan bahwa tidak diperbolehkan secara syar’I kecuali
dengan lafadz pecahan takbir sendiri. Lafadz pecahan tersebut ialah الله أكبر - الله
الأكبر - الله الكبير.Hal ini ditujukan
bagi seorang yang tak dapat membaca takbir.
-
Adapun Malikiyyah[13] dan Hanabilah[14] berpendapat bahwa
tidak diperbolehkan mengganti lafadz takbir الله أكبر
dengan selainya, sebab ia adalah ibadah. Ibadah itu bertawaqquf dengan sima’
dan tidak memperbolehkan adanya qiyas.
2.
Berdiri bagi yang mapu
Berdiri ketika shalat merupakan hal yang
wajib. Hal ini ditetapkan berdasarkan pada firman Alloh ta’ala ﴿
وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ ﴾[15]. Yang dimaksud qumu adalah
berdiri ketika shalat. Dalam As-Sunnah
disebutkan yang diriwayatkan dari Imran bin Hushain ia berkata, kala itu aku
sedang sakit ambeian. Kemudian aku menanyakan hal tersebut pada Rasul
SAW., dan beliau bersabda
[16]“صلِّ قائمًا، فإن لم تستطع فقاعدًا، فإن لم تستطع فعلى جَنبٍ” yang
artinya, “ Shalatlah kalian dengan berdiri….”. Ijma’ juga mengatakan hal yang
sama ketika shalat fardhu.
Ukuran qiyamnya seseorang yaitu
dengan tegaknya tulang punggung mereka tanpa tegaknya kepala, sebab kepala
disunnahkan untuk ditundukkan ketika shalat. Jika seseorang berdiri dengan
posisi miring atau condong kesalah satu bagian kanan atau kiri yang tidak dapat
disebutkan dalam kategori berdiri lurus maka tidak sah qiyam mereka sebab
meninggalkan hal yang wajib.
3.
Membaca surat
Al-Fatihah
Membaca Al-Fatihah merupakan rukun dari
berbagai rukun shalat. Shalat salah seseorang tidak sah tanpa membacanya. Hal
ini sudah menjadi kesepakatan diantara ulama dan tidak ada seorangpun yang
menyelisihinya. Tidak dibedakan antara shalat fardhu maupun nafl. Hal ini
didasari dengan sabda Rasul SAW dalam hadits yang menceritakan peristiwa orang
yang jelek shalatnya setelah beliau memerintahkanya untuk takbiratul ihram
beliau bersabda, “((ثم اقرأ ما تيسَّر معك من القرآن)) yang artinya ,” kemudian bacalah
apa yag mudah bagimu dari bagian Al-Qur’an”.
Yang menjadi khilaf dikalangan fuqaha yaitu
seputar apa yang dibaca dalam mahiyah shalat fardhu dan seputar tempat bacaan
ang ajib dibaca tersebut.
-
Mahiyah Shalat.
Jumhur fuqaha dari
kalangan madzhab Malikiyyah, Syafiiyyah[17]
dan Hanabilah pada riwayat masyhur dikalangan mereka bahwa membaca Al-Fatihah
merupakan rukun dalam shalat, ia merupakan kewajiban yang harus ditunaikan,
shalat seseorang tidak sah tanpanya. Hal ini berdasarkan dalil dari hadits yang
diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit ra., bahwa nabi SAW., bersabda, “لا صلاةَ
لمن لم يقرأ بفاتحةِ الكتاب[18]” yang artinya, “ tidak ada
shalat bagi orang yang tidakmembaca fatihah kitab (surat Al-Fatihah)”. Begitu
juga tersebut dalam riwayat lain bahwa Rasululloh SAW bersabda “((مَن صلَّى
صلاة لم يقرأ فيها بأمِّ القرآن، فهي خِداج[19]” Barang siapa yang shalat tidak
membaca surat Al-Fatihah maka sia-sia. Khidaj disini yaitu kurang
sempurna, batal bahkan rusak.
-
Hanafiyyah berpendapat bahwa yang diwajibkan ialah surat apa saja yang ada dalam
Al-qur’an, tanpa mensyaratkan Al-Fatihah. Kalaupun Al-Fatihah wajib menurut
mereka akan tetapi, mereka tidak menjadikanya sebagai rukun yang konsekuensi
dari hal tersebut ialah diperbolehkanya shalat tanpanya hanya saja mendapat
dosa. Sebab, wajib dalam madzhab Hanafi berbeda dengan fardhu. Bacaan
Al-Fatihah bukan termasuk rukun atau fardhunya sholat akan tetapi masuk pada
kategori yang diwajibkan dalam shalat, sebab madzhab Hanafi[20]
membedakan antara rukun atau fardhiyyah dengan hal yang wajib.
