Kamis, 10 Agustus 2017
qadha shalat dalam perjalanan
Qadha Shalat di Perjalanan
Bersafar merupakan hal yang lazim dikerjakan oleh seseorang. Safar yang mengharuskan seseorang bepergian jauh terkadang menyebabkan ia mengalami eforia dalam melaksanakan shalat. Antara shalat di perjalanan dalam posisi di atas kendaraan atau ia mengqadhanya di akhir perjalanannya.
Masalah pelik yang terkadang muncul juga yaitu saat kita di atas kendaraan, kita tidak mendapatkan air yang cukup. Disisi lain, kondisi kendaraan yang full ac meniadakan adanya debu yang dapat digunakan untuk bertayamum. Lantas, bagaimana cara kita melaksanakan thaharah dan melaksanakan shalat? Nah, pada edisi kali ini, An-Najma akan mengupas qadha shalat dalam perjalanan yang pada realitanya masih menyisakan tanya di benak-benak kita akan hal itu.
Keadaan Boleh Tayamum
Dalam Islam, Allah memberikan rukhsah untuk kita saat tidak mendapati air untuk bersuci. Rukhsah tersebut yaitu Ia membolehkan kita bertayamum atau bersuci dengan debu, hal ini sudah menjadi ijmak. Namun kebolehan ini bukan tanpa syarat. Adapun diantara syarat yang harus dipenuhi supaya tayamum menjadi rukhsah untuk kita yaitu: benar-benar tidak didapati air. Hal ini dikarenakan tayammum merupakan ibadah pengganti wudhu. Masyru’iyyah tayammum termaktub dalam Al-Qur’an yang artinya, “Jika tidak didapati air”. Dari ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tayammum diperbolehkan ketika tidak ada air.
Namun ketika kita berada di atas kendaraan yang full ac terkadang debu pun tak bisa kita jumpai. Sehingga kita masuk dalam kondisi faqid ath-thahurain, atau seseorang yang tidak mendapatkan dua alat bersuci, yaitu air dan debu.
Hukum Faqid At-Thahurain
Dalam menghukumi faqid ath-thauhrain dalam tatacara shalat, para ulama berbeda pendapat. Perbedaan pendapat tersebut berkisar pada; apakah ia harus melaksanakan shalat dalam kondisi tersebut lantas mengqadhanya, atau cukup dengan mengqadha saja. Dalam masalah ini, para ulama terbagi menjadi empat pendapat:
1. Ia tidak perlu mengerjakan shalat dan tidak perlu mengqadha’nya. Pendapat ini merupakan pendapat ulama madzhab Maliki. Alasannya, ketika kewajiban shalat datang ia tidak dapat memenuhi syaratnya, yaitu wudhu dan tayammum. Hal ini selaras dengan apa yang disabdakan nabi, “Allah tidak akan menerima shalat orang yang berhadats (kecil) hingga ia berwudhu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hal ini karena air dan tanah adalah syarat wajib bagi pelaksanaan shalat, sedangkan dalam kasus ini, syarat itu tidak terpenuhi. Begitu pula syarat qadha’ juga bergantung pada kewajiban pelaksaan ada’ (tunai), sedang kewajiban melaksanakan secara ada’an atau tunai sudah gugur atau tidak diperintahkan.
Oleh karena itu, shalat yang diwajibkan padanya saat itu gugur. Pendapat seperti ini juga dikemukakan oleh syaikhul islam Ibnu Taimiyah.
2. Harus mengerjakan shalat dan harus mengqadha’nya. Ia hanya diperintahkan melaksanakan shalat fardhu saja. Shalat dilakukan seperti biasa dan hendaknya diulangi. Ini merupakan pendapat paling kuat dalam madzhab Syafi’i. Pendapat seperti ini, yaitu wajib mengerjakan shalat dan mengqadhanya juga digunakan oleh madzhab Hanafi.
