Ikrah dan
Konsekuensi Taklif
Oleh: Nay binta
Ikrah merupakan bagian
dari ‘awaridhu al-ahliyyah atau penghalang kecakapan taklif. Memahami ikrâh secara profesional baik rambu dan
dhawabithnya merupakan hal yang lazim. Sebab dengan
mengetahui ikrâh secara benar dan mengenali dhowabitnya, kita tidak terjerumus
kepada hal-hal yang ditetapkan syar’i dan juga kita mengetahui hal mana saja
yang bisa kita lakukan ketika dalam kondisi ikrâh. Dalam kondisi ikrâh
terkadang kita terlalu kaku sehingga kita memberatkan diri sendiri atau malah
kita terlalu meremehkan sehingga apa saja yang kita lakukan menjadi hal yang
menjurus kepada peremehan syariat. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan
tentang ikrâh. Maka pada makalah ini, akan sedikit membahas hokum seputar keadaan terpaksa.
Sebab, setiap bentuk keterpaksaan memiliki konsekuensi hokum atau taklif yang
berbeda.
Pengertian Ikrah
(Terpaksa)
Terpaksa
atau dalam bahasa arab terkenal dengan istilah al-ikrahu. Ia adalah
menghendaki seseorang melakukan tindakan yang bertentangan dengan keinginanya”.
Dalam kata lain, “menghendaki orang lain berbuat terlarang dengan cara
menakut-nakuti dengan sesuatu yang mampu dilakukan oleh orang yang
menghendaki”. (ushul fiqih al-Islamy, Mahmud Muhammad Thanthawy/ 134).
Jika
seseorang melakukan sesuatu diluar kehedak dan keinginanya sendiri atau atas
kehendak orang lain berarti ia tidak rela berbuat demikian. Sebab, keadaan rela
dan terpaksa merupakan dua hal yang
bertentangan.
Syarat Ikrah
(Keterterpaksaan)
Keterpaksaan
tidaklah lahir tanpa ada syarat atau dhowabit yang membingkainya. Mengenai
keabsahan sesuatu dapat disebut sebagai paksaan jika terpenuhi semua syarat
kategori ikrah. Adapun jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka ikrah
tidak terjadi dan tidak ada udzur bagi
seorang tersebut melakukanya dan karenanya ia tetap memiliki tanggungjawab.
Diantara syarat dsebut ikrah diantaranya:
a.
Si pemaksa sanggup
melaksanakan apa yang diancamkan secara langsung atau melalui kekuatan orang
lain. Bila si pemaksa tidak sanggup untuk memenuhi apa yang diancamkannya dan
orang yang dipaksa mengetahui keadaan si pemaksa tersebut, maka paksaan
tersebut tidak ada artinya dan tidak perlu diperhitungkan.
b.
Orang yang dipaksa
merasa pada dirinya bahwa ancaman yang diancamkan tersebut akan benar-benar
dilakukan oleh si pemaksa bila ia tidak memenuhi paksaan tersebut dan ia tidak
memiliki daya untuk menghindarinya, baik dengan cara melawan atau melarikan
diri.
c.
Apa yang diancamkan
merupakan sesuatu yang menyakitkan dan merugikan pihak yang dipaksa, baik pada
dirinya, keluarganya maupun hartanya.
d.
Perbuatan yang
dikehendaki atau dituntut dari si pemaksa adalah perbuatan yang terlarang atau
perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya suatu kerusakan.
Bentuk Keterpaksaan
Bentuk
keterpaksaan tidakah umum atau bersifat sama. Disana ada beberapa hal yang
berbeda. Adapun keterpaksaan dilihat dari sisi kandungan unsur madharatnya maka
ulama Hanafiyah membagi keterpaksaan
menjadi dua macam, yaitu keterpaksaan yang bersifat tamm (ikrah mulji’), yaitu
keterpaksaan yang tidak memungkinkan bagi orang yang terpaksa melepaskan diri
dari ancaman si pemaksa. Paksaan dalam jenis ini tentunya menghilangkan unsur
kerelaan untuk berbuat serta meniadakan alternative lain yang dapat ditempuh.
Seperti, seseorang dipaksa untuk berbuka puasa dan jika tidak maka ia akan
dibunuh atau mulutnya akan ditusuk. Sedang paksaan jenis kedua yaitu paksaan
yang bersifat naqish (ikrah ghoir al-mulji’), yaitu paksaan yang masih
memungkinkan pihak yang terpaksa untuk menghindarinya. Dalam hal ini,
konsekuensi dari paksaan tersebut tidak menyebabkan kematian atau hanya
konsekuensi ringan.
