Refleksi
Perkuliahan; Mata Kuliah Fikih An-Nawazil
Kamis, 19 Januari 2017
Pada pertemuan pertama, Ustadz Junaidi
Manik membuka awal perkuliahan dengan sedikit evaluasi usai melaksanakan
Ulangan Tengah Semester. Kami disuguhi contoh refleksi perkuliahan milik beliau
saat duduk di bangku doktoralnya. Terlihat sederhana namun menarik.
Perkuliahan kali ini
hanya membahas
sedikit materi kuliah. Hanya sedikit menyampaikan manhaj salaf dalam berfatwa dan lebih tepatnya ada 3; yaitu
manhaj tasydid , taysir dan wasth. Namun, pada pertemuan tersebut kami
hanya dapat mengambil kulitnya. Hanya saja, karena kepiawaian sang ustadz kami
banyak tahu istilah-istilah Arab jika difalsafahkan.
Kamis, 26 Januari 2017
Pertemuan kedua tepat di hari
keluaran putri ma’had aly Hidayaturrahman, banyak diantara kami yang hendak
pulang untuk berbakti. Sang ustadz mengerti kondisi hati kami, sehingga
perkuliahan Fikih Nawazil yang seharusnya dilaksanakan selepas dhuhur
diliburkan. Hari itulah, hari pertama kami tidak melakukan perkuliahan
sebagaimana semestinya dan berlanjut hingga beberapa kali pertemuan. Hal tersebut
dikarenakan ustadz berhalangan hadir dengan setumpuk tugas yang harus beliau
laksanakan.
Pembelajaran berhenti sampai
disini. Hingga ujian tengah semester tiba, kami belum mendapatkan ilmu yang
seberapa dari sang ustadz. Kami maklum karena beliau banyak urusan dan hajat
yang menuntut untuk itu. Namun, kehadiran beliau untuk mentransfer ilmu yang beliau miliki
selalu kami tunggu.
Rabu, 16 Maret 2017
Pertemuan sore itu memberi kesan mendalam
bagi kami. Sang ustadz rela menyisihkan waktunya untuk kami, mahasiswanya. Dengan semangat yang membara
kami ikuti perkuliahan sore itu. Ustadz menunjukkan sikap ketawadhuan yang
mendalam, menghormati para ulama yang tidak pernah kami dapati sebelumnya. Mengapa saya sebut
demikian? Sebab beliau selalu saja menceritakan ketawadhu’an para ulama dan
membandingkannya dengan kita sebagai umat terbelakang. Pada sore itu pula,
beliau menyampaikan tentang imam al-Ghazali. Seorang ulama yang menyeru manusia
berakhlak dengan sifat dan asma Allah Ta’ala. Lantas, perkataan beliau
dijelaskan oleh Syeikh Hawa bahwa yang diperbolehkan hanya pada sebagian yang
dimampui saja.
Usai bercerita syeikh
al-Ghazali, beliau melanjutkan materi perkulihan dengan tema manhaj tadyiq
dan tasydid. Mereka inilah yang menempuh manhaj ta’ashub madzhab,
berpegang pada dhahir nash tanpa mengkaji maksudnya, berlebih-lebihan dalam
sadd dzarai’. Lantas, di sela-sela
menjelaskan beliau banyak berkisah seputar perjalanan serta pengalaman beliau saat di Medan sana.
Kamis, 18 Maret 2017
Pertemuan ke empat, al-Hamdulillah
ustadz dapat hadir mengisi perkuliahan kami. Ustadz mengisi materi ta’ashub.
Lantas, beliau bercerita tentang sikap hormat dan berbaktinya seorang murid
kepada gurunya, yaitu imam Ahmad kepada imam Syafi’i. Beliau berpesan bahwa kita
semua tidak mungkin bisa sehebat sebagaimana yang kita rasakan kecuali dengan
wasilah guru kita. Bagaimanapun, hargailah guru kita semua.
Setelah menyelingi materi dengan
sejumlah kisah yang sangat berharga, ustadz melanjutkan kembali materi
perkuliahan, yaitu tentang ta’shub bi dhahir an-nushush. Pada materi
ini, beliau banyak membuka cakrawala pemikiran kami tentang penggunaan istilah
“teks”. Beliau mengatakan bahwa jika “nash” diganti dengan istilah “teks”, maka
hal tersebut merendahkan sakralitas Al-Qur’an yang kemudian berujung pada
anggapan bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi).