Meski Syarat Tak Terpenuhi
Shalat di atas kendaraan terkadang membuat kita tak mampu menghadap kiblat secara terus menerus. Maka ketika kondisinya seperti itu, tidak memungkinkan menghadap kiblat, kita bisa shalat dengan menghadap sesuai arah kendaraan. Allah berfirman,
لًا يُكًلِفُ اللهُ نَفْسًاً إِلَا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani satu jiwa kecuali sebatas kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286).
Disisi lain, Allah juga memerintahkan kita untuk bertakwa, mengingat-Nya semampu kita. tersebut dalam firman-Nya;
فَاتَقُوْا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16).
Mengqadha Shalat yang Tertinggal dalam Perjalanan
Ketika kita tidak mampu melaksanakan shalat secara sempurna karena kondisi kita yang tidak memiliki alat untuk bersuci, maka kita memiliki kewajiban untuk mengqadhanya. Adapun tatacara shalat qadha diantaranya:
1. Sirr dan jahr
Ketika kita tertinggal shalat yang harus dilaksanakan secara sir, misal shalat Dhuhur dan baru mampu mengerjakannya saat masuk waktu Maghrib, maka menurut jumhur ulama kita melaksanakannya secara sir. Begitu sebaliknya.
2. Tertib atau berurutan
Dalam mengqadha shalat yang tertinggal kita diperintahkan untuk melakukannya secara tertib atau urut. Sebab shalat merupakan ibadah yang telah ditentukan waktu dan urutan pelaksanaannya. Misal, jika kita tertinggal shalat Dhuhur dan sudah masuk waktu Ashar, maka shalat yang harus pertama kita kerjakan adalah shalat Dhuhur.
3. Waktu Pelaksanaan Qadha, segera atau tidak
Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat. Pendapat tersebut mejadi dua; menurut jumhur, waktu pelaksanaan qadha harus disegerakan, tidak boleh ditunda-tunda atau mengakhirkannya. Namun menurut madzhab Hanafi, pelaksanaan qadha shalat dapat diakhirkan atau tidak disegerakan.
Adapun kita, hendaknya menyegerakan pelaksanaan qadha shalat kita yang tertinggal sebagaimana yang dikemukakan oleh jumhur tanpa mencela perbedaan pendapat yang ada. Wallahu A’lam bish Shawab.(Nay)
Referensi:
Abdurrahman Al-Jazairi, Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah, 1/ 446-449
Abu Umar Dibyan, Ahkam Ath-Thaharah, 12/ 41, 73
‘Adil bin Yusuf Al-‘Azzazi, Tamam Al-Minnah, 1/ 129
Selasa, 08 Agustus 2017
Seumpama Qithmir
Seumpama Qithmir!
Menjadi pemuda shidiq sebagaimana Yusuf ‘alaihissalam. Jujur dalam ibadah kepada Allah Ta’ala. Jujur dalam ikhlas, sebab pemuda yang didamba dalam sejarah adalah pemuda yang ikhlas dan berkomitmen dalam berjuang.
Berawal dari kisah pemuda kahfi bersama dengan anjingnya. Terurai kisah yang indah, yang tidak lekang oleh sejarah. Sebersit pembelajaran dapat kita ambil dari kisah tersebut.
Adalah Qithmir, seekor anjing setia milik salah satu penghuni gua. Termaktub dalam firman Allah Ta’ala “Dan engkau mengira mereka itu tidak tidur, padahal mereka tidur; dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di depan pintu gua....”. (Al-Kahfi: 18)
Menjadi sahabat yang baik
Meski adalah seekor anjing, namun ia mampu mengetuk janji Surga. Adalah Qithmir, hewan yang berbahagia, mampu menemani langkah orang-orang shalih yang berjumlah 7 jiwa. Itulah Qithmir, sang anjing yang yang dimuliakan oleh Allah, yang dimaktub kisahnya dalam Al-Qur’an. Lantas, apa rahasia? Tersebab ia menemani langkah perjuangan tujuh pemuda yang menyelamatkan tauhidnya dari kekejaman pemerintah raja Dikyanus. Ia yang mengawal ketujuh pemuda itu ke dalam gua. Ia yang meski harus mati terlebih dahulu dan tak bangun lagi kala ketujuh pemuda itu hidup kembali.