Dalil yang melandasi
pendapat mereka yaitu ﴿ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
﴾ ayat dari surat
Al-Mudatsir yangmereka berpendapat mengenai wajhul istidlalnya yaitu bahwa yang
diwajibkan adalah muthlaq qira’ah apa yang ada dalam Al-Qur’an tanpa ada
ketentuan. Adapun pendapat yang hanya menentukan bacaan Al-Fatihah mereka telah
menaskh kemutlakan ayat tersebut dengan khabar mutawatir, sedang naskh kitab
tidak diperbolehkan menurut Syafiiyah.
Pendapat Hanafiyyah
menuai kritik dari jumhur, sebab penentuan Al-Fatihah dikuatkan dengan bayak
hadits yang diriwayatkan dari berbagai jalur.
Jadi, pendapat yang
benar adalah pendapat yang dipegangi oleh jumhur. Pada hadits yang
mencantumkan sabda Rasul pada orang yang masih salah dalam shalatnya memang
tidak disebutkan ketentuan bacaannya adalah Al-Fatihah sebab itulah jika ada
seseorang yang tidak dapat membaca Al-Fatihah maka dapat diganti bacaan lain
jika tidak memungkinkan untuk mempelajarinya terlebih dahulu. Jika seoang
tersebut tidak memiliki sesuatupun dari hafalan Al-qur’an maka dapat digantikan
dengan membaca سبحان الله، والحمد لله، ولا إله إلا الله، والله أكبر، ولا حول ولا قوَّة إلا
بالل. Hal ini merupakan bentuk rukhsah, sebagaimana disebutkan dalam
Nailul Authar[21] bahwa jika salah
seorang tidak mampu membaca Al-fatihah berarti ia tidak mendapat taklif sebab
ketidak mapuan tersebut, sebab kempuan seseorang untuk melaksanakan kewajiban
syariat merupakan syarat adanya taklif. Dalam masalah ini, maka tidak mengapa
mengganti bacaan Al-Fatihah dengan bacaan lain.
-
Tempat atau waktu membaca Al-Fatihah
Membaca
Al-Fatihah diwajibkan disetiap rekaat menurut jumhur seperti Malik, Imam
Asy-Syafii, Ahmad dalam riwayat shahih madzhabnya dan lainya. Dalil yang mereka
pegangi yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Qatadah dalam shahih Muslim bahwa
nabi SAW., membaca surat Al-Fatihah dan surat lainya pada 2 rekaat pertama, dan
hanya membaca Al-Fatihah pada 2 rekaat terakhir. Pada shahih tersebut juga
disebutkan bahwa ketika shalat diwajibkan membaca surat Al-Fatihah disetiap
rekaatnya.[22]
Ulama
lain seperti dhahiry berpendapat bahwa wajibnya membaca Al-fatihah hanya pada
rekaat pertama saja, sebab hal itu telah memenuhi sabda Rasul yang berbunyi, “
tidak sah shalat salah seorang dari kalian tanpa membaca ummul kitab”.
Hukum membaca Al-Fatihah tanpa Bahasa arab
Shalat dengan
bacaan Al-fatihah tanpa Bahasa Arab tidak diperbolehkan menurut madzhab Maliki,
Syafii[23] dan Hanbali. Imam Abu yusuf juga berpendapat demikian jika orang tersebut tidak dapat
melafadzkanya dengan Bahasa Arab. Jika seseorang tersebut tidak dapat
melafadzkanya dengan Bahasa Arab maka ia dapat mendengarkan bacaan orang lain,
membacanya, atau diganti dengan tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan dzikir
lainya. Hal ini pun dilakukan jika waktu shalat sudah benar-benar sempit
sehingga tidak ada waktu untuk menghafalnya terlebih dahulu. Jika pada nyatanya
seseorang memiliki waktu untuk mengahafal terlebih dahulu maka ia wajib
menghafalnya untuk shalat.
Menurut imam Abu Hanifah[24] sah sholat seseorang
yang membaca Al-Fatihah tanpa Bahasa Arab, seperti Bahasa Persia atau lainya. Hal tersebut berlaku bagi orang yang dapat membahasakan Arab
atau tidak.