Kedua macam
ikrah diatas telahmenjadi kesepakatan
dikalangan ulama, hanya saja disana masih ada satu macam ikrah yang masih
diperselisihkan. Yaitu, ikrah adaby atau yang bersifat mendidik. Hal ini berupa
ancaman dengan cara memenjarakan salah seorang sanak familynya. Paksaan atau
siksaan yang diberikan oleh si pemaksa tidak dirasakan oleh yang dipaksa
sendiri. Akan tetapi, menyakiti keluarganya juga termasuk dalam kategori
menyakitinya juga. Hanya saja hal ini tidak dikategorikan kedalam ikrah madiyan
dan dimasukkan kedalam ikrah adabiyan.
(Mahmud Muhammad Thanthawy/ 137).
Pengaruh Ikrah
dalam Perkataan Dan Perbuatan
Ikrah bisa
saja terjadi dalam bentuk paksaan mengatakan sesuatu, maupun paksaan untuk
melakukan suatu hal. Konsekuensi dari perbuatan yang disebabkan karena ikrah
sendiri berbeda-beda didasarkan pada jenis perbuatan atau perkataan yang
dihasilkan darinya.
a.
Jika ikrah dinisbatkan
pada sebuah perkataan maka paksaan tersebut gugur dan konsekuensinya gugur dari
mukrih. Seperti jika seseorang dipaksa untuk mengakui uang yang ada
padanya,maka pengakuan ini tidak dianggap benar karena adanya unsur terpaksa.
Begitu pula paksaan untuk thalaq dan menikah maka hal tersebut tidak terjadi.
b.
Jika ikrah dinisbatkan
pada suatu perbuatan maka bisa jadi masuk dalam kategori tamm atau mulji’
maupun ghoir mulji’.
Jika ikrah
yang terjadi merupakan kategori ghoir mulji’ seperti membunuh jiwa yang
diharamkan oleh Alloh, meminum khomr, menghilangkan harta orang lain dan yang
sejenisnya maka tidak dihalalkan bagi mukrih melakukan tindakan yang dipaksakan
tersebut. Jika si mukrih melakukanya maka konsekuensinya jatuh pada dirinya,
tidak pada orang yang memaksanya. Mengapa? Sebab ia mampu untuk tidak
melaksanakan hal tersebut.
Jika ternyata
ikrah tersebut bersifat mulji’, maka perbuatan yang dipaksakan untuk mukrih
dibagi menjadi 3 macam:
-
Wajib bagi yang dipaksa
melakukan hal yang dipaksakan tersebut. Seperti jika orang tersebut dipaksa
untuk meminum khomr atau memakan daging babi maka ia harus melakukanya. Sebab,
haramnya hal tersebut berlaku dalam kondisi normal dan tidak berlaku dalam
kondisi darurat, sebab Alloh telah memperbolehkanya. Hal tersebut senada dengan
firman-Nya dalam surat al-Baqarah: 172-173. Jika mukrih tetap tidak mau
melakukan hal tersebut dan jiwanya terancam mati maka ia berdosa.
-
Diperbolehkan bagi
seorang yang dipaksa melakukan apa yang dipaksakan. Misalnya, dipaksa untuk
mengucapkan kalimat yang mengandung kekufuran atau mencela nabi maupun lainya
yang semisal. Maka pada kondisi ini yang dipaksa diberi rukhshah untuk
melakukan hal tersebut dan tidak wajib. Sebab pada dasarnya perbuatan tersebut
tetaplah diharamkan, dan diperbolehkan karena rukhshah dengan syarat hatinya
masih tetap dalam kondisi beriman. Hal ini menunjukan betapa Alloh sangat murah
pada hamba-Nya. Adapun jika mukrih tersebut tetap tidak mau melakukanya dan
bersabar atas siksaan yang diberikan padanya maka ia mendapatkan pahala, sebab
Rasululloh memuji orang yang tetap tegar tidak mau mengucapkan kalimat
kekufuran.
Jika yang dipaksakan berupa membatalkan puasa dan yang sejenisnya maka jika
ia melakukan tidak mengapa dan jika meninggalkanya dan mendapat siksaan maka ia
mendapat pahala.
Tidak diperbolehkan bagi mukrih melakukan yang dipaksakan untuknya
bagaimanapun kondisinya. Seperti paksaan untuk membunuh jiwa yang diharamkan
oleh Alloh, memukul orang tua dan semisalnya. Sebab hal tersebut sama saja ia
menghilangkan dharar darinya akan tetapi ia menimbulka dharar bagi orang lain.
Tentunya hal ini tidaklah diperbolehkan sebagaimana termaktub dalam qaidah, “ الضرر لا يزال
بمثله" yang artinya sebuah kemadharatan tidak boleh dihalangkan dengan
kemadharatan yang semisal. Maka,barangsiapa yang tetap melakukan paksaan jenis
ini ia berdosa dan bertanggung jawab atas resiko perbuatan yang dilakukanya.
Wallohu ta’ala A’lam.
Sumber: mahmud Muhammad ath-Thanthawy, Ushul Fiqhi al-Islamy
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, jilid 1
Amri Yasir, Pengaruh Ikrah terahadap Ahliyyah
0 komentar:
Posting Komentar