Itulah, gambaran sahabat, sesosok yang membawa pada ladang pahala, menghantar laju kita ke Surga. Tidakkah kita ingin seperti Qithmir? Yang meski hanya hewan biasa namun bisa mulia. Yah, meski kita adalah hamba biasa, manusia yang terbalur alpa, namun adanya sahabat setia yang menuntun ke Surga adalah sebuah hal yang harus niscaya adanya. Sebab sahabat akan menjadi syafaat kita di akhir sana. Sungguh, teringat kekata Syeikh Ibnul Qayyim jika tidak salah, ketika beliau sedang berkumpul bersama para sahabatnya, beliau lantas mengucap, “Sahabatku, jika kalian tidak menemukan diriku berada di Surga kelak bersama kalian, maka tanyakanlah kepada Allah, “Dimana si fulan yang dahulu mengingatkanku akan kebaikan?”, Jika ternyata aku berada di neraka, maka mintalah kepada Allah supaya Ia mengangkat, membersihkan dan memasukanku bersama kalian ke Jannah-Nya.”.
Allah, sungguh kerinduan memiliki sahabat sejati yang menuntun hingga ke Surga adalah cita yang terus terpatri dalam jiwa. Meski kadang aku sendiri belum merasa hadirnya yang hakiki, mungkin karena kesalahanku sendiri yang terlalu dalam tercebur dalam kubangan dosa. Hingga akhirnya sahabat yang dinanti harap pun tak kunjung ada hadirnya.
Ketika kutulis rangkaian kalimat ini, teringat jelas masa saat perpisahan dengan ustadz kami, ustadz Furqan Syuhada. Yah, beliau menyelip pesan seperti di atas. Kami tertunduk dalam suasana haru. Itulah perpisahan pilu kala kita terpisah dari seorang guru, yang mengajar erti hidup dan memakna kehidupan. Semoga, apa yang menjadi harap dan cita, akan berbuah nyata karena do’a yang terapal dari lisan pemilik raga yang menengadah tangan di akhir malam, bermunajat syahdu, berkhalwat rindu dengan Ar-Rahman. Doa tulus dari hati yang ikhlas pasti kan menuai nyata. Amiin.
#NayNazahah
Memeluk malam dalam Baluran rindu pada seorang teman
Pilang ceria, 07 Agustus 2017
Tersebab Keshalihan Orangtua
TERSEBAB KESHALIHAN ORANG TUA
Ali Shodiqin
Tidak ada modal berharga yang patut kita seriusi agar anak-anak kita tumbuh menjadi shalih selain berusaha untuk menjadi pribadi shalih terlebih dahulu. Surat al-Kahfi ayat 82 manarik untuk kita renungi.
Allah Ta’ala berfirman, “Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar agar supaya mereka sampai pada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Rabbmu.”
Ayat di atas merupakan di antara fragmen kisah perjalanan Nabi Musa mendampingi seorang lelaki shalih dalam mencari ilmu. Banyak ulama menyebut lelaki shalih tersebut bernama Khidir. Alur ayat di atas adalah jawaban atas pertanyaan Nabi Musa atas perbuatan yang dilakukan lelaki shalih yang ia dampingi.
Disebutkan dalam al-Qur`an bahwa mereka berdua tiba di suatu negeri dan meminta penduduknya untuk menjamu mereka lantaran bekal yang mereka miliki telah habis. Namun, penduduk negeri itu enggan untuk menjamu. Akan tetapi tatkala keduanya melanjutkan perjalanannya di negeri tersebut dan menemukan dinding rumah yang hampir roboh. Tanpa berfikir panjang, lelaki shalih itu bergegas menegakkan dinding itu dan memperbaikinya.
Ibnu Katsir bertutur ketika mengomentari ayat tersebut, “ayat tersebut merupakan argumentasi bahwa anak keturunan seorang yang shalih akan dijaga (Allah). Ini juga mencakup barakah ibadahnya bagi mereka di dunia dan akhirat. (Dengan izin Allah) ia akan memberi syafaat kepada mereka, mengangkat mereka pada derajat yang tinggi di jannah, supaya lelaki shalih tadi bergembira dengan (kondisi) mereka” (Tafsir al-Qur`anil ‘Azhim, 5/186-187).