D.
Rukun Shalat yang
Diperselisihkan
1.
Niat yang berbarengan dengan
takbiratul ihram
Menjadikan niat sebagai syarat sah shalat sudah menjadi sebuah kesepakatan
dikalangan ulama. Hal ini dikarenakan bahwa shalat merupakan ra’sun (puncak,
kepala) dari berbagai bentuk ibadah yang telah disyariatkan oleh Alloh dengan
maslahat yang tak dapat kita lihat dengan mata telanjang.
Adapun dalam menentukan apakah niat masuk dalam kategori rukun atau
syarat ulama berbeda pendapat.
Ø Menurut
Madzhab Hanafi
Niat dalam shalat termasuk pada kategori syarat.[25] Mereka mengatakan
bahwa rukun merupakan gerakan atau amalan dhahir, sedangkan amalan batin
termasuk kategori syarat.
Ø Menurut
Madzhab Syafi’i:
Niat dalam shalat
menurut madzhab Syafi’I masuk dalam kategori rukun. Imam Nawawi dalam kitabnya
Syarh al-Muhadzab[26] menyebutkan bahwa
niat merupakan suatu hal wajib bahkan kewajiban tersebut mencapai derajat
fardhu. Niat merupakan rukun dari berbagai rukun shalat. Pendapat ini dilandasi
dengan hadits nabi yang berbunyi, “ إنما الأعمال
بالنيات، و إنما [27] لكلَ
امرئ ما نوى”[28] yang artinya
sesungguhnya segala bentuk perbuatan itu harus dengan niat, dan setiap orang
itu dinilai berdasarkan pada niatnya.
Beliau menambahkan bahwa niat ialah bentuk qurbah (kedekatan pada Alloh)
yang bersifat mahdhah[29] sehingga jika
amalan dikerjakan tanpanya menjadi tidak sah.
Ibnu Mundzir
menyebutkan dalam kitabnya bahwa ulama telah berijma’ bahwa shalat seseorang
tidak sah kecuali harus disertai niat.
Dalam riwayat lain madzhab Syafi’I menyebutkan bahwa niat dalam shalat
merupakan syarat bukan rukun sebagaimana kedudukan wudhu dan menghadap kiblat.
Ulama yang melazimi pendapat ini ialah imam Abu Thayib, Ibnu Shibagh, dan juga
merupakan pendapat yang dpilih oleh imam Al-ghazali.
Hukum melafadzkan niat
menurut madzhab Syafi’i.
Menurut sebagian ulama madzhab mengatakan bahwa niatshalat harus dalam
hatidan dilafadzkan pada lisan.
Waktu pelaksanaan niat, Imam asy-Syafi’I menyebutkan dalam kitabnya
Al-Mukhtashar bahwa jika salah seorang dari kalian telah ihram (takbir) niatlah
pada waktu itu, sebab shalatnya terletak pada saat takbir bukan sebelum atau
sesudahnya. Niat dilaksanakan beriringan
dengan pengucapan takbir. Dalam hal ini ulama Syafiiyyah mensyaratkan hal
tersebut sebagai berikut:
Ø Niat
dilakukan dalam hati, dengan melakukan takbir pula pada saat yang sama.
Ø Tidak wajib dilakukan
bersamaan dengan takbir. Hal ini dikarenakan supaya pada saat takbir niat yang
kita kerjakan sudah sempurna. Pendapat ini terbagi menjadi dua.
a. Pendapat Ibnu
Manshur bin Mihran Syeikh Abu Bakr al-Awdani, beliau mewajibkan supaya lebih
mendahulukan niat dari awal takbir dengan suatu hal yang ringan supaya awal
niat tidak tertinggal dari awal takbir.
b.Yang dimaksud dengan
berdekatan yaitu pada saat takbir niat selalu mengiringinya hingga akhir
takbir.
Sebagai jalan tengah, Imam al-Haramain dan imam al-Ghazali menyebutkan dalam
kitabnya al-Basith bahwa dalam masalah ini kita tidak diwajibkan untuk
memperdalam bagaimana muqaranah yang dimaksud. Akan tetapi kita cukup mengikuti
urf muqaranah yang ada dan yang umum dipraktekan, dengan syarat kita dapat
menghadirkan niat kita dan tidak melalaikanya dari shalat.