Senin, 10 April 2017
Pada dasarnya masih tersisa
beberapa pertemuan perkuliahan sebelum perkuliahan hari ini. Mungkin banyak
kisah yang saya lompati dan tidak terurut. Sebab banyak lupa yang menimpa
neuron otak saya. Hal ini dikarenakan saya memulai menulis tugas refleksi ini
usai menyelesaikan tugas lain selain metodologi. Ya. Hari Senin menjadi moment
perkuliahan paling berkesan jika dibandingkan dengan perkuliahan-perkuliahan
sebelumnya. Hari itu saya mampu mengekspresikan apa yang saya gundahkan.
Terlebih saat itu, di ujung pembahasan, ustadz menyinggung tokoh maqashid, Najmuddin ath-Thufi. Pembahasan itu membuat saya lebih
hidup saat perkuliahan. Memang, tokoh apa pun harus kita kaji dan ketahui.
Pembahasan pada pertemuan ini yaitu
seputar manhaj taisir atau mempermudah. Metode ini mayoritas diterapkan oleh
para mufti kontemporer yang tidak kredibel keilmuwannya. Padahal, sudah
seharusnya seorang mufti tahu kapan ia harus bersikap ketat dan lentur. Pada
hari itu, ustadz menjelaskan seputar manhaj mubalaghah fi taisir. Beliau
menyebutkan bahwa dalam hal ini alangkah baiknya kita memahami syariat sebagai
sesuatu yang shalih. Imam Muhammad Thahir bin ‘Asyur menyebutkan bahwa shalahiyyah
Islam dapat ditunjukkan dengan dua bentuk. Pertama, syariat Islam baik ushul
maupun kuliyyahnya selalu selaras dan sepadan dengan segala bentuk kondisi dan
kultur masyarakat. Kedua, Islam bisa membentuk dan menyesuaikan diri dengan
kondisi masyarakat yang berbeda. Islam mampu membuat masyarakat meninggalkan
kebiasan mereka yang buruk. Sebab syariat Islam tidaklah menyusahkan
pemeluknya.
Adapun sebab yang melandasi
munculnya manhaj taisir adalah sikap berlebihan dalam mengambil maslahat
walaupun ia berbenturan dengan nash yang qath’i lagi sharih.
Mengutip kisah yang beliau sampaikan bahwa shalih dalam kacamata liberalis
adalah shalih dalam kacamata dan tinjauan manusia. Atau shalih menurut keumuman
orang, horizontal.
Kesimpulan,
Pada dasarnya, dalam berfatwa seorang ulama hanya
menggunakan 3 macam metode, yaitu metode tasydid atau tadyiq, taysir dan washt. Adapun metode
yang paling moderat yaitu metode wasth. Namun, untuk saat ini dapat kita
saksikan betapa banyak masyarakat yang masih bertaqlid dengan satu madzhab atau
bahkan bertaqlid dengan seorang ustadz. Sungguh, belajar teori ilmu nawazil
membuka keluwesan kita dalam bersikap dan mensikapi kelompok yang berbeda
pendapat. Itulah rahmah yang Allah berikan khusus untuk umat Islam, sebagaimana
termaktub dalam sebuah sabda Rasul “Ikhtilaf umatku adalah rahmat”.
Al-hamdulillah, 5 pertemuan telah
kita lalui dengan lancar, walau terdapat banyak
kendala dalam ketepatan jadwal, namun selalu ada ganti waktu untuk
menyempurnakannya. Jazakumullah ahsanal jaza, kepada ustadz Junaidi
Manik yang dengan perantaranya kita dapat memahami ragam manhaj dalam berfatwa
dan mengajari kita ketawadhu’an, serta sikap menghormati para ulama yang tidak
kita dapatkan di tempat lain. Namun, alangkah lebih baiknya jika waktu yang
tersedia kita gunakan semaksimal mungkin guna meningkatkan kuantitas materi
perkuliahan Fikih Nawazil, sebab waktu yang kita dapatkan hanya sedikit dan
terbatas. Terkadang keinginan mahasiswa memang harus dituruti, namun jika
melihat waktu yang berbatas cukuplah menjadi cambuk untuk menggunakannya pada
hal yang lebih berharga bernama perkuliahan.