BAB III
HUKUM OPERASI
REKONSTRUKSI HYMEN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Operasi rekonstruksi hymen
atau lebih kita kenal dengan istilah hymenoplasty adalah sebuah hal yang
sudah tidak tabu lagi untuk kita ketahui adanya. Keberadaan tindak operasi
tersebut membuat para ulama menggagas dan mencari hukum yang kiranya tepat dan
membawa sebuah maslahat untuk tindak operasi tersebut. Hanya saja, beberapa ulama
belum menuai kata mufakat dalam beberapa kategori hukum ditinjau dari sebab
robeknya hymen.
Dari sinilah perlu
kiranya kita ketahui bagaimana Islam memandang jenis operasi tersebut dengan
polemic yang masih ada ditengah-tengah masyarakat kita. Untuk sampai pada
pembahasan yang lebih mendalam tentu kiranya kita kaji terlebih dahulu manfaat
dan madharat operasi rekonstruksi hymen.
3.1.Manfaat dan Madharat
Operasi Rekonstruksi Hymen (hymenoplasty)
3.1.1. Manfaat Tindak Hymenoplasty
Menilik tindakan hymenoplasty
berdasar pada akibat yang ditimbulkan oleh robeknya hymen atas dasar adat dan
kebiasaan berupa reaksi jika diketahui perihal sobeknya, maka akan kita dapati
beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari operasi tersebut yang senada dengan
syariat, diantaranya:
a. Untuk Menutupi Aib[1]
Tindak operasi
rekonstruksi hymen yang dilakukan oleh seorang dokter dalam hal ini
mendatangkan sebuah kemaslahatan, yaitu guna menutupi aib sang gadis. Hal ini
disebabkan jika hal tersebut tidak ditutupi tentulah akan menimbulkan madharat
bagi sigadis saat pernikahannya kelak.
Bentuk menutup aib tidak hanya dengan tidak menyebarkan aib kepada khalayak
umum, tapi lebih dari itu. Tindak pengembalian keperawanan juga termasuk dalam
kategori menutup aib berupa kembalinya hymen sebagaimana kondisi semula,
sedangkan menutup aib sendiri merupakan hal yang diperintahkan secara syara’.
Hal ini senada dengan sunnah qauliyah nabi SAW yang berbunyi:
« لاَ يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللَّهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ» yang artinya, “ Tidaklah
seseorang menutupi aib orang lain di dunia, kecuali Alloh akan menutupi aibnya
pada hari kiamat.” (HR. Muslim)[2]
b. Melindungi Keluarga[3]
Dalam masalah ini tentulah sudah kita pahami bersama. Yaitu dengan
melakukan upaya operasi rekonstruksi hymen aib seorang wanita akan tertutupi.
Sehingga hal ini akan melindungi keharmonisan serta kelanggengan rumah
tangganya kelak. Kalaulah sekiranya seorang wanita menikah dalam kondisi hymennya
robek, tentunya akan menimbulkan tanda
tanya dalam benak suami yang dengan hal tersebut akan timbullah beberapa
rasangka tidak baik yang dapat menghancurkan keutuhan keluarga.
3.1.2. Sisi Negatif Hymenoplasty
a.
Adanya unsur penipuan[4]
Pada dasarnya, yang pertama kali terlintas difikiran kita pada operasi
rekonstruksi hymen adalah ia dapat menyebabkan terjadinya kasus penipuan untuk
para lelaki yang hendak meminang si wanita. Sebab tanda yang dapat dijadikan sebagai bukti kelakuan buruk yang pernah
dilakukan siwanita telah tertutupi. Jikalau keburukan tersebut diketahui oleh
sang suami niscaya ia tidak akan mau meneruskan kehidupan berumah tangga
denganya guna menjaga keturunan serta khawatir akan lahirnya anak-anak yang
bukan berasal dari darah dagingnya sendiri.
Disisi lain, Alloh SWT telah melarang kaum muslimin menikahi wanita
pezina atau musyrikah kecuali dinikahi oleh sesame pezina atau musyrik. Hal ini
seirama dan selaras dengan firman-Nya yang termaktub dalam surat an-Nur: 3.
Oleh karenanya, beberapa fuqaha berpendapat bahwa suami berhak menghapus
pernikahan jika sebelumnya ia mensyaratkan sang istri masih perawan dan
kemudian ia dapati sebaliknya. Dalam hal ini, sang dokter yang membantu proses
operasi tersebut telah menyepelekan hak suami dan membantu melakukan penipuan
dengan keperawanan palsu tersebut. Wallohu ta’ala a’lam.
b. Mendorong terjadinya
perbuatan keji[5]
Adanya operasi rekonstruksi hymen
dapat mendorong terjadinya perbuatan keji. Sebab wanita yang mengalami
kerobekan pada hymennya mayoritas adalah para psk, pemudi yang aktif
berpacaran dan tentunya selain wanita yang sudah berkeluarga.