Menta’yin (menentukan) shalat. Imam Nawawi[30]
berpendapat bahwa disyaratkan menentukan shalat dalam niat hanya terjadi pada shalat
fardhu. Kaifiyahnya yaitu seseorang menentukan shalat yang akan ia kerjakan
apakah shalat dhuhur atau asar, wajaib atau nafl. Hanya saja pada ketentuan
wajib atau nafl ulama berbeda pendapat. Abu Ishaq berpendapat wajib guna
membedakan antara dhuhurnya anak kecil atau orang deawasa. Dhuhurnya shalat
munfaridh atau jama’ah.
Adapun menurut Abu Ula dari Abu Hurairah: Ia
cukup meniatkan dhuhur atau asar saja, sebab keduanya jelas shalat wajib.
Kesimpulanya, jika salah seorang hendak shalat
fardhu maka hendaknya ia meniatkan 2 hal terpenting[31]:
a.
Niat perbuatanya, maksudnya yaitu niat akan
shalat.
b.
Menentukan jenis shalatnya, maksudnya yaitu
shalat dhuhur atau asar.
Begitu juga dalam shalat nafilah. Apabila yang dikerjakan adalah sholat
nafl ratibah atau nafl mutlaq seperti shalat witir, sunnah fajar maka tidak
sah jika tidak ditentukan jenisnya. Sedang pada shalat nafl ghair ratibah
cukup dengan niat shalat saja.
Ø
Menurut Madzhab Hanbali
Tidak ada perbedaan dikalangan ulama mengenai
wajibnya niat dalam shalat dan shalat tidak sah tanpa niat. Apabila shalat yang dilakukan adalah shalat wajib, maka niat untuk
shalat yang wajib tersebut harus jelas, Dhuhur, Asar atau yang lainya. Dengan
demikian seseorang dalam kaitanya dengan shalat wajib membutuhkan niat untuk 2
hal, yaitu melakukan dan menentukan.[32]
2.
I’tidal
I’tidal merupakan gerakan shalat berupa
tegaknya tubuh yang dilakukan usai
melaksanakan ruku’. Para ulama berbeda pendapat apakah I’tidal termasuk dalam
rukun atau hanya sebagai gerakan yang wajib dilakukan saja sehingga yang
meninggalkanya berdosa tanpa ada batal dalam shalat atau ia adalah rukun
sehingga sholat seseorang tidak sah tanpa salah satu rukunya dan jika terlupa
mengharuskan adanya sujud sahwi.
Menurut madzhab Hanafy I’tidal merupakan bagian sholat dalam kategori hal
yang wajib dikerjakan dalam shalat bukan rukun shalat.[33]
Adapun pada madzhab
Syafi’I I’tidal merupakan rukun shalat.[34] Pendapat imam Asy-Syafi’i juga diamini oleh
imam Malik[35]
dan Ahmad[36]
dalam madzhabnya sebagaimana yang tertera dalam kitab Al-Mughni bahwa i’tidal
merupakan sebuah rukun dengan dalil sabda Rasululloh pada orang yang masih
keliru dalam shalatnya. Dalil adanya I’tidal yaitu hadits yang diriwayatkan
dari Aisyah ra., ketika dirinya
menyifati sholat nabi ia berkata, “ Rasul SAW.,
ketika telah mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau tidak bsersujud kecuali
setelah tubuhnya benar-benar dalam posisi berdiri yang seimbang”.[37]
Alasan lain yang dilazimi pendapat ini yaitu bahwa rasululloh SAW., selalu
beri’tidal ketika sholat dan kita sebagai umatnya wajib mengikuti gerakan
Rasululloh sebagaimana termaktub dalam sebuah hadits, “ sholatlah kalian
sebagaimana kalian melihatku sholat”.
Madzhab Syafii mensyaratkan sahnya I’tidal dengan
hal-hal berikut:
-
Seorang
yang shalat tidak meniatkan I’tidal tersebut kecuali untuk ibadah.
-
Tenang
ketika posisi I’tidal dengan kadar waktu membaca tasbih
-
Tidak
memperpanjang I’tidalnya sebagaimana lamanya berdiri ketika membaca Al-fatihah.
I’tidal merupakan rukun yang rentang waktunya pendek sehingga tidak
diperbolehkan memperpanjangnya.[38]
3.
Duduk diantara dua
sujud
Duduk dianatara dua sujud merupakan rangkaian dari berbagai rukun
sholat menurut madzhab Syafi’i[39].