Hal menarik lain yang dapat kita petik dari ayat tersebut bahwa Allah akan menjaga anak keturunannya meski al-Quran tidak secara tegas menyebutkan bahwa kedua anak tersebut juga termasuk anak yang shalih.
Atas dasar inilah kiranya Abdullah bin Abbas mengomentari ayat tersebut dengan berkata, “Kedua anak yatim itu dijaga (Allah) disebabkan keshalihan ayah mereka. Meski tidak disebutkan bahwa keduanya juga termasuk orang yang shalih.”
BUKAN HANYA UNTUK DIRI SENDIRI
Patut kembali kita sadari bahwa keshalihan yang berusaha kita capai sejatinya bukan hanya untuk diri kita sendiri. Berbagai kebajikan yang kita lakukan seperti: mendirikan shalat fardhu yang kita usahakan untuk selalu dikerjakan berjamaah di masjid, qiyamullail dengan penuh khusyuk yang diiringi dengan lantunan doa juga aliran air mata, membaca al-Qur`an, shiyam sunnah dan sebagainya, pada hakikatnya juga untuk kebaikan anak keturunan kita kelak.
Untuk itu, menghilangkan karakter-karakter yang buruk, akhlak yang tercela, dosa, bahkan kemaksiatan yang mungkin tidak kita sadari, merupakan suatu keniscayaan ketika mendambakan anak yang shalih. Boleh jadi, terhalang atau belum tercapainya keshalihan anak kita, disebabkan dosa dan kemaksiatan yang terus-menerus kita lakukan. Atau dikarenakan harta tidak halal yang kita peroleh. Atau juga lantaran kedurhakaan kita kepada kedua orang tua kita.
Keshalihan anak bukanlah suatu yang lahir hanya disebabkan metode pengajaran yang ia dapatkan. Bukan pula pilihan sekolah atau tempat pengasuhan yang terbaik. Tidak juga hanya fokus pada kesungguhan mendidik dan pengorbanan finansial. Akan tetapi, penentu utama di balik keshalihan mereka adalah disebabkan perantaraan ibadah-ibadah agung yang kita kerjakan. Rasa takut dan muraqabah kita kepada Allah, melaksanakan shalat fardhu, amal-amal shalih yang tersumbunyi dari pandangan orang lain, berbakti pada orang tua, qiyamullail dan ibadah lainnya.
Bukti bahwa keshalihan orang tua berpengaruh pada anak-anaknya merupakan suatu yang dikenal sejak dahulu. Imam al-Ghazali memuat sebuah kisah dalam Ihya` Ulumuddin (3/251) berkaitan tentang ini. Beliau menulis bahwa saat menderita sakit menjelang ajal Imam asy-Syafi’i, ia mewasiatkan pada seseorang untuk memandikan jenazahnya. Setelah beliau meninggal, orang tersebut pun dipanggil. Saat memenuhi panggilan itu, orang itu meminta wasiat imam asy-Syafi’i. Dalam wasiat tersebut ternyata beliau menyebutkan mempunyai hutang 70 ribu dirham pada seseorang. Orang itu pun bersedia melunasi hutang itu seraya berkata, “Beginilah aku ‘memandikan’ jenazahnya.”
Beberapa tahun berselang, seseorang ingin mengunjungi orang yang memandikan imam asy-Syafi’i tersebut. Setelah menemukan rumahnya, ia pun mendapati orang tersebut dalam kebaikan; memiliki keturunan yang banyak, diberi kemuliaan dan juga keluasan rejeki.
Mengakhiri tulisan ini, alangkah baiknya kita merenungi perkataan Sa’id bin Musayyib. Ia pernah menuturkan “Sungguh! Tatkala saya hendak melaksanakan shalat (sunnah) lalu saya teringat pada anak-anakku, maka saya pun memanjangkan shalatku.” Wallahu A’lam. []
Diambil dari majalah Hujjah edisi 17, Rajab.
Langganan:
Postingan (Atom)