Adanya operasi rekonstruksi hymen
membuat para wanita tersebut merasa aman jika hymen yang ia miliki kemudian
robek. Sebab mereka menganggap ada solusi praktis dengan harga terjangkau,
yaitu dengan operasi rekonstruksi hymen.
Wa’iyadzubillah.
c. Membuka aurat[6]
Sebagaimana telah lazim adanya bahwa dalam melakukan sebuah tindak operasi
tentunya mewajibkan terbukanya baju atau anggota tubuh yang akan dioperasi
minimalnya. Hal ini tentunya menjadi sebuah tolak ukur kebolehan sebuah
operasi. Dalam hal ini operasi rekonstruksi
hymen membuat seorang wanita membuka auratnya yang
paling vital, terlebih mayoritas sang dokter adalah seorang laki-laki ajnaby.
3.2.Hukum Operasi
Rekonstruksi Hymen dalam Perspektif Islam
Setelah kita ketahui
bersama bahwa robeknya hymen tidak hanya disebabkan perbuatan dosa berupa zina,
maka dalam menyikapi hukum operasi rekonstruksi hymen pun memiliki
perbedaan hukum. Perbedaan itu terjadi berdasarkan pada faktor terjadinya perobekan hymen:
3.2.1. Hilang hymen
karena perbuatan maksiat
Dewasa ini banyak perbuatan asusila
yang dilakukan oleh para pemuda pemudi negeri, diantaranya adalah hubungan
diluar nikah. Hubungan diluar nikah tersebut tentu menyebabkan hilang status
keperawanan si perempuan. Hal tersebut berimplikasi terhadap munculnya rasa
malu dan takut dalam diri perempuan tersebut ketika hendak melakukan akad
pernikahan. Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut maka muncul inisiatif hymenoplasty guna
mengembalikan keperawanan.
Upaya operasi
rekonstruksi hymen atau hymenoplasty yang disebabkan karena
perbuatan zina maka para ulama tidak memperbolehkan karena mengandung unsur
penipuan bagi calon suami. Hanya saja terdapat dua kondisi pelaku zina mengenai hal ini berdasar pada tinjauan yuridis.
a. Jika perempuan tersebut
merupakan seorang pelacur atau PSK, maka Islam melarang perempuan tersebut
melakukan operasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya yaitu terdapat unsur penipuan
bagi calon suami kelak sedangkan menipu merupakan hal yang sangat dilarang
dalam Islam. Disisi lain, jika perempuan tersebut diperbolehkan untuk melakukan
operasi tersebut bisa saja akan mendorongnya untuk terus berbuat zina, sebab ia
tidak takut aibnya akan terbongkar kelak.
b.
Jika perempuan tersebut hanya pernah saja melakukanya sekali dan ia telah
bertaubat dan dijatuhi had maka ia diperbolehkan melakukan operasi tersebut.
Selama ia terbukti tidak terkenal suka melakukan zina. Sebab menutupi aib merupakan perkara
yang dianjurkan. Hanya saja dalam masalah ini terdapat ikhtilaf.
Ada
sebagian ulama yang membolehkanya dengan alasan sebagaimana diatas; menutup
aib, menjaga keutuhan rumah tangga kelak dan sebagainya. Namun ada pula yang
berpandangan operasi tersebut diharamkan secara mutlak[7]
guna mencegah mafsadah yang lebih besar, terlebih menilik kondisi masyarakat
kita hari ini. Bisa jadi, rukhshah menghilangkan aib bisa hilang dan tidak
berlaku dengan kondisi tersebut. Diantara dalil yang menjadi sandaran mereka
yaitu bahwa dengan upaya rekonstruksi hymen terkadang memicu terjadinya
percampuran nasab yaitu nasab sang suami denga lelaki sebelumnya yang hal
tersebut berkonsekuensi pada berbagai urusan keluarga lainya. Dalil lainya
diantaranya adalah:
-
Dibolehkanya tidak operasi rekonstruksi hymen menunjukan terang-terangan
terhadap hal munkar serta menunjukan bentuk ta’awun kita dalam perbuatan keji
nan haram tersebut.
-
Menimbukan semakin merebaknya mafsadah dikalangan masyarakat, yaitu dengan
semakin banyaknya para pelaku tindak asusila yang tidak lagi takut akan bahaya
yang mengancam dirinya kelak.