Pendapat ini didasari dengan sabda nabi kepada seseorang yang masih keliru
dalam sholatnya, beliau bersabda, “ kemudian bangkitlah sampai kau
benar-benar pada kondisi duduk yang seimbang”.[40]
Dalam sebuah riwayat juga disebutkan, “حَتّى
تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَالِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِهَا”. Yang artinya “sampai kamu
benar-benar tenang dalam posisi duduk, dan lakukanlah hal seperti itu pada
setiap sholatmu”. Pendapat seperti ini juga diamini oleh madzhab Hanbali[41], dan Maliki.[42] Adapun madzhab
Hanafy[43] mengatakan bahwa
duduk diantara dua sujud merupakan suatu yang wajib, disayariatkan untuk
memisahkan antara 2 sujud tersebut. Mereka tidak menganggapnya sebagai suatu
yang farhu atau sebagai rukun sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya
mengenai perbedaan farhu atau rukun dengan wajib pada madzhab Hanafy.
4.
Membaca tasyahud akhir
Tasyahud akhir
merupakan suatu yang ma’lum bagi kita semua. Dalam tasyahud akhir terdapat
sebuah bacaan yang kita kenal sebagai bacaan tasyahud atau lebih masyhur dengan
nama tahiyyat. Tahiyyat yang masyhur digunakan oleh Jumhur
yaitu “التحيات لله الصلوات والطيبة، السلام عليك أيها
النبي ورحمة الله وبركاته،السلام علينا وعلى عبادالله الصالحين ، أشهد أن لا إله إلاّ
الله وأنّ محمداً رسولالله [44]"
5.
Membaca shalawat nabi
6.
Salam
7.
Tertib
8.
Tuma’ninah
E. Kesimpulan
Berikut ini kami lampiran tabel perbandingan dari ke-4 mazhab tentang rukun
shalat yang kami kutip dari kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, karya Dr.
Wahbah Az-Zuhaili.
Mazhab
|
Hanafi
|
Malik
|
Syafi`i
|
Ahmad
|
1. Niat
|
x
|
rukun
|
rukun
|
x
|
2. Takbiratul Ihram
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
3.
Berdiri
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
4.
Membaca
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
5. Ruku`
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
6.
I`tidal/ Bangun Dari Ruku`
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
7. Sujud
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
8. Duduk
Antara Dua Sujud
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
9. Duduk
Tasyahhud Akhir
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
10.
Membaca Tasyahhud Akhir
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
11.
Membaca Shalawat Atas Nabi
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
12. Salam
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
13.
Tartib
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
14.
Tuma`ninah
|
x
|
rukun
|
x
|
rukun
|
Nb: Untuk Lengkapnya akan penulis posting selanjutnya
*penulis adalah mahasiswa UMS jurusan Fiqih dan Ushul Fiqih, Sragen
[2] Ibid, hlm. 547
[4] Abdurrahman Al-Jazairy, Al-Fiqh
‘ala Madzahib al-Arba’ah, cet. Ketiga, ( Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2006
M), jild. 1, hlm. 110-111.
[5] Abdurrahman Al-Jazairy, Al-Fiqh
‘ala Madzahib al-Arba’ah, cet. Ketiga, ( Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2006
M), jild. 1, hlm. 111
[7] Bukhori,
[8] Dikeluarkan dari hadits Imam Syafi’i (1/34), Ibnu Abi Syaibah (1/208,
no. 2378), Ahmad (1/123, no. 1006), Abu Daud (1/167, no. 617), Tirmidzi (1/8,
no. 3), ia mengatakan bahwa hadits diatas adalah hadits yang paling shahih yang
membicarakan masalah ini (takbir).
Abu ‘Isa Muhammad bi ‘Isa bin Saurah, Sunan
at-Tirmidzi, ( Lebanon: Dar al-Fikr, 2009 M). jild. 1, hlm. 272, no hadits.
62
[9] Muttafaq ‘alaih
[10] Badruddin Al-Ainy
al-hanafy, Al-Binayah Syarhul Hidayah, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah,
2000 M), jild. 2, hlm. 197
[12]Taqiyuddi Abi Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hushny ad-Dimasyqy
ay-Syafi’I, Kifayatul Akhya fi Halli Ghayah Al-Ikhtishar , cet. kedua (Kairo:
Al-Quds, 2007 M), jild. 1,hlm. 167
[13] Ahmad bin Muhammad nin
Ahmad Ad-Dardir, Aqrabu al-Masalik Limadzhabi Imam Malik, (Negeria:
Maktabah Ayyub, 2000 M ), hlm. 15.