-
Dalam kaidah fikih disebutkan “jika terdapat maslahat dan mafsadah pada
sebuah hal dan maslahat lebih dominan maka yang kita utamakan adalah mengambil
maslahat, pun sebaliknya”. Adapun dalam kaidah lai juga disebutkan “ jika ada
sebuah malahat dan mafsadah dan mafsadah lebih dominan maka kita abaikan unsur
maslahatnya dan condong pada mafsadah”. Pada realitaya, dalam operasi ini terdapat dua unsur yang saling
bertentangan yaitu maslahat dan mafsadah, dan pada kondisi ini masfadahnya kita
dapati lebih besar daripada maslahatnya. Oleh karena itulah operasi ini tidak
diperbolehkan. Disisi lain, dalam kaidah lain juga disebutkan bahwa mafsadah
tidak boleh dihilangkan atau ditolak dengan mafsadah yang semisal. Pada
realitanya, seorang wanita tersebut menghilangkan mafsadah dari dirinya dengan
memberikan mafsadah pada calon suaminya yaitu tertipu.
-
Operasi tersebut menimbulkan adanya perbuatan haram yaitu membuka aurat
dihadapan non mahram, sedangkan rukhshah tidak diberikan pada perbuatan
maksiat. Disisi lain, lebih baik si wanita jujur dan cara inilah yang terbaik.
3.3.
Hilang bukan karena perbuatan maksiat
Hilangnya keperawanan
yang disebabkan non maksiat memilki dua kategori. Robek hymen karena
hubungan intim yang sah dan karena olahraga dan penyebab lain sejenis yang
telah disebutkan dimuka.
3.3.1. Kondisi pertama yaitu
perempuan yang hymennya robek karena hubungan intim yang sah atau pernikahan yang sah .
Pada
dasarnya menurut ulama salaf pengembalian hymen bagi wanita yang telah
berkeluarga tidak diperbolehkan dan diharamkan. Hal ini dikarenakan sudah tidak
ada hajah lagi bagi sang istri. Hal ini dikarenakan robeknya hymen pada seorang
istri adalah suatu hal yang wajar dan pasti terjadi. Adapun tindakan operasi
rekonstruksi hymen justru menghambur-hamburkan uang.
Namun, beberapa tahun terakhir ini marak dikalangan para wanita yang
sudah berkeluarga melakukan operasi rekontruksi hymen dengan berbagai alasan
yang beragam. Diantara alasan yang dapat diketahui adalah supaya sang suami
tidak “jajan” diluar serta menambah keharmonisan keluarga.
Sebenarnya
jika kita menilik bingkai permasalahan ini yang berupa maslahat mursalah,
maka kita dapati bahwa operasi rekontruksi hymen tergolong pada maslahat
at-tahsiniyaat, yang jika kemaslahatan ini tidak dapat terealisasikan,
tidaklah sampai menimbulkan kegoncangan maupun kerusakan dalam tatanan hidup
manusia. Kita tidak menemukan spek maslahat yang bersifat qath’I, baik berupa
adanya aspek dharury maupun hajy dalam masalah ini. Sebab tolak
ukur maslahat adalah tujuan syara’ atau berdasarkan ketentuan Syari’.meskipun
terlihat bertentangan dengan tujuan manusia yang seringkali dilandaskan pada
hawa nafsu
Disisi lain, jenis operasi rekontruksi hymen belumlah mencapai syarat
dibolehkanya melakukan operasi sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Khalid
Mansur pada pembahasan dimuka yang diantaranya adalah:
1.
Tidak ada alternative lain selain melakukan operasi. Sedangkan dalam
masalah ini masih ada berbagai alternative lain yang diantaranya adalah senam
pengencangan otot-otot vagina dan pemenuhan kebutuhan lain yang dapat menambah
serta melanggengkan hubungan suami istri.
2.
Pasien harus membutuhkanya , baik berupa kebutuhan dharury, hajy
maupun tahsiny dengan syarat dibolehkan oleh syariat. Sedangkan hal ini
bertentangan dengan syariat tidak boleh merubah ciptaan Alloh SWt.
Fenomena ini juga berkaitan dengan
beberapa kaidah fiqih sebagai petunjuk
operasionalnya, yaitu:
Keringanan hukum tidak
dapat dikaitkan dengan maksiat. Pada operasi rekontruksi hymen tidak dapat
terdeteksi dharurah yang meyakinkan didalamnya. Oleh karena itulah operasi
rekontruksi hymen tidak diperbolehkan.adapun kaitanya dengan kaidah ini
dikarenakan kalaupun jika diperbolehkan atas dasar rukhshah maka opersi
rekontruksi hymen mengandung beberapa bentuk kemaksiatan yang diantara maksiat
yang paling terasa adalah membuka aurat yang paling vital, oleh karena sebuah
rukhshah tidak dikaitkan dengan sebuah kemaksiatan maka tentulah operasi
rekontruksi hymen tidak diperbolehkan.