[14] Abu Qasim Umar bin Husain al-Khiraqy, Al-Mughni Syarh Mukhtashar
Al-Khiraqi, cet. pertama, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2008 M), jild. 1,
hlm. 370
[15] Qs. Al-baqarah: 238
[16] Diriwayatkan oleh Bukhori dan Nasai
[17] Taqiyuddi Abi Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hushny ad-Dimasyqy
ay-Syafi’I, Kifayatul Akhya fi Halli Ghayah Al-Ikhtishar , cet. kedua (Kairo:
Al-Quds, 2007 M), jild. 1, hlm. 169
[18] Muttafaq ‘alaih
[19] Muttafaq ‘alaih
[20] Alauddin Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasany Al-Hanafy, Badai’ Shanai’,
cet. Kedua, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah, 2003 M), jild. 1, hlm. 525
[21] Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Nailul Authar, cet. pertama, (Kairo:
Dar Ibnu Al-Jauzi, 1427 H), jild. 2, hlm. 211
[22] Abu Husain Muslim bin
Al-Qusyairi an-Nisaburi, Shahih Muslim, ( Riyadh: Dar Thaibah, 1426 H), Jild.
2, hlm. 184
[23] Taqiyuddi Abi Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hushny ad-Dimasyqy
ay-Syafi’I, Kifayatul Akhyar fi Halli
Ghayah Al-Ikhtishar , cet. kedua (Kairo: Al-Quds, 2007 M), jild. 1, hlm 171.
[24]‘Alauddin As-Samarqandy, Tuhfatul
Fuqaha,cet. Pertama, (Lebanon:
Dar Kutub Ilmiyyah, 1984 M), jild. 1, hlm. 130
[25]Alauddin Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasany
Al-Hanafy, Badai’ Shanai fi Tartib Asy-Syarai’, cet. Kedua, (Lebanon:
Dar Kutub Ilmiyyah, 2003 M), jild. 1, hlm. 507
[26] Taqiyuddin Yahya bin Syaraf An; Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab,
(Dar Kutub Ilmiyyah: Lebanon, 2011).jild. 4, hlm. 256
[28] Bukhori
[29] Qurbah Mahdhah yaitu shalat seseorang tidak sah tanpa adanya.
[30] Taqiyuddin Yahya bin Syaraf An; Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab,
(Dar Kutub Ilmiyyah: Lebanon, 2011).jild. 4, hlm. 258
[31] Ibid, hlm. 260
[32] Ibnu Qudamah, Al-Mughni,
cet. Pertama, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), terjemah oleh. Masturi Irham dan
Muhammad Abidun Zuhri, jild. 2, hlm.13
[34] Musthafa Khin dan
Mushtafa Bugha, Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Imam Syafi’I, cet.
Keempat, (Lebanon: Dar Al-Qalam, 1992 M),
jild. 1, hlm. 134
[35] Abi Thahir Aba Ibrahim bin ‘Abdushamad bin Basyir, At-Tanbih ‘ala Mabadi’ At-Taujih, cet. pertama,
(Lebanon: Dar Ibnu Hazm, 2007 M ), jild. 1, Hlm. 415
[36] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jild. 2, hlm. 185
[37]Muslim, no. 498
[38] Musthafa Khin dan Mushtafa Bugha, Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab
Imam Syafi’I, jild. 1, hlm.
134-135
[39] Taqiyuddi Abi Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hushny ad-Dimasyqy
ay-Syafi’I, Kifayatul Akhya fi Halli Ghayah Al-Ikhtishar , cet. kedua (Kairo:
Al-Quds, 2007 M), jild. 1, hlm. 162
[40] Telah ditakhrij sebelumnya.
[41] Abu Suraih Muhammad ‘Abdul Hadi, At-Taysir fi Fiqhi al-Imam Ibnu
Taimiyah,(Kairo: Dar adz-Dzahabiyyah, tt) hlm. 29.
[42]Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Ad-Dardir, Aqrabu
Masalik limadzhabi Imam Malik, (Negeria: Maktabah Ayyub, 2000 M), hlm. 16
[43] Alauddin As-Samarqandy,
Tuhfatul Fuqaha,cet. Pertama, (Lebanon: Dar Kutub Ilmiyyah,
1984 M), jild. 1, hlm. 136
1 komentar:
kok...
Posting Komentar