Hukum berputar
bersama ‘illahnya, baik adanya maupun tiadanya ‘illah. Dari permasalahan ini
kita dapati bahwa illahnya adalah untuk menjaga keharmonisan keluarga dan
supaya suami tidak berbuat serong diluar rumah. Hanya saja illah yang diajukan
semacam ini tidak dapat dikategorigan sebagai dharury atau hajah serta tidak
pula dimasukkan pada kategori maslahat yang nyata atau hakiki. Oleh karenya
maka hukum operasi rekontruksi hymen tidaklah dierbolehkan.
Hal ini
sebagaimana disampaikan oleh imam
as-Suyuthi bahwa meridhoi sesuatu berarti ridha terhadap konsekuensi yang
dilahirkan darinya. Beliau memberikan sebuah contoh jika salah seorang dari
pihak suami istri telah ridha terhadap aib salah satu belah pihak maka ia harus
menerima aib tersebut dikemudian hari. Oleh karena itu, maka kaidah inilah yang paling cocok guna menghukumi keboleh tidaknya operasi
rekontruksi hymen. Yakni bilamana seorang suami ridho dengan sebuah pernikahan
maka ia juga harus ridho pada segala hal yang ditimbulkanya sebagai sebuah
konsekuensi dan tanggung jawab. Robeknya hymen sang istri karena hubungan intim
adalah suatu hal yang wajar yang pasti terjadi dan harus diterima, sehingga
segala hal yang diupayakan sebagai bentuk ketidak relaan terhadap konsekuensi
tersebut (robeknya hymen) merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip
Islam.
3.3.2. Kondisi kedua yaitu robek
dengan sebab kecelakaan
Dalam kondisi yang
dikarenakan sebuah kecelakaan maka menurut pendapat yang lebih kuat adalah
tidak diperbolehkan. Sebab kemungkinan mendapat mafsadah bersifat wahn atau
masih diragukan. Sedangkan dalam kaidah fikih disebutkan menolak mafsadah lebih
didahulukan daripada sekadar mendapat manfaat yang masih bersifat dhanny.
Disisi lain, sebagaimana termaktub dalam kaidah bahwa tidak dapat dimungkiri berubahnya
maslahat dengan berubahnya zaman. Hal tersebut memberikan sebuah conclus
tetapnya hukum. Penerapan kaidah maslahat dan mafsadah dalam hal ini
mengantarkan kita bahwa dharurat yang ada dalam hymenoplasty tertutup.
Hal ini dikarenakan rusaknya akhlak serta moral masyarakat serta hilangnya
keimanan dan ketakwaan dari dalam diri mayoritas masyarakat hari ini. Oleh
karena itulah hymenoplasty dilarang, maslahat tidak dapat dijadikan
sebagai pertimbangan hukum untuk permasalahan ini karena rusaknya zaman. Hal ini sebagaimana yang dinayatakan oleh Muhammad Kholid Manshur [11]dalam
kitabnya.
1.3.4. Kesimpulan
Dari pemaparan yang
telah penulis paparkan diatas, maka kita dapat mengambil beberapa kesimpulan:
1. Operasi rekonstruksi hymen
tidak diperbolehkan bagi seorang wanita PSK atau yang sudah terkenal tindak
asusilanya.
2. Hal lain selain karena
zina yang berkelanjutan masih menuai ikhtilaf, hanya saja pendapat yang dipilih
oleh penulis adalah yang tidak memperbolehkanya secara mutlak dengan dalil yang
lebih kuat.
3. Adapun jika dilakukan
oleh orang yang sudah menikah maka hukumnya sama, tidak diperbolehkan secara
mutlak. Sebab masih ada beberapa alternative lain untuk memperoleh kembali keharmonisan
rumah tangga.
[1]
Nu’aim Yasin, Fikih Kedokteran, ( Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006 M),
diterjemahkan oleh Munirul Abidin, hlm. 239
[8] Jalaluddin asy-Syuyuthi, al-Asybah wa
an-Nadhair fi Qawaid wa Furu’I Fiqhi asy-Syafi’iyyah, ( Beirut: Dar
al-Fikr, 2011 M), hlm. 178
[9]
Wahbah Zuhaili, al-wajiz fi Ushul al-Fiqhi, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1995 M), cet. Kedua, hlm. 71
[10]
Jalaluddin as-Suyuti, al-Asybah wa an-Nadhair fi Qawaid wa Furu’I Fiqhi
asy-Syafi’iyyah, hlm. 172
[11]
Muhammad Kholid Manshur, al-Ahkam
ath-Thibbiyah al-Muta’alliqah binnisa’ fi Fiqhi al-Islamy, (Dar Nafais:
Urdun, 1999 M)